Teror Mikroba dan Distorsi Social Distancing

“Bukankah ketenangan dan kematangan sikap umat manusia telah teruji dalam sejarah pertarungan makhluk hidup sesama penghuni bumi yang membuatnya tetap unggul dan superior hingga saat ini. Dan yakinlah bahwa semua akan baik-baik saja. Karena sesungguhnya, hidup ini indah”. (HMDayat)

“Teror Mikroba dan Distorsi Social Distancing”
Hidayah Muhallim
(Pengamat Sosial)

Saya pelesiran ke jakarta saat isu “Covid-19” sedang mengemuka. Hampir seluruh agenda pertemuan formal dan informal yang akan saya ikuti menjadi batal. Apes betul. Saya pun mencoba bertahan beberapa hari sambil berharap semoga masih bisa bertemu dengan “orang-orang Jakarta” sebelum “lock-down” atau “social-distancing” benar-benar resmi diberlakukan. Namun hasilnya tetap nihil.

Di kawasan menteng tempat saya menginap sementara, saya berpapasan dengan seorang tamu dari Bangkok. Ia terlihat bingung lalu bertanya, dimana ia bisa membeli makanan untuk sarapan paginya. Mungkin sejak tadi malam ia belum makan. Ia sedikit mengeluh sebab beberapa warung makan tempat ia mengisi perut pada hari-hari sebelumnya sedang tutup. Saya hanya bisa menunjukkan warung tenda pinggir jalan yang jualan nasi goreng dan bubur ayam sekira seratus meter dari Masjid Taman Sunda Kelapa. Lalu saya mohon pamit karena akan ke Airport Sukarno-Hatta Cengkareng untuk mengejar pesawat. Saya mempercepat kepulangan saya ke Makassar dari jadwal yang telah direncanakan sebelumnya.

Advertisement

Selama beberapa hari di Jakarta, telpon “teror”pun berdering silih berganti masuk dari segala arah ke dalam HP Android butut saya. Suara-suara itu memperingatkanku untuk selalu waspada terhadap wabah corona yang konon telah menyebar seantero Jakarta. Sejujurnya, saya merasa fine-fine saja bahkan cenderung cuek dengan itu. Tetapi yang jadi soal kemudian adalah orang-orang yang akan saya temui pada lagi galau dalam menyikapi isu Covid-19 ini. Kekhawatiran mereka berada pada level yang sangat tinggi. Padahal kebijakan “social distancing” atau “lockdown” masih menjadi polemik dan belum resmi diberlakukan saat itu. Saya mencoba untuk bertahan beberapa hari lagi di Jakarta, meski harus berpindah-pindah hotel mengikuti rasa galau rekan jalanku. Tetapi akhirnya saya harus mengalah dan mengambil keputusan untuk segera angkat kaki dari kota megapolitan itu.

Semula, meninggalkan Jakarta lebih awal saya anggap sebagai cara yang bijak untuk menjauhkan diri dari wabah itu. Tetapi rupanya saya keliru. Di atas pesawat sekalipun hampir semua penumpang saling curiga. Mereka mencemaskan situasi karena bisa menularkan atau ditulari Covid-19 dari dan ke siapa saja sehingga mereka menjadi sangat sensitif dan bisa membahayakan hidup orang lain disekitarnya. Karenanya, antrian masuk pesawat pun menjadi berjarak. Orang-orang pada menggunakan masker penutup mulut dan hidung. Kursi pesawat banyak yang kosong dan kelihatan sepi. Perjalanan udara yang biasanya mengasyikkan tiba-tiba menjenuhkan. Hembusan angin yang mengguncang badan pesawat saat di atas udara sebagaimana lazimnya pun telah mengubah sikap orang-orang itu menjadi mudah panik dan mengkhawatirkan jika pesawat yang mereka tumpangi mendadak jatuh.

Dalam benak saya berkata, koq sudah sebegitunya cara orang-orang mensikapi isu Covid-19 ini. Saat dalam perjalanan ke airport sekalipun, saya mendapat telpon dari teman-teman dan orang di rumah untuk mengisolasi diri terlebih dahulu setiba di Makassar. Untuk menghindari cap keras kepala, terpaksa saya memesan kamar hotel sebagai tempat isolasi diri sementara. Rupanya orang-orang di makassar sudah terpropokasi bahwa orang yang datang dari Jakarta mesti dikarantina terlebih dahulu. Soalnya mereka diperkirakan telah membawa serta virus mematikan itu dari luar. Dan sialnya lagi, sesampai di salah satu hotel yang tak jauh dari Mal Panakkukang, pesanan kamar saya pun dibatalkan oleh pihak pengelola hotel tanpa alasan yang jelas. Setelah saling “berargumen” yang tidak perlu, dengan sangat terpaksa saya harus pulang ke rumah. Untung masih ada driver ojol yang bersedia mengantar tamu hotel karena ia tidak tahu saja bahwa penumpangnya ini adalah seorang pendatang yang baru tiba dari Jakarta. Malam itu, saya cukup menerima tidur di luar kamar saja.

Aduh, keluhku dalam hati. Apakah orang-orang mesti mensikapi isu Covid-19 dan mempraktekkan social distancing seperti itu? Semestinya tidak sampai sebegitu juga, jawabku seketika. Namun justru pada hari-hari berikutnya, kekhawatiran warga kota semakin meluas, masif dan berskala besar. Media sosial semakin bising. Tersiar kabar, seorang mayat ditolak oleh warga sekitar untuk dikuburkan di salah satu pemakaman umum lantaran ia dianggap bisa menularkan Covid-19 kepada mereka. Ada pula berita memilukan hari berikutnya dimana keluarga korban Covid-19 lainnya mengamuk lantaran dipersulit menemui mayat keluarganya itu sehingga pihak polisi mesti turun tangan.

Beragam berita miris tersiar setiap hari menghiasi media mainstream maupun media sosial. Kerumunan di kedai-kedai kopi mulai dibubarkan paksa. Pesta pernikahan dibatalkan. Ancaman pidana terhadap mereka yang dianggap bandel karena tetap keluar rumah meski untuk sekedar kongkow-kongkow saja. Shalat jumat ditiadakan sementara. Anak-anak sekolah diliburkan. Warung makan, pasar, mal, dan kios-kios pada tutup. Jalan-jalan yang biasanya macet menjadi lengang. Dan anehnya, dunia maya atau media sosial semakin bising pula dengan berbagai cerita lucu, suka dan duka. Sikap irrasionalitas yang tiba-tiba melanda publik secara masif menjadi lumrah. Sepertinya kolonisasi cara pandang, pemikiran, dan perilaku sosial kembali terjadi begitu saja tanpa ada perlawanan wacana dan kritisisme yang berarti. Seolah-olah kita lalu bersikap taken for granted terhadap agenda neo-global yang tengah dimainkan sosok invisible hand yang boleh jadi hanya sebuah propaganda atau rekayasa sosial untuk mengkonstruksi “new global order”.

Isu Covid-19 ini benar-benar sukses mengaungkan diskursus “Jarak Sosial” yang boleh jadi absurd tetapi telanjur dipahami sebagai sebuah preskripsi dalam mempertahan diri meski “social distancing” itu telah dimaknai secara keliru. Karena sangat mungkin juga yang kita perlukan baru sebatas “physical distancing” saja. Proses sosial dalam mengkonstruksi “social distance” atau “social distancing” yang absurd itu soalnya bisa merusak jalinan kehidupan dan harmoni sosial. Yang mengherankan kemudian adalah propaganda “social distancing” ini telah dianggap sebagai preskripsi anti-teror mikro-organisme (baca; Covid-19) yang tanpa kita sadari akan dapat merontokkan bangunan sosial termasuk kedekatan dan ketentraman sosial yang embedded didalamnya.

Saat ini kita pun turut menjadi saksi betapa Covid-19 ini bukan lagi dianggap sebagai wabah penyakit biasa tetapi telah berkembang menjadi teror mikro-organisme yang bukan hanya berhasil menakut-nakuti umat manusia tetapi menjungkir-balikkan pemaknaan “social distance” yang tadinya obyektif menjadi negatif atau positif sekaligus. Covid-19 ini bukan saja menyerang pisik manusia semata tetapi telah melebar menjadi multi-shot of social attact. Atau dalam obrolan awamnya akan bernada , “jangan coba mendekat jika anda tidak ingin mati sia-sia diserang senjata corona ini”. Lebih lanjut, resep “social-distancing” ini telah dianggap sebagai perisai ampuh dalam menangkal serangan teror mikro-organisme tersebut. Dengan alasan sederhananya, penciptaan “jarak sosial” akan bisa melindungi hidup manusia maka larilah menjauh dan kurung diri anda di tempat sepi jika anda ingin selamat. Setelah itu berteriak dan buatlah keributan dalam dunia maya dengan menumpahkan cerita-cerita sampah tentang dukamu sedramatis mungkin sebagai oase pelampiasan.

Sekarang ini, media sosial ikut pula menjadi agen pembawa pesan teror berlabel “Covid-19”. Kedahsyatan teror mikro-organisme ini tidak hanya tembus sampai ke ruang paling pribadi rumah kita, tetapi juga ruang terdalam dari perasaan diri kita. Kita pun menjadi resah dibuatnya terutama setelah bersentuhan fisik secara langsung dengan orang lain tak terkecuali dengan orang-orang yang kita sayangi sekalipun. Bahkan konon kekhawatiran dan penciptaan jarak sosial seperti itu bisa terbawa sampai keliang lahat peristirahatan orang yang kita kasihi. Sungguh hal semacam itu telah sebuah sikap paranoia yang berlebihan pikirku.

Kritik terhadap jarak sosial kehidupan manusia modern yang telah lama menjadi perhatian para ilmuan sosial kembali menggaung. Bahkan kita pun turut berkontribusi secara spontan atau pun sengaja dalam konstruksi sosial atau new global order ini. Atas dalil kesehatan dan keselamatan itu, kita bisa mengabaikan rasa kemanusiaan lainnya. Kita membiarkan kegalauan dan keresahan sosial terjadi. Kita membiarkan kemiskinan dan pengangguran meningkat. Perekonomian rakyat menjadi hancur. Huru-hara menjadi lumrah. Dan ketangguhan rasionalitas dan keyakinan kita pun menjadi mudah goyah.

Tanpa kita sadari, kita pun telah ikut menjadi agen rekayasa sosial yang sedang dikembangkan entah oleh siapa yang kita tidak kenal. Sebab penyebaran suatu berita hoax yang dilakukan berulang-ulang dapat mengubah dan membentuk perspektif, keyakinan, dan perilaku sosial siapapun. Ketangguhan rasionalitas seseorang bisa menjadi rapuh dan tidak utuh berfungsi karenanya. Perasaan yang semula damai jadi terganggu. Covid-19 sebagai teror mikro-organisme ini benar-benar berhasil memborbardir pertahanan diri dan kita menerimanya dengan bulat. Kita seolah menelannya sebagai suatu suatu kebenaran absolut yang “taken for granted”.
Isu Covid-19 ini pula telah berhasil menjadi instrumen efektif dalam penciptaan social distance, gap, hirarcy, class, dan inequality yang baru. Jarak antara si kaya dan si miskin yang selama ini mendapat kritik dari berbagai pihak kembali menjadi lumrah. Bahkan bertambah parah oleh sikap paranoia yang berlebihan dan percaya bahwa penyakit itu memiliki kelas sosial.

Social distancing yang mengalami distorsi seperti saat ini akan sulit dihindari lagi tetapi paling tidak kita tidak ikutan memperparah keadaan. Kewaspadaan diri yang proporsonalitas yang mungkin kita perlukan baru sebatas physical distancing saja. Karena sesungguhnya kita akan jauh lebih menderita jika kita menjaga jarak sosial ini terlalu lama. Perasaan, keyakinan, rasionalitas, dan perilaku sosial yang azali kita sejatinya dibentuk melalui proses sosial yang panjang. Proses sosial sebagai ibu yang melahirkan, membentuk, dan mengembangkan karakter dan perilaku sosial kita bisa hancur berantakan oleh karena berita hoax yang menjadi instrumen rekayasa sosial yang bisa menyesatkan.

Hidup sehat dalam pola physical distancing sudah cukup bisa membuat hidup kita damai tanpa mesti menciptakan jarak sosial yang radikal dan irrasional. Janganlah kita ikut-ikutan menambah kepanikan massal yang boleh jadi akan memuluskan sebuah agenda bisnis, politik, perang asimetris, new global order atau sekedar keisengan konyol berskala global. Jangan lagi kita biarkan diri kita menjadi korban Covid-19 berikutnya. Teror mikro-organisme ini bisa efektif berlaku karena paranoia irrasional dan praktek social distancing dengan mudah dapat menghancurkan struktur sosial yang dengan susah payah kita telah bangun melalui proses sejarah yang panjang.

Namun kewaspadaan diri yang proporsional sudah sangat membantu seseorang untuk bisa hidup sehat, aman, damai, tentram, harmonis dan bahagia. Kita tidak boleh lagi menambah jumlah statistik korban Covid-19 karena berita hoax atau perang asimetris yang dilancarkan oleh pihak-pihak invisible hand yang kita tidak kenal pasti siapa mereka. Bukankah ketenangan dan kematangan sikap umat manusia telah teruji dalam sejarah pertarungan kehidupan makhluk hidup sesama penghuni bumi yang membuatnya tetap unggul dan superior hingga saat ini. Dan yakinlah bahwa semua akan baik-baik saja. Karena sesungguhnya, hidup ini indah.
(HMDayat)

Advertisement