Demo Erick dari Kaca Mata Demokrasi

Ditulis oleh: C. Suhadi SH MH.
Relawan Jokowi. Divisi hukum Aliansi Relawan Jokowi (ARJ)

JAKARTA||Legion News – Demo Erick berujung laporan polisi, barangkali itu babak baru bagi seorang Erick yang di percaya memimpin BUMN oleh Presiden Jokowi dan kalah tidak kalah serunya Laporan Polisi yang digulirkan oleh sekelompok orang yang namakan dirinya sebagai Pendukung menuai protes, dari banyak kalangan.

Tidak tanggung tanggung laporan terhadap demo itu di sikapi dengan Kritis oleh Ketua Umum YLBHI, itu artinya sikap kritis bukan ditanggapi secara bijak dan arif akan tetapi dengan cara pandang pressure ( tekanan ) dan barangkali itu menjadi benar seolah olah demokrasi hendak dibungkam dan dikebiri ditengah tengah kebebasan itu menjadi vilar terdepan dalam bentuk kebebasan menyampaikan pendapat.

Menurut saya kalau memang seorang Erick dari kacamata yang sempit tidak tahan dikritik sebagai pejabat publik akan menjadi benar menjawab tuntutan kelompok pendemo, Erick sebaiknya mundur di tahta jabatannya sebagai seorang pentinggi di BUMN. Karena pemimpin seperti ini tidak pas ada di alam demokratis, dan selanjutnya kembali berkiprah sebagai seorang pengusaha yang punya hak veto terhadap kepimpinannya. Karena dengan Erick sebagai pengusaha menjadi bebas menentukan orang orang yang suka dan tidak suka dengan cara memecatnya.

Advertisement

Jabatan publik adalah jabatan yang diamanahkan oleh rakyat, sehingga sebagai seorang pimpinan ( Menteri ) harus siap dikritik bahkan bukan hanya itu tapi siap dimaki kalau memang salah dan menympang. Karena perbedaan pendapat itu menjadi biasa serta logis diruang publik sepanjang masih dalam wilayah kritik, tidak perlu ditanggapi dengan cara cara membabi buta dan kalap.

Lihat Presiden Jokowi bukan hanya di kritik tapi bahkan sudah jauh dari itu. Saya sebagai relawan beliau, tetapi beliau hanya menanggapinya dengan dingin dan diam. Demikian juga waktu Pilpres banyak laporan yang saya buat tanpa Pak Jokowi meminta atau marah dengan fitnah tersebut.
Ingat masalah 7 juta kertas suara yang dicoblos untuk kemenangan capres Jokowi yang sempat viral, beliau tidak meminta tetapi saya sebagai relawan yang melaporkannya, karena berita tersebut bukan dalam bentuk kritik akan tetapi mengarah pada fitnah, sehingga tindakan tersebut harus dengan jalan melaporkan agar fitnah tersebut dapat diungkap dalangnya dan diproses secara hukum.
Dan banyak lagi laporan yang dibuat, tapi semua itu adalah sudah melalui kajian hukum bukan emosi asal dulung asal lapor. Dan berkaiatan dengan kritik baik yang menyerang atau nyinyir kepada Presiden bukan dalam ranah laporan polisi akan tetapi biasanya di counter dengan tulisan, ya sebangsa hak jawab dan pelurusan dari ketidak benaran berita yang disampaikan.

Kalau boleh saya berkata jujur memang banyak pihak dari bisik bisik tetangga yang tidak suka dengan Erick termasuk saya didalamnya. Kenapa? Tentunya ketidak sukaan itu menjadi bervariasi dan tidak boleh diukur sama.
Barangkali yang banyak saya dengar adalah masalah teman teman yang berjuang di pilpres yang tidak dapat apa apa dan tidak menjadi apa apa. Padalah seorang Erick sebelum di tunjuk sebagai menteri oleh Presiden terpilih, Bapak Jokowi sudah teriak teriak agar Presiden memperhatikan Relawan yang berkeringat. Nyatanya setelah jadi dan tunjuk menteri, seorang Erick lupa sama ucapannya sendiri, karena kawan kawan yang sudah berkeringat hampir nyaris tidak dapat apa apa.

Rupanya defisi beringat hanya ada di kening seorang Erick dan relawan tidak tidak punya peluh yang sama dengan seorang Erick, itu artinya ada sebuah ego yang dijual dan ada sebuah frame yang ambigu antara ucapan dan tindakan. Apakah begini seorang yang mau digandang gandang jadi pemimpin. Maka usul saya kepada aparat hukum agar tidak hanya asal terima laporan. Mereka ada pejuang di relawan Jokowi yang sedang berekpresi pada dimensi perbedaan dan menjadi sah di negara demokrasi seperti Indonesia.(*)

Advertisement