Dua Lembaga Antirasuah Soroti Mantan Napi Tipikor Lolos DCT di Dapil Sulsel 2

KPU (properti detik)
KPU (properti detik)

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Dua lembaga antirasuah di Sulawesi Selatan (Sulsel) menyoroti keputusan KPU RI dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap atau DCT mereka diantaranya Watch Relation of Corruption (WRC) Sulsel dan Lembaga Kontrol Keuangan Negara atau LKKN.

Kedua lembaga antirasuah itu menilai KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu tidak konsekuen.

Pasalnya beberapa waktu lalu KPU RI secara resmi merilis daftar nama mantan narapidana korupsi yang terdaftar sebagai Daftar Calon Sementara (DCS) calon anggota legeslatif dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Diketahui Ketua Divisi Teknis KPU Idham Holik merilis 52 mantan Napi tindak pidana korupsi. Dari ke 52 nama itu, untuk Daerah Pemilih (Dapil) Sulsel mencuat satu nama tokoh politis partai Golkar.

Advertisement

Kini Nurdin Halid oleh KPU telah menetapkan nya sebagai Daftar Caleg Tetap (DCT) untuk Daerah Pemilihan (Dapil) II Sulsel dari partai golongan karya (Golkar).

Sabtu 26 Agustus 2023 yang lalu Indonesia Corruption Watch (ICW) resmi merilis 15 nama mantan narapidana korupsi salah satu menjadi sorotannya nama Nurdin Halid (NH) yang masuk dalam DCS di Dapil Sulsel II.

ICW menyebut salah satu nama bakal calon anggota legeslatif (Bacaleg) dari Daerah Pemilihan (Dapil) 2 Sulawesi Selatan. Nurdin Halid, tingkatan pencalonan DPR, Partai Golkar, Dapil Sulsel II, nomor urut 2. NH pernah terlibat korupsi distribusi minyak goreng Bulog.

Untuk diketahui Uji materi ini sebelumnya diajukan oleh dua mantan Pimpinan KPK Abraham Samad beserta Saut Situmorang, Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Transparency International Indonesia (TII) mengajukan uji materi Pasal 11 ayat 6 tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 tahun 2023 terkait syarat mantan koruptor maju lebih cepat menjadi calon anggota legislatif (caleg) di Mahkamah Agung (MA).

MA kemudian mengabulkan seluruh permohonan uji materi Pasal 11 ayat 6 tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 tahun 2023 terkait syarat mantan koruptor maju lebih cepat menjadi calon anggota legislatif (caleg).

Dalam putusannya, MA memerintahkan KPU mencabut dua peraturan yang dinilai memberikan karpet merah kepada mantan koruptor mengikuti Pemilu 2024.

“Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. Indonesia Corruption Watch (ICW), 2. Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi (Perludem), 3. Saut Situmorang dan 4. Abraham Samad untuk seluruhnya,” demikian keterangan resmi MA.

MA menilai seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 tahun 2023 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.

Selain itu, MA memerintahkan kepada KPU selaku termohon mencabut Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 tahun 2023. MA menegaskan, seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku untuk umum.

MA juga memerintahkan kepada Panitera MA untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara. MA menghukum Ketua KPU selaku termohon membayar biaya perkara Rp1 juta.

“Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah),” bunyi amar putusan tersebut.

MA juga menyatakan Pasal 11 ayat (6) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Berikut bunyi Pasal 11 ayat 5 dan 6 tersebut:

Pasal 11

5. Persyaratan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, terhitung sejak tanggal selesai menjalani masa pidananya sehingga tidak mempunyai hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, dan terhitung sampai dengan Hari terakhir masa pengajuan Bakal Calon.

6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.

Selain itu, MA juga menyatakan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 182 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023. Berikut bunyi Pasal 18:

Pasal 18

(1) Persyaratan telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf g, terhitung sejak tanggal selesai menjalani masa pidananya sehingga tidak mempunyai hubungan secara teknis dan administratif dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, terhitung sampai dengan Hari terakhir masa pendaftaran bakal calon.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik

“Dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum,” lanjut MA.

MA juga menyatakan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 182 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023. Berikut bunyi Pasal 18:

MA juga meminta Termohon, yakni Ketua KPU, untuk mencabut Pasal 11 ayat 6 PKPU No 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU No 11 Tahun 2023. Selain itu, MA juga menyatakan seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.

Dalam pendapatnya, MA menilai guna memperoleh wakil rakyat yang berintegritas maka diperlukan syarat-syarat yang ketat terhadap proses pencalonan, sehingga warga negara yang mempunyai hak pilih disediakan calon-calon yang berintegritas tinggi untuk dipilih oleh Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara

Namun, menurut MA, dua pasal yang diuji materikan itu justru memberikan kelonggaran syarat pencalonan bagi mantan terpidana (yang diancam pidana 5 tahun atau lebih) dari yang seharusnya sudah diatur pada Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 juncto Nomor 12/PUU-XXI/2023.

“Bahwa objek permohonan hak uji materiil (HUM) menunjukkan kurangnya komitmen dan semangat pemberantasan korupsi, dimana semangat penjatuhan hukuman pada putusan tindak pidana korupsi telah diperberat dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, oleh karenanya objek hak uji materiil harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku umum,” lanjut MA.

WRC menyayangkan sikap KPU RI yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung itu.

“Ini bentuk ketidak konsekuen nya penyelenggara pemilu, Kan sempat dilakukan gugatan uji materiil oleh rekan-rekan ICW, Perludem dan mantan pimpinan KPK. Oleh MA kan jelas dalam keputusannya itu terkait dengan membatalkan peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (6) PKPU Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU Nomor 11 tahun 2023 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum. Ini sekiranya dilaksankan oleh KPU,” tutur Din Arie Lutfi SH bersama Din Alif Alwan Koordinator bidang pengawasan dan penindakan WRC Sulsel.

Terpisah Ketua Umum LKKN Baharuddin mengatakan partai politik seharusnya memberikan contoh yang baik dengan tidak mendaftarkan mantan napi TIPIKOR dalam pencalonan baik dalam Pemilu ataupun pemilihan kepala daerah.

“KPU dan Partai Politik tidak memberikan contoh yang baik. Tidak punya semangat pemberantasan korupsi. MA kan sangat jelas-jelas dalam keputusannya itu mengabulkan gugatan uji materiil terkait mantan napi Tipikor,” ujar Baharuddin.

“Disini tinggal masyarakat kita saja. Apakah mau memilih caleg mantan napi korupsi? Itu hak mereka, cuman sangat disayangkan saja baik penyelenggara pemilu atau parpol itu sendiri punya niatan atau tidak. Satu contoh yang patut kita lihat adalah sikap Prabowo Subianto yang konsisten dengan mencoret nama Bacaleg mantan koruptor,’ kunci Ibar sapaan lain Ketua umum LKKN. (LN)

Advertisement