Jenderal Polisi Jusuf Manggabarani, Cahaya Bhayangkara

Sumber foto Merdeka.com

EDUKASI||Legion News – Saat itu, tahun 1980, dia bertugas di Timor Timur. Tiba-tiba terdengar rentetan suara tembakan di tengah malam. Pasukan Fretilin berhasil menguasai TVRI.

Perwira muda Brimob ini dengan tenang mengambil 2 senjata. Satu diserahkan ke istrinya yang baru saja melahirkan, serta satu pucuk senjata ke seorang Polisi. JM akronim dari Jusuf Manggabarani, Bersama belasan pasukannya mengepung gedung TVRI.

Terjadi baku tembak berjam-jam, hingga terbit matahari, gedung TVRI berhasil diambil alih. Pasukan Fretilin dipukul mundur oleh pasukan Brimob dipimpin sosok putra Sulawesi ini. Atas keberhasilan operasi tersebut, dirinya ditawarkan kenaikan pangkat istimewa. Tapi Jenderal Yusuf Manggabarani memilih sekolah.

Advertisement

Perwira muda itu bernama Jusuf Manggabarani (JM).

Di lain waktu, ada gerombolan preman kampung yang menguasai Palopo, Sulawesi Selatan, selama bertahun-tahun. Dipimpin oleh Sukri seorang kepala preman saat itu, Mereka menggunakan senjata rakitan pa’poro dalam aksinya.

Tidak ada polisi yang berani menyentuh kelompok ini. JM pun dikirim kesana, Saat itu pangkatnya sudah kolonel. Terjadi duel ala koboy antara JM dan Sukri.

Sukri dipersilahkan menembak terlebih dahulu. Tidak ada peluru yang bisa menembus tubuh JM. Hingga pelurunya habis. Saat giliran menembak, JM membidik lengan Sukri. Kelompok preman ini pun bubar.

Apakah lelaki Mandar ini kebal peluru? Tidak. Ternyata JM tahu betul jarak tembak senjata pa’poro hanya 45 meter. Jadi dia buat jarak duel 60 meter.

Ada juga kasus dua tetangga yang saling bermusuhan. Di Makassar. Keduanya sudah saling menghunus parang. Amarah sudah memuncak. JM lalu datang mengamankan. Keduanya dibawa ke kantor polisi. Tapi bukannya di proses secara hukum, JM malah menghadirkan ulama untuk mendamaikan. Kedua tetangga ini akhirnya berdamai dan selanjutnya hidup harmonis hingga bertahun-tahun kemudian.

Bagi JM, tidak semua kasus pidana ringan harus dibawa ke pengadilan. Cukup dengan pendekatan kekeluargaan (Humanis) dan yang penting, kata JM, “kasus jangan diuangkan.” (**)

Advertisement