Pappasang tu Riolo, Dalam Kebudayaan Makassar

BUDAYA||Legion News – Orang Makassar merupakan salah satu suku yang memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih tersimpan dengan baik.

Salah satu kebudayaan yang masih tersimpan hingga saat ini adalah pappasang tu riolo yaitu pesan-pesan, nasihat, atau wasiat. Dalam artian pappasang sangat berhubungan dengan kearifan dan sarat dengan nilai serta pembentukan karakter.

Pappasang jug adalah salah satu bentuk pernyataan yang memuat nilai etis dan moral, baik dalam artian sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam  tradisi masyarakat Makassar.

Dalam pappasang  terdapat ide besar buah dari pikiran yang luhur, pengalaman spiritual yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk.

Advertisement

Ada salah satu contoh pappasang yang masih terus dirawat oleh masyarakat suku Makassar di Kabupaten Kepulauan Selayar atau yang juga dikenal sebagai Tana Doang. Seorang penyair bernama Amir Jaya menyampaikan sebuh teks pappasang berbahasa Makassar dengan dialek Selayar yang secara umum beberapa kata berbeda dengan bahasa Makassar dialek Lakiung yang dituturkan di Kota Makassar dan umum menjadi bahasa Makassar standar. Berikut teks pappasangnya.

“Bojaki nyawa-Na lalang tallasamu  namurappungngi  tallasa ri kalemmu  sangge mukalepa bajiki iamintu katallassanga nikuayya: Huwa.”

“Kajai antu sallang tau tallasa mingka bakka pomponna natide naha-nahanna.”

Artinya:

“Carilah ruh-Nya di dalam hidupmu dan rengkuhlah hidup ke dalam dirimu sampai engkau mendekap utuh hakikat kehidupan yang disebut; Dia.”

“Sebab banyak di kemudian hari orang yang hidup dengan perut yang besar tetapi kosong pikirannya.”

Teks pappasang ini jika kita melihat dengan saksama maka akan terlintas di pikiran kita bagaimana pengaruh kajian tarekat sangatlah melekat. Bahkan ilmu tarekat semacam ini seperti menjadi idola para kaum muda yang memang haus akan ilmu irfan. Pesan sufistik di atas bukanlah  tarikat yang digunakan untuk menundukkan hati perempuan.

Bukan juga digunakan untuk ilmu kekebalan  tubuh, tetapi tarikat penguatan akidah. Lirik pesan di atas menjelaskan sebuah  jalan  lurus menuju kebenaran yang hakiki. Yaitu bagaimana cara menjadi pribadi yang secara utuh agar merdeka dari penjajahan hawa nafsu.

Inti pesan dari pappasang ini dapat dilihat pada kalimat “sangge mukalepa, bajiki, iamintu katallassanga, nikuayya: Huwa.” Atau yang berarti “sampai engkau mendekap utuh hakikat kehidupan yang disebut ; Dia”. Diksi “Huwa” dalam perspektif ilmu tasawuf mengarah ke satu titik penyempurnaan hidup. Apa yang dimaksud sebagai titik penyempurnaan hidup secara semiosis tidak lain adalah Tuhan yang maha kuasa menjadi tujuan akhir.

Huwa yang diserap dari bahasa Arab ini menunjukkan ke-Maha Sempurnaan Tuhan seperti yang terdapat di dalam Al Quran Surah Al Ikhlas yaitu surah ke 112.

Agar kita sebagai hamba mampu mencapai keutuhan hidup, maka tentu kita harus membangun persiapan awal. Persiapan itu dimulai membekali diri dengan keikhlasan ibadah melalui proses akboja yang berarti mencari frekuensi ilahiah.

Kita bisa lihat dalam falsafah syahadat islam. Dimana falsafah itu sebenarnya digabung oleh dua buah pernyataan. Pernyataan awal bersaksi bahwa tidak ada Tuhan, dan pernyataan kedua adalah kecuali Allah. Artinya memang proses pencarian Tuhan dimulai ketika menegasikan semua hal karena kebenaran itu haruslah dimulai dari keragu-raguan.

Dan setalah proses mencari itu mencapai hasil, maka disitulah kita bersaksi bahwa Tuhan itu memang benar benar ada. Kemudian diksi akrappung atau merengkuh gelombang kekuatan makrifatullah. Dalam ilmu tasawuf, proses ini dikenal dengan istilah tahalli, takhalli dan tajalli.

Atau para penempuh tarikat sering menyebutnya sebagai ikhtiar pengosongan hati, pengisian batin dan penikmatan jiwa atas ke-Maha Indahan Ruhullah.

Bagi pengikut tarekat, ketika keindahan dan kelezatan hidup telah didapatkan berupa gelombang makrifatullah, maka saat itu dunia ini akan terasa fana (kosong). Teks pappasang yang menjelaskan adanya kefanaan itu ada pada kalimat “kajai antu sallang tau tallasa mingka bakka pomponna natide naha-nahanna.” yang berarti “sebab banyak di kemudian hari orang yang hidup dengan perut yang besar tetapi kosong pikirannya.” Dua idiom yang digunakan yaitu “pompong” dan “naha-naha” merupakan pancaran wajah manusia yang mewakili alam realitas. Kata pompong dan naha-naha yang dalam bahasa Makassar dialek Selayar bermakna perut dan otak.

“Bakka pomponna” atau perut yang besar memilki makna sebagai sifat “bojatongko dalle” atau kikir, “anungku ngaseng” joreng atau rakus, “i nakke tommo” atau individualistis, dan “ri bokoangpi hallalakna” yang berarti materialistis. Sedangkan “natide naha-nahanna” atau kosong pikiran ini dimaknai sebagai sifat “ikau tommo naung” atau sifat masa bodo, “passang tommi anne” atau tidak peduli dengan orang lain, “i naiko” yang berarti merasa hebat daripada orang lain, “porenu” atau bebal, dan “terasa atenna” atau keras hati.

Sebagai penutup saya ingin menyampaikan bahwa memang banyak pappasang tu riolo yang erat kaitannya dengan dunia tarekat. Sehingga nilai nilai pappasang ini ketika kita sudah menjalakannya niscaya sifat bakka pomponna yang berarti perut yang besar dan natide naha-nahanna atau pikiran yang kosong akan bisa kita hindari. Selain tentu kita juga melestarikan budaya Makassar di tengah gencarnya budaya asing yang masuk ke nusantara dan kurang pedulinya kaum muda terhadap warisan leluhur ini.

Advertisement