Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pembentukan 22 Kodam Baru, ini Kata Pengamat Militer

Ilustrasi TNI AD. Tempo/Suryo Wibowo
Ilustrasi TNI AD. Tempo/Suryo Wibowo

LEGIONNEWS.COM – NASIONAL, Kabar TNI AD wacanakan penambahan Kodam mendapat penolakan dari Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Imparsial, Centra Initiative, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), KontraS, Public Virtue, YLBHI, serta belasan lembaga lainnya.

Koalisi masyarakat sipil itu meminta pemerintah serta DPR untuk mengambil kebijakan angkatan bersenjata yang lebih sesuai dengan potensi ancaman yang dihadapi Indonesia secara geografis.

Rencana penambahan Kodam baru itu disampaikan oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dalam Rapim TNI Polri 2024 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada Rabu, 28 Februari 2024 lalu. Penambahan tersebut akan menambah total jumlah Kodam di Tanah Air menjadi 37.

Wacana penambahan 22 Kodam baru itu masih menjadi pembicaraan publik. Berbeda dengan koalisi masyarakat sipil, Pengamat militer Khairul Fahmi mengatakan, menyamakan posisi Kodam dengan Polda dinilai kurang tepat.

Advertisement

Pasalnya, posisi Polri itu setara dengan organisasi TNI, bukan dengan matra sebagaimana Polri saat masih berada di bawah ABRI (TNI-red).

“Lagipula pembentukan Polda di setiap provinsi memiliki basis argumen dan urgensinya sendiri berdasarkan perundang-undangan,” jelas Fahmi.

Fahmi melanjutkan, pembentukan Polda memiliki basis hukum yang mengikuti daerah otonomi, sedangkan Kodam seharusnya didasarkan pada potensi ancaman militer dan strategi gelar kekuatan TNI yang menyangkut aspek teritorial.

“Jadi tidak bisa disamaratakan,” lanjut Fahmi.

Namun, Fahmi menambahkan, rencana pembentukan Kodam baru perlu disesuaikan dengan struktur organisasi kepolisian di daerah.

“Kodam dibentuk di tiap provinsi, seperti Polda, Kodim di setiap kabupaten/kota, lalu organisasi Korem dilikuidasi. Sebagian karena ditingkatkan statusnya menjadi Kodam, sebagian lagi karena tidak memiliki kaitan dengan daerah otonomi dan agar selaras dengan organisasi kepolisian,” tambahnya.

Meski begitu, jika memang perlu untuk dilakukan penyelarasan dengan pemerintah daerah dan kepolisian, Fahmi mengusulkan untuk membentuk organisasi yang akan menjadi perpanjangan tangan atau pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI di daerah lebih diprioritaskan.

“Terutama untuk melakukan pengelolaan sumber daya pertahanan negara di daerah sebagai implementasi sistem pertahanan semesta yang tertuang dalam UU No. 3 tahun 2002 dan UU No. 23 tahun 2019,” kata Fahmi.

Namun, lanjut Fahmi, rencana tersebut juga akan memunculkan pertanyaan terkait proporsionalitas dan masa depan rencana-rencana pembentukan satuan teritorial di matra lainnya seperti Kodamar TNI AL dan Kodau TNI AU.

“Apakah juga akan dikembangkan dengan mengacu pada administrasi pemerintahan daerah atau tetap mengacu pada proyeksi ancaman-tantangan yang bersifat militeristik serta potensi gangguan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah,” terang Fahmi.

“Mengacu pada hasil Rapim TNI, kita melihat bahwa pembentukan Kodamar dan Kodau, justru tetap mengacu pada potensi ancaman dan kebutuhan prioritas pembangunan pertahanan militer,” lanjutnya. (**)

Advertisement