Bolehkah Polisi Bertindak Represif Dalam Penanganan Aksi Demonstrasi?

Penulis: Dr.dr. Ampera Matippanna, Sked. MH
Dokter fungsional Pada Badan Pengembangan SDM Provinsi Sulawesi Selatan

EDUKASI||Legion News – Akhir-akhir ini ada kecenderungan yang meningkat dikalangan para aktifis pemuda dan mahasiswa serta kaum buruh memilih bentuk kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum melalui aksi-aksi deminstrasi dari sekian banyak pilihan cara menyatakan pendapat dimuka umum yang di jamin pelaksanaannya oleh negara.

Memang menarik untuk dikaji aksi-aksi demonstrasi ini karena selain menjadi ajang untuk berorasi untuk menyampaikan isi pikiran, pendapat dan kritik terhadap sebuah ketimpangan yang menjadi dasar gerakan aksi, juga menjadi ajang membangun rasa solidaritas yang tinggi, semangat reformasi dan pembaharuan serta semangat perjuangan atas nilai-nilai moral yang dapat mempengaruhi dan melibatkan banyak orang.

Itulah sebabnya mengapa aksi-aksi demonstrasi selalu dipandang sebagai sebuah bentuk kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum yang paling memiliki daya pressure yang tinggi dalam mempengaruhi dan mengubah sebuah kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang dianggap bertentangan dengan hak-hak konstitusional masyarakat yang berpotensi menimbulkan ketidak adilan dan merugikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Advertisement

Karena aksi demonstrasi yang melibatkan banyak orang maka disadari atau tidak dapat dianggap sebagai sebuah gerakan politik yang dapat merugikan atau menguntungkan pihak-pihak tertentu, maka tidak heran dalam setiap aksi demonstrasi selalu ada pihak-pihak yang berusaha menggagalkan atau mendukung aksi tersebut baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi dibelakang layar.

Tentunya mahasiswa yang bergerak atas dasar moralitas dan kemanusiaan diharapkan agar mengawasi setiap aksi yang dilakukannya sehingga mereka terbebas dari para penumpang gelap yang dapat memanfaatkan aksi-aksi tersebut untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu sehingga terhindar dari tudingan-tudingan miring bahwa mereka dimanfaatkan atau bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu. Sering kali kita mendengar istilah aksi demonstrasi ” pesanan ” atau aksi demonstrasi ” bayaran “.

Dalam prakteknya tidak sedikit aksi demonstrasi yang dilakukan awalnya berjalan aman dan tertib namun pada akhirnya berbuntuk anarkis dan vandalisme dimana terjadi aksi-aksi kekerasan dan penghancuran fasilitas umum serta penghancuran dan penjarahan barang milik pribadi. Hal ini sungguh sangat disayangkan karena idealnya gerakan demonstrasi tersebut adalah gerakan moral demi untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat padahal fasilitas umum tersebut dibangun dengan menggunakan uang rakyat yang diperjuangkannya. Sungguh sebuah ironi jika gerakan aktifis pemuda, mahasiswa dan kaum buruh ternodai oleh anarkisme dan vandalisme.
Terjadinya aksi anarkisme dan vandalisme sungguh sangat sulit dibendung karena dapat saja berawal dari sikap dan tindakan massa aksi dari pemuda, mahasiswa dan buruh , dapat pula berawal dari sikap dan tindakan petugas atau berawal dari penumpang gelap yang dengan sengaja ingin membuat aksi demonstrasi tersebut menjasi chaos agar dapat mengail di air yang keruh untuk kepentingan dari kelompok dan golongan tertentu.

Maka menjadi penting bagi semua pihak yang akan melaksanakan kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum agar memahami bahwa dalam pelaksanaan hak tersebut mereka terikat dengan asas keseimbangan antara hak dan kewajiban yaitu dalam melaksanakan kebebasan berpendapat dimuka umum ada kewajiban yang harus mereka patuhi yaitu kententuan untuk menghormati dan menghargai hak-hak dan kebebasan orang lain, menghargai dan menghormati moralitas yang diakui dimuka umum, mentaati hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta menjaga ketertiban umum , persatuan dan kesatuan bangsa sebagai mana diatur dalam ketentuan Pasal 6 UU No.9/1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum.

Selain kewajiban sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 6 UU No.9/1998 juga terdapat kewajiban lainnya untuk tidak melakukan aksi demonstrasi di lingkungan istana kepresidenan , tempat ibadah, Rumah Sakit , instansi militer , Bandar Udara dan pelabuhan laut, stasiun kreta api , terminal dan obyek-obyek vital lainnya , tidak melakukan aksi demonstrasi pada hari Libur nasional dan tidak membawa barang yang dapat membahayakan keselamatan orang banyak sebagai mana yang diatur dalam ketentuan Pasal 9 UU No.9/1998. Selanjutnya juga adanya kewajiban dari pihak yang ingin menggunakan kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum dengan cara demonstrasi agar menyampaikan secara tertulis minimal 3×24 jam kepada aparat kepolisian sebelum demonstrasi dilaksanakan.

Penyampaian tertulis tersebut setidaknya memberi keterangan maksud dan tujuan , lokasi, tempat dan rute , waktu dan lamanya aksi dilaksanakan, penanggung jawab, nama dan alamat organisasi dan jumlah peserta sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 UU No.9 / 1998.

Jika kewajiban pihak yang akan melaksanakan aksi aksi demonstrasi dapat dipenuhi dengan baik maka dengan sendirinya mereka akan memperoleh hak kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum sebagai sebuah kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pelaksanaan hak konstitusional tersebut, memberikan pengamanan dalam pelaksanaan aksi demonstrasi , mengedepankan asas legalitas dan asas praduga tak bersalah bagi pihak yang akan melaksanakan aksi demonstrasi.

Jika semua proses dapat berjalan dengan baik maka tentunya proses demokrasi akan berjalan dengan baik karena setiap pelaksanaan hak-hak harus diikuti dengan kewajiban-kewajiban yang menyertainya.

Persoalannya adalah jika terjadi pelanggaran terhadapat ketentuan dalam pasal 6,9 dan 11 UU No. 9 Tahun 1998 yang berpotensi atau yang telah menyebabkan terjadinya anarkis dan vandalisme bolehkah Polisi bertindak represif ? Hal ini perlu mendapat perhatian bagi banyak pihak dalam menilai kejadian-kejadian aksi demonstrasi yang berbuntuk anarkis dan vandalisme tersebut yang selalu secara salah kaprah dengan menuding aparat kepolisan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya melakukan tindakan represif dalam membungkam massa aksi demonstrasi.

Bahwa seolah-olah massa aksi demonstrasi tidak pernah salah, dan tidak layak mendapat tindakan atau sanksi hukum.

Jika kita lebih lanjut mencermati ketentuan dalam UU No.9/1998 bahwa dalam penanganan aksi demonstrasi polisi berhak bertindak represif jika massa aksi demonstrasi tidak mematuhi kewajibannya dalam melaksanakan hak kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum. Tindakan represif yang dimaksud antara lain membubarkan massa aksi damai dan melakukan tindakan hukum sampai pada penerapan sanksi hukum terhadap setip orang dari kelompok massa aksi yang melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15,16 dan 17 UU No.9/ 1998.

Tentunya tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian haruslah berdasarkan standar operasional yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan Kapolri sebagai mana yang diatur dalam PerKapolri No.1/2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisiaan , PerKapolri No.8/ 2009 Tentang implementasi Prinsip dan Standar HAM, PerKapolri No .16/ 2006 Tentang Pengendalian massa dan PerKapolri No 7/2012 Tentang Pelayanan, pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum.

Secara garis besarnya keempat Perkapolri tersebut mengatur perilaku aparat kepolisian agar tindakan represif yang dilakukan harus secara humanis , proporsional, rasional, transparan dan sesuai kebutuhan berdasarkan ekskalasi peningkatan aksi yang berjalan. Pelanggaran terhadap ketentuan SOP yang dimaksud dapat dianggap sebagai tindakan melanggar hukum dan HAM.

Berdasarkan hal tersebut, maka sesungguhnya tindakan represif kepolisian bukanlah hal yang tidak dapat dilakukan sepanjang sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Dalam pengertian lain tindakan represif haruslah menjadi pilihan terakhir setelah semua upaya preventif dan persuasif telah dilakukan semaksimal mungkin, dimana tindakan represif tersebut tidak atas dasar emosional, penyalah gunaan kekuasaan dan kewenangan.

Advertisement