Oleh: Agus Sahbani
LEGIONNEWS.COM – HUKUM, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan gugatan yang diajukan aktivis HAM Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanti, YLBHI, dan AJI yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946; Pasal 310 ayat (1) KUHP; Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE.
Mereka menilai keberadaan pasal-pasal itu justru menghambat dan mengkriminalisasi para pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia (HAM) dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Rumusan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas, sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kalangan pro demokrasi nampaknya menyambut gembira mendengar kabar dibatalkan/dihapuskan pasal larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran sebagaimana diatur Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebab, Mahkamah mengabulkan dan menyatakan kedua pasal itu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias tidak berlaku lagi sebagai norma hukum.
“Dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan No. 78/PUU-XXI/2023 di ruang sidang pleno MK, Kamis (21/3/2024).
Para pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah.
Dalam petitumnya, para pemohon mengajukan petitum provisi agar Mahkamah mengabulkan permohonan provisi dengan memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim. sampai dengan adanya putusan pengujian UU yang diajukan para pemohon. Para pemohon juga meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal Karet
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan” yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi “pasal karet” yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud “pasal karet” adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya.
Rumusan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas, sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat mengakses jaringan teknologi informasi, masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat yang acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperoleh adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berkelebihan.
“Sehingga berita dimaksud tersebar dengan cepat kepada masyarakat luas yang hal demikian dapat berakibat dikenakannya sanksi pidana kepada pelaku dengan mendasarkan pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut,” ujar Hakim Konstitusi Arsul Sani saat membacakan pertimbangan putusan.
Bila dicermati terdapat ketidakjelasan terkait ukuran atau paramater yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara. Dalam KBBI, kata dasar keonaran adalah onar, yang memiliki beberapa arti yakni kegemparan, kerusuhan, dan keributan.
Dari telaahan makna kata “onar atau keonaran” dalam KBBI, makna kata “keonaran” adalah bersifat tidak tunggal. Karena itu, penggunaan kata keonaran dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP berpotensi menimbulkan multitafsir karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan.
“Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana,” dalihnya.
Apabila dikaitkan dengan hak kebebasan berpendapat yang dijamin UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberi masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya. Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan.
Terlebih, tidak adanya ketidakjelasan makna “keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP tersebut seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin UUD 1945 yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Tidak relevan lagi
Kemudian Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan pertimbangan hukum Mahkamah yang menilai unsur “onar atau keonaran” yang termuat dalam Pasal 14 KUHP sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi saat ini. Kini, masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial. Dalam hal ini dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik.
Hal tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik yang bukan serta merta dapat dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran dan dapat (dengan mudah) dikenakan tindakan oleh aparat penegak hukum.
“Jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam dengan hukuman pidana,” terang Enny Nurbaningsih.
Mahkamah juga menyatakan terkait unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dalam Pasal 14 KUHP mutatis mutandis (otomatis) menjadi pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan pertimbangan unsur “kabar yang tidak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam Pasal 15 KUHP.
“Dengan adanya rumusan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas, sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak memberi pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. Dengan demikian, dalil para pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 adalah beralasan menurut hukum.”
Pasal 310 ayat (1) KUHP inkonstitusional bersyarat
Setelah dicermati materi muatan ketentuan Pasal 433 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru), menurut Mahkamah, terdapat perbedaan antara ketentuan norma dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dengan norma Pasal 433 UU 1/2023 yakni dalam Pasal 433 UU 1/2023 terdapat penegasan pelaku melakukan perbuatan pencemaran mencakup perbuatan “dengan lisan” dan unsur tersebut tidak diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Karena itu, tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah 3 tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026), maka penegasan berkenaan dengan unsur “perbuatan dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Rumusan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 yang luas dan tidak jelas, sehingga dapat diartikan secara tidak terbatas dan beragam, telah menyebabkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Norma Pasal 310 ayat (1) KUHP dimaksud dapat memberikan kepastian hukum dan mempunyai jangkauan kesetaraan yang dapat mengurangi potensi adanya perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap addresat norm atas ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan ambiguitas,” terang Enny.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat yang dimaknai pencemaran nama baik dengan cara lisan sebagaimana yang selengkapnya akan dinyatakan dalam amar putusan perkara a quo.
“Menyatakan Pasal 310 ayat (1) KUHP yang menyatakan, ‘Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah’, bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,”
Oleh karena kesimpulan Mahkamah tersebut bukan sebagaimana yang dimohonkan para pemohon. Namun, dalil para pemohon berkenaan inkonstitusionalitas norma Pasal 310 ayal (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sementara itu, Mahkamah menganggap permohonan para pemohon terhadap pengujian norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 kehilangan objek, sehingga putusannya tidak dapat diterima.