Saoraja Institute Indonesia Sebut Pemuda Rawan Dijadikan Objek Politik Transaksional, Ini Alasannya!

Direktur Ekesekutif Saoraja Institute Indonesia, Amul Hikmah Budiman
Direktur Ekesekutif Saoraja Institute Indonesia, Amul Hikmah Budiman

LEGIONNEWS.COM -MAKASSAR, Direktur Ekesekutif Saoraja Institute Indonesia, Amul Hikmah Budiman baru saja mengeluarkan rilis survey tentang Persepsi dan Harapan Pemuda terkait Kondisi Sosial-Politik Sulawesi Selatan. Survey dilakukan di 24 Kab/Kota Se Sulawesi Selatan.

Metode yang digunakan adalah melalui e-survey sebanyak 410 responden yang diambil pada 08-16 Maret 2023. Mereka yang disurvey adalah pemuda berusia 17-30 tahun dari berbagai latar belakang profesi dan identitas. Survey dilakukan secara snowball sampling, meskipun penggunaan teknik ini kurang mewakili populasi, namun hasil dari survey ini dapat menjadi gambaran terkait pandangan sosio-politik pemuda di Sulawesi Selatan terhadap permasalahan dan harapan mereka dalam realitas hari ini.

Tingginya jumlah populasi usia muda, terlebih saat pemilu 2024 mendatang, diharapkan dapat menjadi referensi dalam memecahkan berbagai persoalan anak muda.

Amul mengungkapkan bahwa dari hasil survey tersebut ditemukan bahwa 30,8% pemuda mengeluhkan sulit mendapatkan lapangan pekerjaan dan 19,1% sulit mendapatkan bantuan modal usaha.

Advertisement

“Ketika kami menanyakan perihal masalah apa yang mereka rasakan berat hari ini, dua teratas yang ditemukan yakni persoalan lapangan kerja dan bantuan modal usaha. Keduanya berkaitan dengan kebutuhan ekonomi mereka”, ungkap Magister Unhas ini.

Lebih jauh Alumni Emerging Leaders Academy ini menuturkan bahwa dengan besarnya angka mengenai persoalan itu, usia muda akan sangat rawan untuk dijadikan sebagai objek politik transaksional. Sebab, akan diperhadapkan dengan kebutuhan ekonomi mereka. Apalagi persoalan tersebut banyak dikeluhkan oleh pemuda yang berusia 19-23 tahun. Golongan yang masih energik dan massif dalam menembukan bentuk dan jati dirinya.

“Persoalan ekonomi ini, akan menguji ketangguhan idealisme usia muda yang melekat sebagai identitas khusus bagi mereka. Jika anak muda tidak mampu kuat secara ekonomi, maka “kuda-kuda” mereka akan mudah goyah”, paparnya.

Amul menambahkan bahwa hari ini banyak kalangan yang mengharapkan anak muda untuk menjadi kelas menengah yang mampu menjadi edukator politik dan melawan segala gejala buruk proses demokrasi, terlebih jika pemuda itu melabeli dirinya sebagai aktifis, organisatoris, dan penggiat sosial. Tentu, akan menjadi sebuah bencana demografi, jika mereka bertemu dengan politisi atau kandidat yang pragmatis, lalu diperhadapkan dengan kesulitan ekonomi mereka, sehingga mereka akan sangat mudah patah dan mengambil jalan pintas untuk melahirkan pemimpin atau wakil rakyat yang minim gagasan dan hanya membawa keuangan, ketampanan, dan kecantikan.

“Masih ada 11 bulan menuju perhitungan suara, butuh upaya preventif untuk hal itu. Dari masalah itu, 35,8% pemuda menginginkan Balai Latihan Kerja di tiap Kab/Kota, 27,2% menginkan Bantuan Modal UMKM yang berkelanjutan,dan 18,2% menginginkan beasiswa Pendidikan. Jika perangkat negara mampu menghadirkan ruang-ruang ekonomi produktif bagi mereka, tentu akan memperkuat kembali jati diri mereka untuk mampu berdiri dalam proses demokrasi ini secara tegak menghindari segala godaan-godaan money politic,” lanjut peneliti muda ini.

Terkait figur yang diinginkan pemuda untuk pemilu 2024 baik eksekutif maupun legislatif, 53,2% menginginkan figur yang berjiwa muda, menawarkan program yang pro pemuda, dan paham kebutuhan pemuda.

Menanggapi data tersebut, di tempat terpisah, Akademisi Fisip Unhas, Dr. Rahmat Muhammad menuturkan bahwa data yang dihasilkan oleh Saoraja Institute Indonesia bisa menjadi data pembanding bagi pemerintah, khususnya di Sulawesi Selatan.

“Pemulihan ekonomi kita belum sepenuhnya paripurna, belum lagi kita dihantam dengan ancaman inflasi. Sehingga, dalam tahapan-tahapan pemilu ini, para pemuda kita yang belum mendapatkan kran sumber kehidupan,menjadi sebuah utopis bagi kita yang selama ini memerangi segala bentuk “penyakit” pesta demokrasi, sementara kaum muda kita belum memiiliki tameng untuk melawan itu. Memang sangat rawan mereka tergiur dan memaksa dirinya “menceburkan” diri kesana”, terang Kaprodi S2 Sosiologi Unhas tersebut.

Isu kepemudaan memang tak pernah ada habisnya untuk dibahas, sebab ia selalu bertalian dengan berbagai sektor kehidupan. Data tahun 2021 jumlah pemuda di Sulawesi Selatan tercatat sekitar 2,3 juta jiwa.‌

Advertisement