Banjir Parepare, Ditangani dengan Kemanusian dan Kepedulian Bukan Sinisme

Sulkifli Nasrullah, ST. Anak Parepare di Makassar
Sulkifli Nasrullah, ST. Anak Parepare di Makassar

OLEH: Sulkifli Nasrullah, ST.
Anak Parepare di Makassar

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Bencana alam banjir yang menimpa beberapa titik lokasi di kota Parepare pada 1 Februari 2023 lalu adalah peristiwa alam yang telah dua kali terjadi dalam kurun waktu tiga bulan terakhir memasuki musin penghujan yang curahnya cukup besar.

Kita semua paham bahwa musim penghujan adalah siklus musim yang biasa di daerah tropis negeri ini, namun untuk kondisi curah hujan yang sangat tinggi intensitasnya ini sehingga mengakibatkan bencana alam banjir akibat meluapnya sungai hingga menjangkau pemukiman warga ditambah dengan arus yang deras dari arah pegunungan membuat kerusakan yang cukup parah bahkan yang kedua kalinya ini memakan korban jiwa ini adalah kondisi yang benar-benar baru bagi warga kota kecil nan indah Parepare.

Hampir semua warga Parepare terheran-heran hingga menimbulkan banyak spekulasi terkait penyebab banjir ini. Dalam kondisi seperti ini sebagai umat beragama tentu saja kita menyadari kondisi alam namun hal ini pula tidak bisa begitu saja terlepas dari peran manusia yang mendiami alam itu sendiri. Kondisi ini sepatutnya mendorong kita untuk instropeksi diri dan meningkatkan pengetahuan dalam menjaga kemanusiaan kita.

Advertisement

Kota adalah potret terkini dari sebuah masa depan peradaban manusia, pada kehidupan kota kita akan melihat, merasakan dan mengalami perubahan yang niscaya bahkan seperti gelombang yang kalau boleh diumpamakan ombak kejut yang bisa menghanyutkan dan menenggelamkan namun bisa pula menjadi arus kuat yang mengantar manusia menuju sebuah kehidupan dan peradaban yang diimpikan.

Sebagai kota kecil kedua setelah Makassar sebagai ibukota provinsi Sulawesi Selatan Parepare menggeliat, bertumbuh tidak hanya pada aspek pembangunan fisik namun juga pada aspek populasi, hal ini menjadi indikasi tumbuh kembangnya peradaban yang mendorong manusia untuk bermukim, dan salah satu dampaknya adalah manusianya akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan papan atau pemukiman ditengah-tengah bertumbuhnya ekonomi yang di akselerasi oleh pembangunan daerah dari fisik ke fasilitasi kehidupan manusianya.

Menipisnya ruang-ruang tropika sebagai pori-pori bumi akibat menebalnya kebutuhan pemukiman manusia tentu memiliki konsekuensi akan berubahnya kondisi alam dan salah satu dampaknya adalah rendahnya resapan air, sehingga kemungkinan besar daya tampung kawasan terhadap volume air semakin menipis dan berakibat banjir.

Namun betapapun asumsi pengetahuan kita akan kondisi alam semesta bahwa bencana alam adalah sebuah kejadian yang merenggut setidaknya kepemilikan manusia atas benda dimuka bumi. Kerugian materil maupun non-materil adalah kesedihan yang patut kita prihatinkan dengan kemanusaiaan dan kepedulian bukan dengan sinisme berlebihan dengan membabi buta menyalahkan berbagai pihak bahkan menyentil personal kepemimpinan di daerah, seperti yang diopinikan oleh saudara Sukmayadi dalam tulisannya.

Sangatlah tidak bijak jika sinisme diradang disaat duka meradang. Menyalahkan bukan solusi, apalagi menyelesaikan masalah, namun malah membuat kisruh dan memperburuk kondisi. Ruang berfikir solutif jadi berkabut dan sulit menemukan jalan keluar dari suatu permasalahan, melarang manusia untuk berimajinasi, merenung dan bermimpi tentang sebuah kebaikan apalagi ditengah-tengah kondisi keprihatinan yang mendalam adalah tindakan kurang bijak.

Advertisement