FPI Makin Tersudut di Era Pemerintahan Jokowi

Advertisement

PERISTIWA||Legion News – Organisasi masyarakat (Ormas) berbasis keagamanan, Front Pembela Islam (FPI) menjadi perhatian pasca reformasi’98. Sejak era pemerintahan KH. Abdul Rahman Wahid (Gusdur), Hj. Megawati Soekarno Putri, hingga Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ormas Islam yang satu ini konsisten dengan Dakwah amar ma’ ruf nahi munkar, Selain itu selalu hadir terdepan dalam melibatkan diri melakukan evakuasi atau ikut serta membantu korban pasca bencana alam.

FPI terlanjur diberi stempel ormas radikal oleh pihak-pihak yang tidak sejalan, baik dalam pandangan politik ataupun cara pandang berbangsa yang berazaskan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945.

FPI di era Pemerintahan Joko Widodo, dinilai ormas radikal dan dianggap sebagai ormas yang dekat hubungannya dengan Hizbutahrir Indonesia (HTI), Dikesempatan ceramahnya pentolan FPI Habib Rizieq Shihab selalu mengatakan bahwa, bagi FPI Pancasila adalah Final dalam berbangsa dan bernegara.

Advertisement

Berikut tulisan, dari berbagai sumber yang tidak sejalan dan cenderung melihat FPI sebagai ormas preman berjubah agama.

Sejarah Hadirnya Front Pembela Islam (FPI) dan Peristiwa Panjang Perjalan FPI 1998 – 2020

FPI, Front Pembela Islam didirikan oleh MRS akronim dari Muhammad Rizieq Shihab, Pada tanggal 17 Agustus 1998. Wiranto yang pada saat itu menjadi Panglima ABRI, meminta MRS untuk membentuk para militer dengan jumlah lima puluh ribu orang yang kemudian menjadi kekuatan Pasukan Pengaman Masyarakat Swakarsa (PAM Swakarsa).

Kekuatan ini dimanfaatkan oleh loyalis Soeharto untuk dijadikan seperti tentara bayaran. Hampir seluruh rakyat, buruh, cendekiawan, dan mahasiswa, menentang rezim Orde Baru. MRS justru berada pada barisan Orde Baru untuk mengimbangi gerakan perlawanan. Meski massa FPI belum terlalu banyak, akan tetapi kantung-kantung pesantren di bawah naungan MRS dapat ambil bagian.

Mengutip dari media tirto.id dalam buku yang disunting oleh dosen Universitas Deakin, Shahram Akbarzadeh, berjudul Routledge Handbook of Political Islam (2012), Robert W. Hefner menulis kebanyakan personel Pasukan Pengaman Masyarakat Swakarsa (PAM Swakarsa) bergabung dengan FPI setelah Sidang Istimewa (SI) MPR November 1998. Tugas terakhir yang diemban PAM Swakarsa adalah menjaga keamanan sidang dari demonstrasi mahasiswa.

Benturan antara PAM Swakarsa dan barisan keamanan lainnya, dengan mahasiswa jelas tak terhindarkan. Benturan tersebut memakan korban 17 orang meninggal—kebanyakan mahasiswa—dalam insiden itu. Dilanjutkan dengan tragedi Semanggi I yang menandai awal jejak kiprah FPI. Hefner menulis, “PAM Swakarsa dibubarkan setelah SI selesai, tapi bagian intinya, FPI, tetap hidup. FPI akan memulai petualangan politik paling ambisius pada periode pasca-Soeharto.”

Benar saja, pada bulan November 1998, FPI kembali terlibat bentrok dengan preman Ambon di Jakarta. Kemungkinan, peristiwa berdarah preman Muslim dan Kristiani Ambon inilah yang kemudian menjadi titik awal dari konflik saling balas dendam di antara mereka saat berada di Maluku. Demikianlah debut FPI sebagai kelompok Islamis di Jakarta. Selanjutnya, banyak pihak yang cukup geram akibat tingkah preman berjubah agama ini.

Misalnya, pada 7 November tahun 2002, bentrok antara Laskar Jihad Ahlusunnah dan Laskar FPI dengan pendukung terdakwa Mixil Mina Munir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dari bentrokan tersebut, tiga aktivis mahasiswa cedera dikeroyok Laskar FPI. Selain itu, pada tahun 2003, Tubagus Muhammad Sidik yang juga seorang Panglima Laskar FPI, melakukan aksi sweeping tempat-tempat hiburan yang sama sekali bukan wewenang FPI yang dalam hal ini, menjadi wilayah pihak kepolisian. Pada 23 Desember 2003, 150 anggota FPI terlibat bentrok dengan petugas satuan pengaman Jakarta International Container Terminal (JICT).

Contoh lainnya, pada tahun 2005, FPI menyerbu pemukiman Ahmadiyah di Cianjur Jawa Barat. Di tahun yang sama, FPI juga memaksa untuk menutup gereja di Bandung. Ditambah dengan alasan pornografi, FPI menyerang dan merusak kantor Majalah Playboy.

Dalam tragedi monas pada tanggal 1 Juni 2008, atau lebih tepatnya saat hari kelahiran Pancasila, ratusan massa FPI dengan membawa senjata tajam, pentungan, dan batu yang disembunyikan di balik baju menyerbu; menyerang; menganiaya secara brutal terhadap Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang tengah merayakan Hari Lahir Pancasila di lingkungan Monumen Nasional (Monas).

Tragisnya, yang jadi sasaran amuk ricuh preman berjubah putih ini adalah mayoritas ibu-ibu dan anak-anak. Selain merusak panggung dan sound sistem, mereka juga merusak mobil di sekitar acara. Ironisnya lagi, aksi anarkisme FPI itu hanya beberapa jengkal langkah saja dari Istana Presiden, dan sejumlah aparat tidak bertindak apapun, seolah mendukung tindakan keterlaluan yang dilakukan oleh laskar FPI. Kebetulan penulis sendiri berada dalam acara tersebut, menjadi korban aniaya, dan menyaksikan perilaku kebiadaban massa FPI.

Tidak hanya itu saja, FPI juga terlibat kericuhan dan kekerasan lain. Pada 14 Februari 2012, empat anggota FPI memukul Bhagavad Sambadha, Koordinator aksi “Indonesia Tanpa FPI”. Satu bulan kemudian, tanggal 21 Februari 2012, massa FPI mengepung ruko saat mengadakan pengobatan gratis yang diduga menyebarkan ideologi sesat. Di tempat lain, massa FPI kembali memukul Aktivis Perdamaian Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (JUK) di HKBP Filadelphia Bekasi, Jawa Barat, pada 6 Mei 2012.

Bentrok juga terjadi antara FPI dengan warga Kota Pontianak pada 15 Maret 2012. Tidak hanya di Pontianak, bentrok antara warga dengan FPI juga terjadi di Gandekan, Solo, Jawa Tengah. Dua orang terdakwa diputuskan dalam sidang yang dikawal massa FPI dengan meneriakkan takbir. FPI juga menjadi sorotan ketika bentrok dengan warga di Kecamatan Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah, pada Kamis 18 Juli 2013. Kejadian ini mengakibatkan satu orang warga tewas tertabrak kendaraan FPI.

Pada 28-29 Januari 2011, FPI terlibat aksi pembatasan secara paksa terhadap hak atas kebebasan beragama yang melibatkan Jemaat Ahmadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan. Setahun berikutnya, pada 10 Agustus 2012, massa FPI Makassar merusak klenteng Kwan Kong, dan klenteng Ibu Agung Bahari. FPI bersama ormas Islam garis keras lainnya juga terlibat dalam menyetop pembangunan tempat ibadah di Yogyakarta pada 7 Mei 2012. Pada 25 September 2012, massa FPI bentrok dengan polisi saat mencoba menyerang restoran cepat saji di Mall Ciputra Semarang, Jawa Tengah.

Tuduhan Pelanggaran HAM Terhadap FPI

Menurut laporan Kontras (2014), kasus penyegelan gereja di Aceh Singkil, Provinsi Aceh juga dilakukan oleh FPI yang mengatasnamakan umat Muslim Singkil pada 30 April 2012. Penutupan paksa tempat ibadah yang disegel oleh pemerintah kabupaten Aceh Singkil, dan dibantu oleh kelompok FPI, adalah bentuk pelanggaran HAM yang semakin mempersulit umat kristiani di Aceh Singkil yang berjumlah 6.478 jiwa untuk beribadah.

Belum lagi aksi-aksi anarkisme terhadap kelompok Syiah Sampang, Madura, Jawa Timur. Pembakaran rumah sekaligus pesantren hingga korban mengungsi ke GOR Kabupaten Sampang. Jelas ini bentuk pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh sejumlah orang yang mengatasnamakan umat Islam, termasuk anggota FPI juga terlibat di dalamnya.

Di Nusa Tenggara Barat, pengusiran warga Ahmadiyah terjadi dan terus terjadi secara berulang yang melibatkan FPI. di Purwakarta, Kuningan, hingga Parung Bogor, pelanggaran HAM terhadap Jemaat Ahmadiyah, yang tentu saja dilakukan oleh FPI, telah mengoyak kebhinekaan kita. Aksi-aksi anarkis FPI, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah bentuk represif terhadap agama lain dan minoritas kepercayaan. Hal itu tidak lepas juga sebagai akibat kebijakan pemerintah yang telah memproduksi aturan-aturan diskriminatif, melakukan pembiaran, bahkan dalam hal-hal tertentu turut terlibat melakukan kekerasan dengan kelompok intoleran FPI.

Fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang jelas menyesatkan kelompok minoritas, telah mendorong aksi kekerasan brutal. Meski MUI sendiri tidak membenarkan aksi kekerasan tersebut. Namun nasi sudah menjadi bubur, banyak yang menjadi korban pelanggaran HAM, bahkan pembunuhan atas nama agama dengan keyakinan yang sempit.

Advertisement