LEGIONNEWS.COM – Sebanyak 8 orang ditetapkan sebagai tersangka praktik curang penyalahgunaan barcode MyPertamina di dua lokasi berbeda, Yaitu wilayah Tuban, Jawa Timur, dan Karawang, Jawa Barat.
Dua orang lainnya Dalam Pencarian Orang alias DPO oleh Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri.
Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nunung Syaifuddin mengungkapkan, keuntungan yang diperoleh dari kegiatan curang tersebut berdasarkan pengakuan sementara para tersangka dari TKP Tuban dan Karawang menghasilkan keuntungan Rp 4,4 miliar.
Praktik curang penyalahgunaan barcode MyPertamina untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis solar.
Menurut Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pol Nunung untuk para tersangka di Tuban mengaku, meraup keuntungan sekitar Rp 1,3 miliar selama lima bulan.
“Nah ini nanti akan kita dalami lagi dari barcode yang digunakan, apakah memang lima bulan atau lebih dari itu,” ujar Nunung di Bareskrim Polri, Rabu (6/3/2025) kemarin.
Sementara untuk TKP Karawang, menghasilkan keuntungan senilai Rp 3,07 miliar dari praktik ilegal selama satu tahun.
“Jadi, total dari perkara ini keuntungan yang mereka peroleh lebih kurang Rp 4,4 miliar,” kata Nunung.
Sebagaimana diberitakan, delapan orang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan
Untuk TKP Tuban, Jawa Timur, polisi mengamankan tiga orang tersangka, yaitu BC, K, dan J. Sementara di wilayah Kabupaten Karawang Jawa Barat, ada lima tersangka LA, HB, S, AS, dan E.
Namun, ada dua tersangka yang melarikan diri, yakni berinisial COM dan CRN.
“Jadi ada dua DPO (Daftar Pencarian Orang) untuk TKP Tuban,” ujar Nunung.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat pasal 40 Angka IX Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang perubahan atas ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2021 tentang Minyak dan Gas Bumi jo pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
Berdasarkan pasal tersebut, para tersangka terancam pidana penjara paling lama enam tahun serta denda paling banyak Rp 60 miliar. (*)