DPD Bentuk Pansus Kecurangan Pemilu, Fahri Bachmid: Tidak Diberikan Mandat Konstitusional

FOTO: Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H.
FOTO: Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H.

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menggelar sidang Sidang Paripurna Ke-9 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2023-2024 di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (5/3).

Sidang itu dipimpin Ketua DPD La Nyalla Mattalitti. Dalam sidang Paripurna itu oleh para anggota DPD RI menyetujui membentuk Panitia Khusus (Pansus) Kecurangan Pemilu di lembaga tinggi itu.

Tujuannya agar untuk mengungkap banyaknya dugaan pelanggaran dan kecurangan pada penyelenggaraan Pemilu serentak 2024 lalu.

Dalam sidang paripurna itu LaNyalla mengatakan Komite persetujuan yang membidangi soal Pemilu sudah menyatakan sikap terkait kecurangan dalam Pemilu 2024.

Advertisement

“Komite I yang membidangi soal Pemilu sudah menyatakan sikap terkait kecurangan dalam Pemilu 2024, tetapi ada usulan untuk pembentukan Pansus. Apakah dapat disetujui?,” Ucap LaNyalla saat memimpin sidang.

“Setuju,” timpal peserta yang hadir.

“Mohon Kesekjenan untuk memperhatikan dan mempersiapkan tindak lanjut pembentukan Pansus ini,” lanjut LaNyalla.

Terkait DPD akan membentuk Pansus Kecurangan Pemilu. Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. memberikan tanggapan atas kebijakan pembentukan Panitia khusus (Pansus) dugaan kecurangan Pemilu oleh DPD RI.

Kepada media, Dr. Fahri Bachmid menguraikan bahwa berdasarkan konstitusi, desain serta konstruksi hukum tata negara tidak menempatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk melakukan “checks and balances” dan/atau review terhadap proses ataupun produk pelaksanaan pemilihan umum, oleh karena “resultante” dari prosedur maupun proses pelaksanaan pemilihan umum, UUD 1945 telah menentukan secara limitatif organ-organ konstitusional yang berwenang yang dapat menyelesaikannya secara otoritatif, yaitu MK, Bawaslu, DKPP, Pengadilan dan seterusnya.

“Dan bukan diselesaikan dengan menggunakan berbagai instrumen politik di parlemen, sehingga sesungguhnya pilihan kesisteman serta format hukum Pemilu telah di”arrange” sedemikian rupa dalam kerangka hukum Pemilu kita saat ini melalui politik hukum,” ujar Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu. Rabu (6/3/2024)

“Itu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan demikian maka ketika mencermati langkah DPD RI tersebut, maka tentunya secara hukum dapat dikategorikan sebagai sebuah kebijakan lembaga negara yang sifatnya “ultra vires” atau diluar batas kewenangan,” tutur Fahri.

Fahri Bachmid menguraikan bahwa kewenagan serta mandat konstitusional DPR RI telah ditentukan secara jelas “determined clearly and firmly” oleh UUD 1945, yang mana Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) rancangan undang­-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.

Lanjut, Serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, kemudian DPD ikut membahas rancangan undang­-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

Serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang­-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang­undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Fahri Bachmid juga menguraikan bahwa dalam pelaksanaan teknis kewenagan DPD tersebut, maka Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang­-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

“Dengan demikian, saya berpendapat bahwa pada hakikatnya konstitusi tidak memberikan mandat hukum kepada DPD dalam membuat sebuah kebijakan untuk keperluan serta kepentingan pengawasan terhadap proses Pemilu, apalagi yang berkonotasi dugaan pelanggaran, karena sesungguhnya DPD bukan alat perlengkapan pengawasan Pemilu,” tutup Fahri Bachmid. (LN)

Advertisement