Politik Papua era Wilayah Adat, Otsus Jilid 2 Menjadi Perdebatan Elit Politik Lokal

FOTO: Frederikus Gebze SE.,M.Si
FOTO: Frederikus Gebze SE.,M.Si
Advertisement

Oleh: Frederikus Gebze SE.,M.Si Aktivis 1998 dan Dosen Perguruan Tinggi Swasta

LEGIONNEWS.COM – EDUKASI, Pemimpin masa depan se-tanah papua patut bangga dan berterimakasih kepada Presiden dan Bangsa Indonesia yang dari tahun-ketahun terus memperhatikan papua dalam perkembangan semua aspek yang telah dilakukan oleh para pengambil kebijakan dipusat untuk mendapatkan suatu solusi yang dapat memberikan adanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di tana papua.

Segala lini hampir sudah menyentuh subtansi walaupun dalam presentasi belum mewakili lahirnya undang-undang otonomi khusus (Otsus), untuk memberi kebebasan namun masih terdapat kendala jika ditanya apakah otsus berhasil atau tidak harus dibuktikan dengan data dan bukti yang nyata.

Sampai lahir kembali isu pasca perubahan otsus jilid 2 yang terdapat perubahan dalam hal politik, antara lain Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (DPRDK) Jalur Afirmatif, dan Majelis Rakyat Papua yang mana telah menjadi Lembaga Representasi Orang Asli Papua.

Advertisement

Dimana semua kepentingan orang asli papua akan menjadikan lembaga ini untuk menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan hak-hak dasar masyarakat asli papua.

Perhatian serius penulis adalah masalah politik wilayah adat semakin banyak. Para elit papua minta pemimpin berbasis wilayah adat ada ego kewilayahan, ada paksaan sesuai wilayah adat apakah ini berarti akan ada pemecahan konsentrasi elit pusat dan elit daerah tentang pemimpin papua berkelanjutan lewat permintaan 6 point Majelis Rakyat Papua setanah Papua.

Nah…ini dia masalahnya apa yang ingin pemimpin di setiap wilayah adat misalnya Anim ha, Tabi, Me pago, la pago, Saireri, Mamta dan Bomberay harus anak asli dan betul anak adat.

Sedangkan ada UUD 1945, Undangan undang Pemilu, Peraturan KPU RI, Peraturan dan Partai Politik secara umum apakah bisa di samakan kalau kepentingan elit nasional lain, kepentingan lokal lainnya. Maka akan ada emosional kepentingan yang melahirkan pemimpin berdasarkan irasional, emosional dan tradisional sehingga mempengaruhi politik transaksional bagi nasional dan Dunia Internasional.

Jadi singkat cerita apakah pemimpin yang bukan dari wilayah adat setempat bisa menjadi pemimpin di wilayah adat lain?

Mungkin bisa karena paksaan tapi etika moral dan rasa tau diri, malu diri dan sadar diri, bagaimana untuk hal tersebut.

Mari seluruh pemimpin dan partai politik juga Majelis Rakyat Papua, eksekutif dan legislatif setanah papua segera meminta pemerintah Pusat agar memberikan kepastian politik praktisi bagi bangsa papua.

Sehingga nantinya memasuki ‘Indonesia Emas’ bangsa Indonesia telah menjalankan politik demokrasi yang terbuka aktif, jujur, transparan dan berkarakter kebangsaan.

Dasar pemikiran ini menjadi catatan krusial sebab persoalan papua mempunyai banyak problematika persoalan, jadi perlu adanya kajian yang teruji dan bisa menjadi sampel untuk dibuatkan produk hukum pasti yang termuat dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan masuk dalam Perdasi-Perdasus.

Jangan sampai terjadi gesekan konflik antara suku-suku asli papua di wilayah adat setempat.

Mengingat pemimpin dari wilayah adat lain yang ingin memimpin di wilayah adat suku lain, Nah ini sudah pasti akan terjadi gesekan dan orang yang memiliki wilayah adat setempat akan mempertahankan wilayah adatnya masing-masing.

Olehnya itu penulis mengajak semua elit nasional dan elit papua segera ambil langkah sebelum pemilu serentak dimulai agar terhindar, terkendali, terukur dan berprikemanusiaan serta berkeadilan sosial yang melahirkan persatuan indonesia.

Advertisement