Perusahaan Farmasi Untung Dimasa Pandemi, Pedagang Kecil Bisa Kolaps dan Berpotensi Menimbulkan Gejolak Sosial

Aksi Sekelompok Massa Demo Tolak PPKM di Bandung. Rabu, 21 Juli 2021
Advertisement

Penulis : Umar Hankam
Direktur Utama : PT. MHD
(Legion-news.com)

RUBRIK||Legion-news.com tulisan ini berkaitan dengan suasana pandemi COVID-19 di Tanah air. Banyak catatan penting yang perlu masyarakat ketahui siapa saja pihak yang diuntungkan selama pandemi dan PPKM.

Redaktur Legion-news.com melaporkan beberapa beberapa catatan selama masa pandemi yang dimulai diawal tahun 2020 di Indonesia.

Siapa saja yang diuntungkan selama pandemi berlangsung? Berikut tulisan yang dapat kami buat selama masa pandemi.

Advertisement

Kita mulai dari pemilik rumah sakit dan klinik, pengusaha obat-obatan, penjual suplemen, pedagang APD, dan mereka yang mendapat proyek penyaluran Bantuan Sosial (Bansos).

Mereka ini adalah pihak yang diuntungkan di masa pandemi. Pundi-pundi kekayaan semakin berlimpah. Ini karena berlaku hukum besi pemasaran. Saat permintaan naik dan suplai berkurang, maka harga barang pasti menjadi mahal. Ini tentu berlaku hukum alamiah ekonomi yang mengatur hubungan antara permintaan dan penawaran.

Tapi ada hal yang tidak alamiah terjadi. Beberapa laporan diberitakan kalau ada rumah sakit yang meng-covid-kan pasien yang tidak mengalami Covid, pedagang obat yang menaikkan harga obat serta oknum pengusaha yang berkolaborasi di proyek APD dan Bansos dengan mark-up harga dan menurunkan kualitas barang yang akan didistribusikan ke masyarakat.

Modusnya bisa macam-macam. Ada minuman suplemen, diopinikan meningkatkan imun, diburulah oleh para pembeli. Rakyat “Kelas Tertentu” berlomba memborongnya. Hitungan hari, minuman itu hilang dari peredaran. Di supermarket dan minimarket barangka mulai langka.

Beberapa hari kemudian barang tersebut muncul di pasaran, tetapi harganya sudah selangit; naik 30-40 persen. Gila! Rakyat makin tercekik.

Yang memiriskan adalah kerja keras pemerintah dan ketaatan rakyat terhadap Prokes tercederai. Tidak sedikit yang lalu mengekspresikan kekecewaan dan kemarahannya dengan sikap dan tindakan yang tidak tepat.

Apalagi dalam situasi galau seperti ini, mereka dipertontonkan video sejumlah oknum pejabat publik yang pelesiran. Makin terpukullah masyarakat lapisan bawah.

Dalam kondisi pemerintah dan rakyat yang sedang susah, masih banyak pengusaha yang sangat tega “seenak edewe” mengambil keuntungan fantastis. Tega sekali!

Para pengusaha ini bukannya berkorban membantu pemerintah dan masyarakat di masa sulit, mereka justru kehilangan empati. Mereka sungguh tak punya perasaan.

Kepada mereka, negara mesti tegas: tertibkan! Orang-orang seperti mereka yang membuat bangsa ini sulit untuk bersatu. Padahal, pandemi mestinya membuat kita semakin bersatu dan semakin solider.

Bagaimana dengan masyarakat kita ditengah Pandemi COVID-19 dan Masa Pemberlakuan PPKM Darurat Jawa dan Bali?

Pemerintah mempertegas aturan selama pandemi COVID-19. Masyarakat diminta untuk patuh terhadap Protokol Kesehatan (Prokes) dengan Menggunakan Masker, Mencuci Tangan dan Mengatur Jarak populernya 3 M. Prokes berlaku sampai dengan sendi-sendi kehidupan hingga masuk ke wilayah-wilayah rumah-rumah ummat beragama di Indonesia.

Indonesia mengalami lonjakan COVID-19. Empat hari lalu mencapai puncaknya di hari Sabtu 17 Juli hingga Minggu 18 Juli 2021. Terjadi lonjakan pasien COVID-19 di Rumah Sakit, Pemerintah sempat dibuat kelebakan akibat stok oksigen dibeberapa rumah sakit mengalami kekurangan. Akibatnya terjadi jumlah kematian yang semakin banyak dan terjadi lonjakan kasus baru COVID-19.

Salah seorang warga Makassar yang saat ditemui di kedai warung kopi mengatakan, “Hidup mati Tuhan yang menentukan, kenapa takut Covid”, tambahnya. Repot juga ternyata menghadapi orang-orang seperti ini.

Ada yang 100 persen percaya, tapi hari-hari lapar. Kalau tidak keluar rumah tidak bisa makan. Sementara, hidup mereka tidak ada yang jamin, tukasnya.

Kelompok ini paling banyak kata dia, “Cash flow-nya harian. Hari itu dapat duit, hari itu juga buat makan.”

“Tidak dapat duit? Kelaparan! Inilah para pedagang kecil yang berpotensi menciptakan gejolak sosial.”

Kelaparan tidak pandang bulu. Urusan perut, ini soal hidup mati. Mazhab politik tidak berlaku. Di sinilah pentingnya bantuan dan jaminan sosial. Harus segera disalurkan dan harus tepat waktu, meski bantuan itu hanya sekadar untuk bertahan hidup.

“Yang ditertibkan itu kerumunannya, bukan dagangannya,” kata salah seorang bupati, mengutip salah satu pemberitaan media portal online.

Cerdas! PPKM memang aturan pusat, tapi kepala daerah mesti “ijtihad” untuk menerjemahkan aturan itu di lapangan. Kalau hantam kromo, bisa menimbulkan gejolak sosial.

Enak bagi yang punya gaji bulanan, atau yang masih ada tabungan. Pandemi memang berpengaruh, tapi tidak membuat mereka kelaparan. Dapur tetap mengepul karena tabungan masih ada.

Di tengah kas negara yang sudah jebol, ekonomi terkontraksi. Akibatnya banyak rakyat yang kelaparan, meski tetap saja ada yang beruntung walau jumlahnya sangat kecil.

Mengutip salah satu tulisan media nasional, apakah dana simpanan nasabah di bank bertambah dan jumlah orang kaya di Indonesia naik hingga 61,69 persen berasal dari bisnis Farmasi selama pandemi? Mesti perlu dicek datanya. Negara harus terlibat menertibkan segala macam intrik, persekongkolan dan tipu daya dari mereka yang ingin memanfaatkan situasi pandemi untuk memperkaya diri sendiri.

Kalau tidak, ancaman gejolak sosial akan susah dibendung. Tidak mustahil akan berlaku pepatah Bugis-Makassar bahwa, “lebih baik mati berdarah ketimbang mati kelaparan”. Situasi saat ini sangat menakutkan. Olehnya itu ketangkasan pemerintah menyalurkan bantuan sosial sangat menentukan. Apabila terlambat dan salah sasaran, maka pemberontakan dari bawah hanya masalah waktu saja.

Advertisement