Mengapa Kita Begitu Mencintai Perang?

Oleh : Asratillah Direktur Profetik Institute
Oleh : Asratillah Direktur Profetik Institute

Oleh : Asratillah
Direktur Profetik Institute

LEGION NEWS.COM – Rusia dan Ukraina akhirnya berperang, mata kita pun tertuju padanya, beranda-beranda media sosial kita disesaki akan pemberitaan tentang perkembangan di sana. Bahkan tidak sedikit di antara kita, diseret imajinasi akan kemungkinan pecahnya perang dunia ke III, dan saya pikir imaji ini tampak cukup beralasan, karena beberapa kawasan dunia sedang dalam situasi bersitegang.

Ketegangan di Timur Tengah belum juga sepenuhnya reda hingga detik ini, konflik di Laut Tiongkok Selatan membuat negara-negara ASEAN “beradu mulut” dengan RRT bahkan terkadang disertai pamer kekuatan militer, semenanjung Korea juga dihantui perlombaan senjata, dan beberapa ketegangan yang ada di kawasan lainnya.

Namun kita bisa berkilah bahwa ketegangan merupakan hal lumrah dalam sejarah, bahkan hal yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan. Yang menjadi soal jika ketegangan antar dua pihak atau lebih, bermuara pada tindak saling menihilkan, menganggap perlu untuk “meniadakan” yang lain, dan inilah biasa yang kita sebut dengan “perang”.

Advertisement

Saya (dan barangkali kita) belum mengetahui dengan jelas, kapan perang menjadi hal yang digemari oleh manusia, bahkan dalam 5600 tahun terakhir kita telah menggelar 14.600 perang. Dan jika dihitung secara kasar maka rata-rata ada 2 hingga 3 perang dalam setahun.

Tidak habis pikir memang, mengapa kita begitu mencintai perang, jangan-jangan seperti yang dikatakan Nietzche bahwa sebagian besar dari kita mengidap “nekrofilia” (cinta yang amat dalam akan kematian), alih-alih mencintai kehidupan (biofilia).

Namun ada seorang perwira Prusia di dekade akhir abad ke 19 yang cukup mendalam dalam merefleksikan “perang”. Clausewits (1780) melahirkan sebuah konsepsi (yang dihasilkannya dari sintesis antara pengalaman perangnya melawan Napoleon, dengan wawasan filosofisnya) yang disebut “perang absolut”. Konsep ini memuat semacam aksioma, mengenai pertentangan antar dua pihak, yang akan menuju titik “asymptot”nya.

Dalam geomteri, “asymptot” adalah sebuah garis lurus yang semakin didekati garis lengkung, alias mendekati angka 0. Ini adalah perumpamaan yang nantinya dalam bahasa yang agak populer disebut dengan istilah “zero sum Game” (walaupun dalam kenyataanya tidak akan sepenuhnya menjadi zero), atau semacam lahirnya keseimbangan alias stabilitas baru.

Karena bisa dikata, perang terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam sebuah arena (kawasan), apakah berupa ketidak seimbangan kekuatan militer, ketidak seimbangan sumber daya ataupun akses terhadapnya dan sebagainya.

Ketidakseimbangan ini sedikit banyaknya akan melahirkan pengerahan segala daya dan upaya dari kedua pihak yang beperang (dan biasanya bersifat eksponensial, sehingga secara geometri berbentuk kurva ketimbang garis linear), hingga akhirnya melahirkan semacam keseimbangan relatif (yang secara geometri digambarkan garis yang agak linear dan hampir datar, walaupun tak pernah datar sepenuhnya).

Clausewits mengawali refleksinya akan perang melalui perumpamaan sederhana, yakni pertarungan antar dua jagoan gulat. Hal yang logis bahwa pertarungan (perang) tersebut diawali sebuah tujuan sederhana (bahkan dianggap azasi dalam perang), yakni menundukkan lawan dengan menggunakan kekuatan fisik alias kekerasan.

Apakah kekuatan fisik menggunakan persenjataan modern ataupun tidak, situasinya tetap sama. Sederhanya perang adalah usaha untuk memaksa lawan untuk tunduk pada “kemauan kita”, dengan penggunaan kekerasan yang secara potensial tidak memiliki batas sampai kepada titik “asymptot”nya, alias adanya keseimbangan baru. Situasi ini oleh Calausewits disebut dengan “Hukum Ekstrema I”.

Lalu menurut Calusewits, upaya menundukkan lawan, mesti diawali dengan upaya pelucutan senjata. Dan umumnya upaya pelucutan senjata, akan berujung pada pertumpahan darah. Hal ini bisa dilihat saat Rusia pertama kali ingin menginvasi Ukraina, maka Putin mewacanakan upaya “demiliterisasi”, yang bagi saya adalah ungkapan lain dari “pelucutan senjata”.

Namun “pelucutan senjata” akan dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam perang, walaupun perang tersebut melibatkan negara-negara yang tidak seimbang dalam kekuatan militer. Upaya “pelucutan senjata” ini akan terus berlangsung dalam perang, hingga tiba pada titik “asymptot”nya. Inilah yang disebut dengan “Hukum Ekstrema II”.

Dalam situasi “saling menumpahkan darah”, maka dibutuhkan semacam situasi psikologis yang kondusif, yakni rasa dan keinginan bermusuhan yang kuat, dari kedua belah pihak. Propaganda memainkan peran di sini, baik sebelum maupun saat perang berlangsung. Stigma terhadap lawan akan diluncurkan dari pihak-pihak yang bersengketa, tidak lain dan tidak bukan untuk melegitimasi tindakan kekerasan yang dilakukan. Ini lalu dinamai “Hukum Estrema III”.

Kita tidak tahu pasti, apakah pertemuan antara delegasi Ukraina dan Rusia di Belarusia merupakan titik terang titik “asymptot” perang Rusia-Ukraina. Namun Calausewits juga memperingatkan bahwa, perang dan politik (ekonomi tentunya) adalah dua hal yang saling mengandaikan.

Sehingga politik punya peran ambigu dalam perang, politik memicu sekaligus “menghaluskan” perang. Tentang hal ini dalam bukunya yang berjudul “Vom Kriege”, Calausewittz menuliskan “politik membuat unsur perang untuk menundukkan lawan sama sekali, hanya sebagai alat yang tidak begitu hebat sebagai pedang yang ditikamkan oleh kedua tangan dengan segala kekuatan melakukan tikaman.

Melainkan hanya sebagai golok yang ringan atau kadang-kadang sebagai sebilah pedang kecil yang sekedar dipergunakan secara bergiliran, untuk melakukan pukulan, pukulan pura-pura atau tangkisan”.

Perang bisa jadi menjadi “pukulan pura-pura” karena alasan politik tertentu. Saya juga tidak tahu pasti, apakah invasi Rusia adalah “pukulan pura-pura” ?, hanya karena secara geopolitik dan geoekonomi merasa terancam oleh ekspansi NATO ke Eropa timur?.

Namun pastinya “sepura-pura” apapun “pukulan” tersebut, tidak membuat warga Ukraina yan non-Combatan “mengungsi pura-pura”, tidak mengakibatkan orang-orang “mati pura-pura”, tidak mengakibatkan sanak keluarga “menangis pura-pura” karena kehilangan orang terkasih, tidak mengakibatkan “penderitaan yang pura-pura”.

Kita barangkali tidak bisa mencegah perang sepenuhnya, walaupun dengan jelas kita melihat penderitaan yang tak tanggung-tanggung (dan tentunya tak pura-pua) saat Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Namun seperti yang dikatakan oleh Eric Wale, filsuf asal Jerman dan penulis buku “Philosophie Morale” (1969), bahwa derita dan kekerasan adalah pengalaman yang menegaskan kerinduan manusia akan hidup damai.

Damai memang merupakan hadiah, namun hadiah tersebut tak kunjung datang, jika tak ada perjuangan menggapainya. Lalu dalam hal tersebut apa yang bisa kita lakukan sebagai Bangsa Indonesia, karena kita sudah terlanjur berikrar “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.

Advertisement