LEGIONNEWS.COM – Syahrul Yasin Limpo sedang asyik memetik timun di perkebunan screen house di Almeria, Spanyol, ketika penyidik KPK menggeledah rumah dinasnya di Widya Chandra, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (28/9).
Sejak empat hari sebelumnya, Minggu (24/9), Syahrul memang melawat ke Italia dan Spanyol, antara lain untuk mengikuti konferensi yang digelar Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tak disangka, itulah lawatan terakhir Syahrul selaku Menteri Pertanian.
Saat petugas KPK masuk ke rumah dinas Syahrul di Jakarta, hanya ada asisten rumahnya yang berjumlah sekitar 10 orang. Mereka turut menyaksikan penggeledahan di kediaman majikan mereka itu.
Di sebuah ruangan di lantai 2, petugas menemukan 12 pucuk pistol dalam wadah, di antaranya bertuliskan “North America”. Namun, wadah pistol berjumlah lebih banyak dari senjata api yang ditemukan. Ada wadah yang kosong. Senpi-senpi itu kemudian diserahkan ke Polda Metro Jaya.
Di ruangan yang sama dengan pistol-pistol itu, ditemukan pula tumpukan uang dalam rupiah dan dolar singapura. Penyidik KPK mengeceknya dengan mesin penghitung uang dan menyebut jumlahnya mencapai Rp 30 miliar. Uang-uang itu berada dalam puluhan amplop berwarna cokelat yang masing-masing bertuliskan nama-nama pejabat .
“Diduga nama-nama pemberinya, hasil setoran/pemerasan,” kata sumber di internal KPK.
Penggeledahan KPK merupakan tindak lanjut atas terbitnya surat perintah penyidikan (sprindik) kasus dugaan korupsi di Kementan pada 26 September. Informasi yang dihimpun kumparan, KPK sesungguhnya sudah melakukan gelar perkara dan memutuskan perkara ini naik ke penyidikan sejak 13 Juni.
Meski belum resmi mengumumkan kasus tersebut, KPK sudah menetapkan tiga tersangka, yakni Syahrul Yasin Limpo beserta dua anak buahnya, Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta. Menurut Juru Bicara KPK Ali Fikri, mereka disangkakan pasal pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang.
Pada hari penggeledahan rumah dinas Syahrul, KPK juga menggeledah rumah Kasdi di Bogor. Esoknya, Jumat (29/9), KPK menggeledah ruangan Syahrul dan Kasdi di kantor Kementan, Ragunan, Jakarta Selatan. Berbarengan dengan itu, rumah Hatta di Jagakarsa, Jaksel, juga digeledah.
Dari penggeledahan rumah ketiga tersangka, KPK menemukan dokumen berjudul “Draf Pendapat Hukum Sehubungan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Kementan 2019–2023” tertanggal 31 Agustus 2023.
Dokumen utuh itu ditemukan di tiap rumah tersangka. Menurut sumber di internal KPK, dokumen legal opinion tersebut identik dengan laporan hasil penyelidikan oleh KPK terhadap ketiganya dalam kasus korupsi Kementan.
“Persis substansi perkara,” kata sumber kumparan.
Tim kumparan melihat dokumen tersebut. Pada tiap halamannya, tertera watermark bertuliskan confidential alias rahasia. Pembuat dokumen itu adalah firma hukum Visi Law Office yang digawangi mantan juru bicara KPK Febri Diansyah, mantan Kabag Perancangan Peraturan & Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang, dan mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz.
Usai menggelar ekspose kasus dugaan korupsi Kementan pada 13 Juni, KPK menjadwalkan permintaan keterangan Syahrul Yasin Limpo pada 16 Juni. Namun, politisi NasDem itu tak datang karena menghadiri pertemuan G20 menteri-menteri pertanian di India.
Namun, sehari sebelum terbang ke India, Syahrul menunjuk Febri dkk sebagai kuasa hukum. Febri sekaligus diminta menjadi pengacara Kasdi dan Hatta dalam kasus di KPK. Syahrul, Kasdi, dan Hatta merekrut Febri cs atas nama pribadi, bukan kementerian. Sepulangnya dari India, barulah Syahrul memenuhi undangan permintaan keterangan dari KPK pada 19 Juni.
Selaku kuasa hukum, Febri diminta menyusun legal opinion. Bahan penyusunan LO didapat dari penjelasan masing-masing klien (Syahrul, Kasdi, Hatta) dan para pegawai Kementan, serta salinan dokumen-dokumen di Kementan yang didapatkan dari klien, juga tambahan informasi dari pemberitaan media.
Semua itu, kata Febri, sesuai dengan aturan pada Pasal 17 UU Advokat, bukan hasil menyadur laporan hasil penyelidikan (LHP) KPK. Adapun Pasal 17 UU Advokat tersebut berbunyi:
Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut, yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Febri dkk menyusun LO itu selama tiga bulan. LO tersebut juga berfungsi sebagai “kajian potensi atau titik rawan masalah hukum di Kementan”. Setelah rampung, draf LO diserahkan kepada Kasdi.
Namun kemudian, menurut Jubir KPK Ali Fikri, penyidik juga menemukan LO serupa di rumah dinas Syahrul dan Hatta. KPK pun memanggil Febri, Rasamala, dan Donal Fariz untuk mengklarifikasi temuan LO tersebut. Febri dan Rasamala diperiksa Senin (2/10), sementara Donal masih dijadwalkan pemanggilan ulangnya oleh KPK.
Febri menyatakan, pembuatan LO adalah lumrah dalam proses pendampingan hukum. Dalam LO yang ia susun, tertuang pula analisis risiko hukum yang disebut sebagai Fraud & Corruption Risk Assessment atau Corruption Case Mapping.
“… [tentang] kajian yang bisa memetakan masalah hukum yang terjadi dan potensial terjadi, untuk kemudian dapat dilakukan perbaikan atau penguatan pencegahan korupsi,” kata Febri kepada kumparan, Jumat (6/10), di kantornya di wilayah Pondok Indah, Jaksel.
Meski demikian, sumber kumparan di KPK tak sepakat bila LO itu dianggap sebagai upaya pencegahan korupsi. Menurutnya, jika niatnya untuk pencegahan, mestinya kementerian membuat kajian atas nama lembaga, bukan individu.
“Baru tahu ada kementerian lakukan kajian [dengan] rekrut pengacara atau swasta. KPK melakukan pengkajian pencegahan saja belum tentu dilakukan. Lalu kalau pencegahan, kira-kira barang (dokumennya) rahasia atau terbuka? Terbuka kan? Tapi ini confidential (rahasia),” kata sumber tersebut.
Menurut Febri, LO memang dokumen confidential yang menjadi hak klien sesuai Pasal 19 UU Advokat. Di situ, diatur bahwa advokat wajib merahasiakan hal yang ia ketahui dari kliennya dan mendapat perlindungan atas berkas dan dokumennya dari penyitaan atau pemeriksaan. Mengacu pada aturan ini, Febri mengatakan tak bisa membicarakan isi LO lantaran terikat larangan UU Advokat.
Namun, kumparan sempat melihat sekilas isi LO tersebut dari sumber lain di lingkup penegak hukum. Dari daftar isinya, tebal LO tersebut mencapai 165 halaman dan memuat analisa risiko hukum, antara lain dengan penggalan kalimat sebagai berikut:
…dugaan transaksi dolar, jual beli jabatan, aliran bansos, dugaan aliran dana DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran) ke Partai NasDem melalui Biro Umum Kementan, pembelian Alphard, beli perhiasan, sewa private jet, sewa helikopter, ulang tahun menteri pertanian, dugaan pembelian jam tangan Rp 107,5 juta…
Bagian lain LO memuat identifikasi 21 isu hukum dan 8 klaster temuan. Tiap isu hukum dibuat matriks berupa tabel yang terbagi menjadi kolom isu hukum, pasal, dan simbol segitiga yang di dalamnya bergambar tanda seru berwarna merah, kuning, hijau.
Isu hukum pembelian jam tangan Rp 107,5 juta dan Protap Makassar ditandai dengan simbol berwarna merah. Sementara pemberian kado, umrah, perhiasan, ulang tahun menteri, dan aliran dana DIPA ditandai simbol berwarna kuning.
Menurut sumber penegak hukum, simbol berwarna merah disematkan lantaran ada dugaan kuat tindak pidana korupsi. Sementara warna kuning digunakan pada peristiwa yang datanya belum lengkap; dan warna hijau untuk masalah internal Kementan yang bersifat administratif.
Diminta mengembalikan kerugian tersebut, si pejabat menyebut dana itu untuk setoran ke “atas”.
Sumber berbeda di kementerian itu menguatkan cerita itu. Menurutnya, kerugian negara di institusinya salah satunya ditemukan lewat modus mark up anggaran perawatan. Misalnya, spesifikasi yang ditulis dalam perencanaan berbeda dengan realisasi pengerjaan di lapangan.
Menurutnya, modus mark up lebih mungkin dilakukan ketimbang memalsukan perjalanan dinas, sebab laporan perjalanan dinas biasanya mesti disertai tiket—yang lebih sulit dipalsukan.
Namun, seorang penegak hukum menyebut bahwa di Kementan pun ada perjalanan dinas ke luar negeri yang tidak semestinya. Biaya perjadin untuk Syahrul, orang dekatnya, dan keluarganya itu dibebankan ke anggaran Kementan. kumparan sempat melihat salinan surat pertanggungjawaban perjalanan dinas ke Jakarta, Roma, Belgia, Belanda, dan Uni Emirat Arab.
Dua sumber di internal Kementan mengatakan, dugaan korupsi di instansinya juga berupa penyalahgunaan APBN, misalnya penganggaran honorarium acara bagi narasumber dari internal Kementan. Padahal dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Masukan yang tiap tahun diperbarui, honorarium hanya dibayarkan bagi narasumber di luar instansi penyelenggara acara.
Menurut tiga sumber kumparan di Kementan dan lingkup penegak hukum, APBN kementerian juga kerap dipakai untuk keperluan pribadi Mentan, seperti pembiayaan avtur pesawat jet sampai urusan busana.
Sumber di internal KPK menyebut bahwa modus setoran di Kementan berbentuk piramida. Pucuk pimpinan menggunakan pengepul untuk menarik setoran dari pejabat-pejabat eselon di bawahnya.
Jumlah setoran tersebut, menurut staf-staf Kementan, berbeda-beda untuk tiap pejabat, tergantung besar kecilnya anggaran di divisi terkait. Sumber lain menyebut, jumlah setoran bisa mencapai ratusan juta rupiah per satu atau beberapa bulan. Bila dikumpulkan, panen setoran itu mencapai miliaran rupiah.
Sumber kumparan di KPK menyebut, upaya menarik setoran bahkan masih terjadi saat Syahrul hendak pergi ke Eropa pada 24 September. Padahal, saat itu Syahrul sudah diperiksa KPK sehingga tahu betul bahwa ia sedang diusut KPK. Tindakan Syahrul itu, ujar si sumber, jelas terbilang nekat.
KPK menemukan uang Rp 30 miliar di rumah Syahrul dan Rp 400 juta di rumah Hatta. Uang itu diduga belum semua, sebab dalam proses penyelidikan sebelumnya, ada dugaan uang yang sudah dicuci sekitar Rp 25 miliar.
Selain itu, KPK sudah menerima Laporan Hasil Analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait aliran dana Syahrul. Menurut informasi yang dihimpun kumparan, jumlah aliran dana itu di atas Rp 100 miliar.
Terkait kasus tersebut, KPK telah mengajukan pencegahan ke luar negeri terhadap Syahrul, Kasdi, Hatta, dan enam orang lain, termasuk istri, anak, dan cucu Syahrul.
kumparan yang menghubungi pejabat eselon II Kementan untuk bertanya soal dugaan korupsi di institusinya itu, tidak mendapat respons. kumparan juga sudah mengirim pesan kepada Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementan Eddy Purnomo, namun belum pula mendapat balasan.
Sementara itu, Febri Diansyah dkk dari Visi Law Office kembali ditunjuk menjadi pengacara Syahrul, Kasdi, dan Hatta dalam proses penyidikan KPK. Febri menyatakan, mestinya tuduhan pemerasan, gratifikasi, dan pencucian uang dalam kasus Kementan disampaikan secara langsung terlebih dahulu kepada tersangka.
“Barulah kemudian dia (tersangka) bisa menjelaskan [jawabannya]. Karena itu hak orang yang disangka atau orang yang dituduh untuk mengetahui apa yang dituduhkan. Sampai sekarang kan Pak Syahrul belum dipanggil, belum diperiksa. Kalau dipanggil, tentu dia akan kooperatif,” ujar Febri.
Untuk menghadapi kasus serius yang menjeratnya ini, Syahrul telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri. Saat datang ke Kementan untuk pamit, Kamis (5/10), ia mengatakan pada saatnya nanti akan menjelaskan dan menyelesaikan semua proses hukum yang ia hadapi.
Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah berpendapat ke depan, pengganti Syahrul perlu memiliki pemahaman yang memadai terkait dinamika persoalan pertanian demi menopang peningkatan kesejahteraan petani dan produksi hasil pertanian.
“Selain itu hendaknya seorang Mentan mengabdinya pada petani bukan menjaga kepentingan partai. Jadi menurut sy lebih baik Mentan dari kalangan profesional bukan dari partai,” tutup Said.
“Semoga ke depan, upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi lebih kuat dan dilakukan secara bersih, serta tidak terkontaminasi kepentingan politik praktis.” – Syahrul Yasin Limpo
(Sumber: kumparan)