LEGIONNEWS.COM – SEJARAH, Generasi muda saat ini harus mengetahui masa kelam kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tragedi berdarah 58 tahun silam membuat 6 Jenderal dilingkup TNI-AD menjadi korbannya.
Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G30S memakan korban, salah satunya adalah Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani.
- Baca juga:
Betel Dukung Anak Jenderal Ahmad Yani Gugat Satu Inpres dan 2 Keppres Terkait Keluarga PKI
Pada dekade 1960-an, nama Ahmad Yani sangat dikenal publik karena ia menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Jabatan Menpangad merupakan jabatan tertinggi di TNI Angkatan Darat kala itu.
Sosok Ahmad Yani merupakan sosok yang vokal melawan komunisme di Indonesia dan menjadi musuh politik bagi PKI (Partai Komunis Indonesia).
- Baca juga:
Soal Keturunan PKI Bisa Mendaftar TNI, BMI: Panglima TNI Harus Mendengar Pendapat Masyarakat Luas
Karena vokal dengan PKI, Ahmad Yani menjadi salah satu korban G30S yang menurut banyak sumber didalangi oleh PKI.
Ahmad Yani menjadi sasaran penculikan G30S yang dilancarkan pada 30 September 1965 sampai 1 Oktober 1965 dini hari.
Kisah tragis bermula dari pasukan Tjakrabirawa yang merupakan pasukan pengawal khusus pejabat negara itu datang ke kediaman Ahmad Yani di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Ketika pasukan Tjakrabirawa datang, Ahmad Yani sedang tertidur dan dibangunkan oleh anaknya. Ahmad Yani terbangun dan menenemui pasukan Tjakrabirawan di rumahnya.
- Baca juga:
Pengamat, Jenderal Andika Punya Kemampuan Basmi Penyusup PKI dan Ekstrimis serta Ancaman Global
Karena dianggap tak sopan, Ahmad Yani pun diberondong peluru oleh prajurit berpangkat Sersan Dua alias Serda.
Adalah Gijadi bin Wignjosukardjo yang menjadi sosok penembak Ahmad Yani pada malam tragis itu.
Pada 30 September 1965, Gijadi dan kawan-kawan dari Batalyon Kawal Kehormatan I Resimen Tjakrabirawa dikumpulkan oleh atasan dan mendapat tugas khusus.
Ia bersama batalyonnya dikumpulkan di daerah Lubang Buaya dan dipimpin oleh pria bernama Reswad. Daerah Lubang Buaya sangatlah jauh ketika itu dari asrama batalyonnya tinggal.
Gijadi tinggal di asrama Tjakrabirawa daeran ring 1 di Tanah Abang II dekat Istana Negara. Gijadi yang saat itu berusia 38 tahun dipandang sebagai prajurit yang disegani oleh juniornya di kesatuannya itu.
- Baca juga:
BMI Hentikan Aksi Kelompok Fraksi Rakyat Makassar, Diduga Dukung PKI dan Teroris KKB Papua
Pada 1 Oktober 1965, Gijadi mendapat tugas dengan arahan bahwa ada Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.
Sebagai pasukan pengawal presiden, sudah barang tentu dirinya harus siap sedia mengawal keselamatan Presiden Soekarno kala itu.
Dikutip dari YouTube Inter Melayu, Gijadi diperintahkan oleh atasannya untuk menangkap Ahmad Yani hidup atau mati.
Gijadi masuk dalam kelompok penculikan Ahmad Yani yang dikomandoi oleh Pembantu Letnan Satu Mukidjan.
Setelah tiba di rumah Ahmad Yani, Gijadi berjaga di luar dan ia dipanggil masuk oleh Reswad. Reswad mengatakan kepada Ahmad Yani yang baru bangun kalau ada panggilan dari presiden.
Saat itu ada pembicaraan antara Reswad dan Sersan Satu Doblin, yang berakhir dengan pemukulan Sersan Doblin.
Gijadi yang dapat perintah mengambil Ahmad Yani hidup atau mati langsung melepaskan tembakan.
“Melihat dan mengingat perintah pengambilan harus dijalankan secara hidup dan mati, saya melepaskan tembakan,” ujar Gijadi saat persidangan dalam buku yang ditulis Kuncoro Hadi, Kronik 65: Catatan Hari Per Hari Peristiwa G30S Sebelum Hingga Setelahnya (1963-1971).
Gijadi menembakkan peluru dari senapannya ke arah tubuh Ahmad Yani. Sang jenderal pun ambruk di rumahnya sendiri dan disaksikan oleh anak-anaknya.
Ahmad Yani dibawa dengan cara diseret ke mobil dan pasukan tersebut kembali ke Lubang Buaya.
Kegagalan G30S membuat pasukan Tjakrabirawa banyak ditangkap, khususnya yang terlibat langsung dengan aktivitas penculikan. Beberapa hari setelah itu, Gijadi ditangkap dan ditahan.
Pada 18 April 1968 memberitakan bahwa Gijadi, Raswad, dan Mukidjan dijatuhi hukuman mati.
Hukuman tersebut dijatuhi secara resmi pada 16 April 1968 oleh Mahkamah Militer distrik Jakarta, namun Gijadi baru dieksekusi pada Oktober 1988. (Sumber: hops)