MERAUKE||Legion News – Kontroversi terkait dengan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat, Satu catatan besar yang sampaikan Saleh Sangadji, Ketua Dewan Pengurus Daerah Gerakan Pemuda Masyarakat Sadar (GarudaMas) Kabupaten Merauke. Sabtu, (19/9/2020)
berkaitan dengan gejolak multidimentional yang terjadi di papua, tidak terlepas dari perhelatan panjang dalam sejarah anak bangsa dalam dinamika negara bangsa berdemokrasi, dengan persoalan papua maka perlunya “kerja ekstra dalam pemetaan sistematis demi menemukan solusi universal”, menuju perdamian adil makmur yang berperi kamanusiaan, berperikeadilan dan Ketuhanan sebagai keberpihakan Tunggal dalam mengontrol emosional spiritual personal melahirkan sikap dan serta kebijakan yang substantif untuk menjawab persoalan Papua.
Saat di wawacarai oleh Media portal digital Legion-news.com Sangadji mengatakan, “Ada berbagai macam penjelasan maupun teori yang mencoba melihat untuk memulai menentukan langkah, sebagian melihat persoalan papua dari sudut pandang persolan sejarah, ada juga dari sudut pandang kesejahteraan sosial ekonomi dan budaya”.
“Kita telah sampai pada penghujung memodernisasi langkah politik, hukum, ekonomi sosial dalam perangkat UU OTSUS 2021 menjadi wacana krusial saat ini”,
Lanjut Shale Sangaji, “Berbagai elemen Rakyat, Pemuda, Akademisi, Tokoh agama dan Adat, bahkan lembaga negara sekalipun intens dalam dinamika tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh para akademisi Universitas Cendrawasih, ada beberapa pilihan mengenai mekanisme yang di tempuh dalam konteks Evaluasi Otonomi Khusus (OTSUS) Papua.”
“Yang pertama perlunya evaluasi dilakukan oleh negara, dalam hal ini Presiden Jokowi melalui Menteri Keuangan, telah memutuskan penambahan alokasi anggaran OTSUS 2021 dengan jumlah 3,3% dana OTSUS menjadi 78 Triliun, tentunya dengan kontrol penggunaan yang ketat dan transparan, yang kedua Evaluasi Parsial atau sekitar 50% dari total UU OTSUS Papua
Poin kedua adalah evaluasi menyeluruh atau Total terhadap UU OTSUS Papua, dan juga tidak kalah penting yang dilakukan oleh MRP, melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan berbagai elemen sosial, elemen pergerakan dan Pemerintah daerah kabupaten/kota, Provinsi dan Pusat sebagai sumber penentuan kebijakan arah politik Papua tahun 2021 antara tuntutan kelanjutan akan mampu menjawab dinamika sebagai solusi alternatif dalam berbangsa dan bernegara.
Setidaknya ada empat isu yang dikelompokkan sebagai sumber-sumber konflik papua dalam buku berjudul Road Map Papua (Negotiathing the past improving the prasent, and securing the future).
Point Pertama, masalah rasa marjinalisasi yang bisa disebabkan oleh efek subyektifitas atau struktural dalam persaingan sosial maupun politik orang asli Papua sejak 1970. Untuk menjawab masalah ini, kebijakan alternatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.
Point kedua adalah lambannya pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu, diperlukan semacam paradigm baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung, yang didukung dengan keberpihakan perangkat hukum, PERDA, PERDASI dan PERDASUS
Point ketiga adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh, dengan kebijakan afirmasi politik baik lembaga Non formal dan formal seperti partai Politik sebagaimana amanat UU OTSUS 2001..
Point keempat adalah negara memberi pertanggung jawaban sebagai jaminan hukum dan politik, adalah Solusi rekonsiliasi kemanusiaan dan kebenaran dalam pilihan-pilihan untuk penegakan hukum dan berkeadilan, terutama bagi masyarakat yang merasa menjadi korban, keluarganya, dan warga Indonesia baik penduduk papua dan pribumi papua secara umum akibat dampak dinamika politik yang terjadi.
Oleh karenanya solusi bagi papua adalah keputusan yang harus disepakati dan dengan komitmen kebangsaan yang jelas diantaranya ada 4 pokok Melalui Pendekatan Sosial dan Ekonomi, Melalui Pendekatan Cultural (Budaya), Melalui Pendekatan Politik, Melalui pendekatan religius(agama) jika mampu terinterpretasi dalam kesepakatan alternatif yaitu UU OTSUS Hasil Revisi Total atau parsial dan sebagian maka saatnya menjadi solusi alternatif untuk didukung tanpa mengurangi, semangat dan substansi dari tujuan OTSUS itu sendiri, “akhirnya bukanlah seorang manusia jika subyektifitas sektarian dijadikan slogan dan menjadikan rakyat sebagai korban serta menjastifikasi rakyat bagian dari dirinya atau kelompoknya”,
Salam damai dari Tanah Datar Anim Ha. Tutupnya (Nuel)