POLITIK – Sistem proporsional tertutup untuk menentukan siapa yang berhak duduk di kursi dewan kemungkinan akan kembali dipakai pada Pemilu 2024. Bahkan, kata Ketua KPU RI Hasyim Asyari, sistem tersebut kini tengah dibahas melalui sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).
Wacana tersebut kontan dikritik Ketua DPW Partai Nasdem Jabar, Saan Mustopa, yang menilai hal itu bukan kewenangan KPU maupun Ketua KPU RI, Hasyim Asyari. Sebab, KPU merupakan lembaga yang melaksanakan UU bukan mewacanakan substansi yang ada dalam UU Pemilu 7/2017.
“Jika KPU sudah berstatemen Pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup, KPU sudah melampaui batas kewenangannya terutama Ketua KPU, saudara Hasyim Asyari,” kata Saan saat ditemui di Kota Bandung, Kamis malam (29/12).
“Kalau saudara Hasyim tidak bisa mengklarifikasi itu, ketika melampaui batas kewenangan, bisa saja nanti masuk ke ranah DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) untuk bisa diklarifikasi,” tegasnya, dikutip Kantor Berita RMOLJabar.
Menurutnya, UU Pemilu yang mengatur sistem proporsional terbuka, sebelumnya pernah diuji di MK. Sehingga, sistem yang digunakan dalam pemilu menjadi sistem proporsional terbuka murni berdasarkan suara terbanyak untuk Pileg.
“MK sudah memutuskan itu (sistem proporsional terbuka) di 2009, masa MK akan mengambil keputusan yang berbeda? Sistem pemilu pernah di-judicial review, masa akan dikoreksi oleh MK?” tuturnya.
“Jika sistem proporsional tertutup diterapkan akan menjadi kemunduran untuk demokrasi, bukan kemajuan,” lanjutnya.
Saan menyebutkan, dalam UUD 1945, Indonesia menganut kedaulatan rakyat. Sehingga, sistem proporsional terbuka merupakan wujud dari representasi kedaulatan rakyat.
“Kalau itu juga diambil, nanti hak-hak rakyat sudah tidak ada lagi. Apalagi, ada wacana Pilkada dipilih kembali oleh DPRD dan sebagainya,” ucapnya.
Dengan demikian, ia berharap MK bisa lebih memahami tentang suasana kebatinan rakyat. Kemudian, memahami UU Pemilu yang saat itu pemerintah tidak setuju untuk direvisi, ditambah dengan adanya pasal-pasal yang krusial.
“Jadi hendaknya sebelum MK memutuskan, suasana partai-partai politik juga bisa dipahami oleh MK,” tandasnya. (Sumber: RMOL)