Bupati-Wali Kota, Naik Kelas atau Nyaleg?

Direktur Profetik Institute, Asratillah
Direktur Profetik Institute, Asratillah

OPINI – Sejumlah kepala daerah di Sulsel akan genap dua periode pada Pemilu mendatang. Itu artinya sang tokoh tak bisa lagi maju di daerah yang dipimpinnya pada Pemilu 2024 mendatang.

Mereka adalah Adnan Purichta Ichsan (Bupati Gowa), Taufan Pawe (Walkot Parepare), Danny Pomanto (Walikota Makassar), Basli Ali (Bupati Selayar), Andi Fashar Padjalangi (Bupati Bone), Andi Kaswadi Razak (Bupati Soppeng), Suardi Saleh (Bupati Barru), Muslimin Bando (Bupati Enrekang), Indah Putri Indriani (Bupati Lutra), Judas Amir (Walikota Palopo), Basmin Mattayang (Bupati Luwu) dan Theofilus Allorerung (Bupati Tana Toraja).

Tentu karier politik yang bakal ditempuh pilihannya adalah maju Pilgub atau Nyaleg. Hanya saja, dari sejumlah figur yang akan mengakhiri masa jabatannya sebagai kepala daerah, hanya beberapa diantaranya dinilai layak maju Pilgub. Adnan, Taufan Pawe, Danny, Indah dan Andi Fashar.

Selebihnya tentu Senayan jadi target realistis. Status Eks kepala daerah tentu bisa menjadi booster suara parpol di Pileg.

Advertisement

Bagaimana tanggapan Asratillah Direktur Profetik Institute Selaku Pengamat Politik?

Kalau kita berkaca ke pemilu-pemilu sebelumnya, maka kepala daerah yang juga menjabat sebagai kader partai bahkan ketua partai baik di level provinsi ataupun kabupaten kota, senantiasa dimanfaatkan sebagai “pion” strategis oleh parpol untuk menaikkan jumlah perolehan suaranya di pemilihan legislatif.

Parpol sebagai peserta sah dalam pemilu, secara rasional akan mencari cara yang efektif dan efisien agar perolehan kursinya tidak berkurang bahkan mengalami penambahan. Dan salah satunya adalah memasukkan mantan kepala daerah atau keluarga-keluarganya sebagai calon anggota legislatif, baik di tingkat kab/kota, provinsi maupun pusat.

Kenapa mantan kepala daerah ataukah anggota keluarga dari kepala daerah yang masih menjabat, menjadi incaran para parpol, untuk dijadikan booster elektoral di pileg?

Pertama, mantan kepala daerah memiliki modal politik, modal sosial dan modal ekonomi yang jelas. jearing loyalisnya pun masih relatif terpelihara, apalagi masih memiliki pamor yang cukup besar di antara para birokrat pemerintah daerah.

Dan yang terpenting adalah, mantan kepala daerah memiliki pengalaman tanding, sedikit banyaknya dia mengetahui medan pertarungan politik, mengetahui tokoh-tokoh kunci dan berpengaruh di daerahnya.

Cuman yang menjadi tantangan bagi mantan kepala daerah jika menjadi cleg DPR RI, berarti dia tidak hanya akan menggarap daerah yang pernah dipimpinnya tapi juga mesti menggarap daerah-daerah lain, dan tentunya ikut berkompetisi dengan mantan kepala daerah lain yang juga ikut mencaleg.

Kedua, mantan kepala daerah ataupun kepala daerah yang aktif, dan merangkap sebagai pimpinan parpol tertentu, kemungkinan besar memiliki agenda politik sendiri terhadap parpol yang dipimpinannya.

Jika kepala daerah bersangkutan masih aktif, maka kemungkinan besar dia berkepentingan dengan rekomendasi parpol bersangkutan untuk maju sebagai calon kepala daerah kedua kalinya, dan disini bisa menjadi titik masuk parpol untuk meminta kepala daerah bersangkutan untuk menjadikan keluarganya sebagai caleg.

Atau bisa juga ada mantan kepala daerah yang menjadi pimpinan parpol, tapi berkepentingan terhadap parpol yang dipimpinnya agar kelak memberikan rekomendasi kepada keluarga atau orang dekatnya yang akan dia dorong sebagai calon kepala daerah, pada titik ini partai juga bisa meminta bargaining agar mantan kepala daerah bisa maju menjadi caleg.

Cuman, yang menjadi perhatian para parpol memang adalah, perolehan kursi di tingkat DPR-RI, karena menurut UU Nomor 7 tahun 2017, ada ambang batas minimal perolehan suara 4 % dari total jumlah pemilih agar parpol punya perwakilan di DPR RI. Sehingga parpol akan menggunakan mantan kepala daerah atau keluarga kepala derah sebagai booster elektoral di pileg mendatang. (LN)

Advertisement