Minimnya Kesejahteraan Guru Honorer di Indonesia: Kualitas Pendidikan Menjerit

Foto: Ilustrasi Guru Honorer/Net
Foto: Ilustrasi Guru Honorer/Net

OPINI – Pahlawan tanpa tanda jasa’. Itu ungkapan usang yang kita kenal untuk disematkan kepada guru. Di negeri hijau dan subur Indonesia, guru bukan menjadi profesi kebanggaan dan tidak pula didambakan.

Menjadi guru tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, hati dan jiwa dikerahkan untuk mengabdi pada negara. Tak sepadan dengan gaji ataupun penghargaan yang diberikan, guru dituntut banyak tentang cita-cita bangsa, yakni mencerdaskan anak bangsa.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Lakukan Pertemuan Bilateral dengan Presiden Komisi Eropa

Tak heran anak-anak sekolah dasar jika ditanya mau jadi apa nanti, tak jarang yang tidak menginginkan menjadi sosok guru kelak. Branding dan framing guru memang sangat buruk di negeri ini. Bukan buruk sebagai teladan, akan tetapi buruk sebagai profesi yang ideal untuk menghadapi banyak himpitan ekonomi.

Advertisement

Dan hari ini, kita seolah lupa tentang tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh bapak pendidikan kala itu ‘memerdekakan manusia’, katanya. Nyatanya orang yang paling tidak merdeka saat ini adalah para guru yang gajinya saja tak cukup menghidupi keluarga dan meneruskan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya.

Berangkat dari pengalaman pribadi, saya merupakan anak dari seorang guru honorer, bergaji pas-pasan, sedangkan ayah sudah lama meninggal. Beliau, ibu saya pernah bercerita kala saya mondok ketika sekolah menengah atas bahwa gajinya tak turun selama 8 bulan, dengan besaran gaji tidak seberapa, yakni rata-rata Rp 600 ribu.

Dengan jam mengajar yang cukup padat, gaji beliau kala itu juga musti ditahan selama 8 bulan, regulasi yang merugikan hingga akhirnya berdampak pada anak-anaknya yang kala itu kesulitan melanjutkan pendidikan.

Bahkan hari ini, jika saya tidak mencari beasiswa, saya tak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Miris, prihatin, dan ironis. Guru yang sibuk mengajar dan mendidik anak murid di sekolah, namun kesulitan menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang layak. Hari ini kita tak boleh berkelit tentang buruknya pendidikan di negeri ini, dari hasil skor PISA Indonesia misalnya, yang dirilis pada 2018 berada pada posisi sangat memprihatinkan.

Selain itu, juga tak pernah mencapai skor rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Meskipun PISA bukan satu-satunya indikator kualitas pendidikan, akan tetapi tidak pula ada hal lain yang tersisa untuk merepresentasikan tingginya kualitas pendidikan Indonesia, kecuali fakta yang justru sebaliknya.

Kita bandingkan dengan kesejahteraan guru di Jepang, misalnya. Dikutip dari buku Education at a Glance-nya OECD (Japan) terdapat data yang menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru di Jepang yang mengajar selama 20 tahun sebagai seorang guru sekolah publik setidaknya akan memperoleh gaji sebesar 362,900 yen atau setara dengan Rp 27,324,555 per bulan. Silakan bandingkan dengan Indonesia.

Dan tidak hanya itu para guru juga memperoleh extra salary (adjusment allowance) sebesar 4% gaji bulanan, dan juga akan mendapatkan bonus 2 kali dalam setahun, yaitu bulan Juni dan Desember sebesar 4,65% gaji bulanan.

Sehingga guru yang bekerja selama 20 tahun akan menerima total penghasilan per bulan sebesar 362,900 plus (362,900×4%) = 377,416 yen. Dan akan menerima gaji per tahun sebesar 362,900×12 plus (362,900×4%x12) plus (363,900×4.65%x2) = 4,562,741.7 yen. Atau setara dengan Rp 503,726,684 per tahun, sehingga perbulan guru di Jepang mendapatkan gaji bersih mencapai 42 juta.

Selain gaji, bonus dan ekstra gaji seperti di atas, terdapat pula beberapa tambahan gaji yang tidak berlaku nasional, misalnya: regional allowance, supporting family allowance, commuting allowance, head teacher allowance and head teacher instructor allowance, club activities instructor allowance.

Bayangkan dengan gaji bersih dan bonus lainnya itu didapatkan oleh para guru di Jepang, mungkinkah mereka masih kerja sambilan seperti berdagang, membuka les privat, mengajar di lebih dari satu sekolah hingga bahkan sambilan menjadi pedagang di kantin sekolah bila dibutuhkan.

Maka dari refleksi tulisan ini setidaknya mengantarkan seberkas peringatan yang menjadi perhatian bersama khusus nya pada pemerintah yang sampai saat ini perhatiannya terhadap pendidikan belum menjadi prioritas.

Jika pendidikan yang dilahirkan dari sistem negara ini belum cukup melahirkan kesejahteraan, maka tentu harus kembali lagi kita renungkan sebetulnya apa yang salah dari upaya kita sampai saat ini?

Wallahu a’lam bisowab.

OLEH: DIAN FITRIANI
Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ

(Sumber: rmol)

Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya danatau Naskah rilis/Keterangan Pers ataupun Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis naskah seperti Kolom Opini, Memberi Keterangan pers dan legion-news.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ataupun pemberitaan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini/Rilis berita/Keterangan Pers Redaksi legion-news.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Advertisement