Dirut TVRI: Film G.30.S.PKI Tidak Relevan Lagi

Advertisement

Jakarta, Legion NewsDirut TVRI yang baru dilantik, Iman Brotoseno, ramai menjadi perbincangan dan sorotan karena jejak digital dan pikirannya yang tersebar di akun twitternya (sekarang sudah dinonaktifkan) dan blog pribadinya (masih bisa diakses).

Salah satunya soal Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober. Sebagaimana diketahui, Hari Kesaktian Pancasila adalah hari nasional di Indonesia. Ini terjadi setelah Peristiwa Gerakan 30 September yang lebih dikenal sebagai G30SPKI, yaitu insiden dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) menginginkan Indonesia menjadi negara Komunis yang tentu saja bertentangan dengan Ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Dimana diketahui pada peristiwa G.30.S.PKI, Enam jenderal serta beberapa orang lainnya dibantai oleh Partai Komunis Indonesia. Gejolak yang timbul akibat G.30.S.PKI sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer Indonesia, sehingga dinamakan Hari Kesaktian Pancasila
Namun, menurut Iman Brotoseno Hari Kesaktian Pancasila sudah tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang Jenderal-jenderal yang dibunuh. Demikian dikatakan Iman Brotoseno di blog miliknya.
http://blog.imanbrotoseno.com/kesaktian-pancasila-masih-relevan/#more-3654 dalam karyanya berjudul “Kesaktian Pancasila. Masih relevan ?”.
Kata Iman Broroseno, setiap tanggap 1 Oktober mestinya menjadi hari rekonsiliasi atas beban dendam sejarah masa lalu.
“Hari Kesaktian Pancasila sudah tidak relevan lagi jika hanya dianggap sebagai cara mengenang Jenderal jenderal yang dibunuh,” tulisnya.
“Tapi mestinya menjadi hari rekonsiliasi atas beban dendam sejarah masa lalu. Sekian lama kita membenarkan tindakan pembantaian itu, merupakan pembalasan yang dilakukan rakyat, sebagai reaksi atas tindakan kekerasan yang sebelumnya dilakukan oleh anggota PKI,” paparnya.
Kata Iman Brotoseno, kita banyak melupakan pembantaian kepada mereka yang dianggap komunis, lebih banyak menyasar kepada orang-orang yang tidak bersalah. Tidak hanya keluarga para korban.
Tapi juga guru guru yang tak tahu politik dan hanya ikut berteriak “Guru lapar mereka tak bisa mengajar”.
“Bagaimana kita menjelaskan ribuan guru yang hilang dari sekolah sekolah dalam periode tersebut. Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadap wayang, atau reog sehingga diasosiasikan terhadap Lekra,” jelasnya.
Tidak hanya pembunuhan, tetapi juga penindasan. Isteri isteri anggota Angkatan Udara yang diludahi di pasar pasar paska G 30 S. Anak anak korban yang tidak bisa memperoleh pekerjaan karena alasan ‘tidak bersih lingkungan’. Belum mereka yang diusir dari rumahnya, karena rumah mereka diambil secara paksa.
Iman Brotoseno mengatakan, Lubang buaya bukan hanya sumur di Pondok Gede. Masih ada jurang-jurang atau lubang besar yang menampung ribuan jasad mereka yang dianggap PKI.
“Setelah dibantai, mereka dilempar ke Watu Ongko Tuban, jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi dan masih banyak lubang lubang dan jurang di penjuru negeri,” paparnya.
“Tidak ada salahnya, jika bangsa ini meminta maaf terhadap kesalahan-kesalahan masa lampau. Ketakutan bahwa permintaan maaf akan membuka luka lama, tak perlu ditakuti, karena sejarah tak harus ditutupi. Kalau kelak rekonsiliasi ini tercipta, Pancasila tak perlu lagi diperingati kesaktiannya. Ia cukup dihayati karena kebajikannya,” pungkasnya. (**)

Advertisement