Regresi Demokrasi di Kota Makassar

Asratillah Direktur Profetik Institute
Asratillah Direktur Profetik Institute

Oleh: Asratillah
Direktur Profetik Institute

LEGION NEWS.COM – Beberapa waktu lalu Walikota Makassar mengeluar SK penetapan Pejabat RT/RW se-Kota Makassar. SK inipun menuai banyak kritikan, selain dianggap mencerminkan pengelolaan kota yang tidak demokratis, juga dianggap bisa memicu persoalan kantibmas di Kota Makassar.

Sekaitan hal tersebut, ada beberapa hal yang mesti kita cermati. Pertama, RT/RW mesti dipandang sebagai upaya aktif dari warga kota untuk mengorganisir diri. Bahkan mungkin tak berlebihan jika kita menganggap bahwa organisasi RT/RW menjadi perwujudan demokrasi kerakyatan nan kekeluargaan di tingkat masyarakat paling bawah.

Jika kita meminjam terminologi Jacques Ranciere tentang “demos” dalam bukunya “disagreement; Politics anda Philosophy” (1999), RT/RW dapat kita anggap sebagai sarana bagi demos (rakyat) untuk mengartikulasikan tuntutannya akan keadilan. Maka sangat penting agar ketua RT/RW yang ada, merupakan hasil musyawarah mufakat dari masyarakat di tingkat bawah.

Advertisement

Ketua RT/RW bagi saya ibarat orang yang ditunjuk untuk mengelola dan mengartikulasikan kepentingan warga di lingkungannya, dan dianggap memiliki kapasitas pribadi sehingga dipercaya oleh warga setempat. Maka agak janggal sebenarnya jika ketua RT/RW dianggap semacam “pejabat birokrasi” yang ditunjuk dari atas lalu di SK kan, hal tersebut hanya mematikan potensi pengelolaan hidup bersama yang demokratik di tingkat bawah.

Jika dalam buku “Demokrasi di Indonesia; Dari Stagnasi ke Regresi” (2021), Thomas Power menyebutkan bahwa salah satu jalur regresi (kemunduran) demokrasi di Indonesia adalah regresi dari atas, yakni regresi yang diinisiasi oleh birokrasi pemerintah. Dan mungkin saja penunjukan PJ RT/RW yang nampak sepihak dari Pemkot Makassar, adalah salah satu bentuk regresi Demokrasi di tingkat Kota. Dengan kata lain terjadi regresi demokrasi di Kota Makassar.

Hal kedua yang mesti dicermati adalah, RT/RW bukanlah bagian dari struktur OPD. Sehingga mesti ada perubahan paradigma pemkot saat mencoba meregulasi eksistensi RT/RW. Mesti ada ada pergeseran (shifting) dari paradigma yang cenderung mengkooptasi ke paradigma yang memberdayakan (empowerment).

Relasi antara Pemkot dengan RT/RW bukanlah relasi antara atasan-bawahan, atau pejabat-staf, tetapi relasi rekanan. Pemkot Makassar mesti menjadi fasilitator, agar RT/RW bisa optimal perannya sebagai rekan dalam pembangunan kota. Saya yakin bahwa walikota kita sekarang yang berpengalaman dalam hal tata kota, sangat paham betul bagaimana pengelolaan kota yang sifatnya “bottom up”.

Jika tidak ada perubahan paradigma dalam mengelola relasi antara Pemkot dengan organisasi RT/RW, maka ini akan mengakibatkan semacam “executif takeover,” yaitu semacam penggelembungan kekuasaan eksekutif dalam hal ini pemerintah kota. Kita memang memimpikan pemerintahan yang efektif dan “leadership” kepala daerah yang kuat, tapi mesti tetap berada dalam koridor demokrasi. Jika tidak, maka pengelolaan kota kita akan bersifat autokratis ketimbang demokratis.

Ketiga, para politisi mesti berhenti hanya memandang struktur RT/RW ini sebagai perpanjangan tangan dari tim sukses di masa suksesi politik. Tidak ada yang salah jika ketua RT/RW terlibat untuk memenangkan jagoan politiknya saat pilkada, selama tidak berstatus ASN. Tapi memanipulasi struktur RT/RW hanya sebagai mesin politik, akan membuat fungsi utamanya sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan warga akan menjadi hilang. Malah bisa RT/RW hanya menjadi sarana artikulasi kepentingan para elit. Dan dampak yang paling bahaya badi demokrasi kita adalah, dapat memicu bipolarisasi politik hingga di tingkat paling bawah

Tak sedikit juga yang berspekulasi, bahwa perombakan ketua RT/RW  merupakan imbas dari pilwalkot di 2020 kemarin. Jika itu benar, maka perlu kita ingat bahwa mesti ada semacam “winner restrain” (keinginan pemenang untuk merangkul pihak kompetitor yang kalah) dan “loser consent” (semacam kerelaan dari pihak yang kalah) untuk menciptakan masyarakat yang demokratis.

Dan agak keliru jika kita menganggap bahwa konsensus merupakan segala-galanya, bahwa mengupayakan konsesnsus 100 persen adalah hal utama. Pengelolaan kota yang cerdas nan demokratis, justru yang bisa mengakomodir disensus (ketidaksetujuan-ketidaksetujuan).

Kelima, saya sarankan agar pak walikota fokus kepada janji-janji politiknya yang pernah beliau sampaikan saat pilwalkot yang lalu. Ada 8 program strategis yang beliau sempat utarakan kepada publik, dan kita sebagai warga kota sangat berharap agar program tersebut bisa menjadi jalan keluar agak Makassar bisa lebih maju lagi.

Fokus kepada realisasi janji-janji politik, juga menuntut agar tidak terlalu menghabiskan energi untuk membuat kebijakan atau pernyataan yang bisa mengundang polemik. Dan saya pikir, warga kota bersama eksponen masyarakat sipil tetap mesti menjadi semacam “pengingat” bagi pemkot, dan tetap terlibat secara kritis (critical engagement) pada setiap program pembangunan dari pemerintah kota.

Advertisement