Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. PAMONG Institute)
Prihatin. Itulah satu kata yang mewakili perasaan publik atas kebijakan rezim menaikkan tarif BPJS. Betapa tidak, disaat musim pandemi dan di bulan suci justru rezim ini menambah beban rakyatnya.
Kebijakan ini mendapat respon beragam dari publik. Ada yang menyanjung, ada yang protes keras namun ada juga yang menyindir saja. Sebagaimana dinyatakan GusBenk GoKresi di laman FB nya, “MUNGKIN TAK BISA DIHINDARI UTK MENGATAKAN BAHWA REZIM INI BENAR BENAR REZIM TERBAIK YANG PERNAH ADA DI NEGERI INI…”
Bagaimana mungkin, di tengah ancaman wabah corona, Presiden Jokowi malah tega memberlakukan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Disinilah termuat kenaikan BPJS itu.
Menurut Perpres 82/2018 besaran iuran ditetapkan sebesar Rp.25.500,- untuk Kelas III, Rp.51.000,- untuk Kelas II dan Rp. 80.000,- untuk Kelas I. Kemudian, melalui Perpres 75/2019 mengalami kenaikan, Rp. 42.000,- untuk Kelas III, Rp. 110.000,- untuk Kelas II dan Rp.160.000,- untuk Kelas I. Kenaikan tarif ini sudah dibatalkan oelh MA (Mahkamah Agung).
Sedangkan pada Perpres 64/2020 ada variasi kenaikan iuran. Pada Kelas III (khusus untuk tahun 2020) masih tetap sebesar Rp.25.500,-, pada tahun 2021 dan tahun berikutnya naik menjadi Rp.35.000,-. Untuk Kelas II naik menjadi Rp.100.000,- dan Kelas I naik menjadi Rp.150.000,-. Kenaikan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2020.
Untuk bulan Januari, Februari, dan Maret Tahun 2020 yakni; Rp.42.000,- untuk Kelas III, Rp.110.000,- untuk Kelas II dan Rp.160.000,- untuk Kelas I. Adapun untuk bulan April, Mei, dan Juni Tahun 2020 ditetapkan Rp.25.500,- untuk Kelas III, Rp.51.000,- untuk Kelas II dan Rp.80.000,- untuk Kelas I.
Pada periode bulan April, Mei, dan Juni Tahun 2020 persis sama dengan besaran iuran menurut Perpres 82/2008. Namun, pada bulan sebelumnya (Januari, Februari, dan Maret) justru mengalami kenaikan. Begitu pun untuk Tahun 2021 dan tahun berikutnya, tetap saja melebihi iuran sebelumnya (Perpres 82/2008).
Sebagai ilustrasi, kalau ada tetangga yang kena musibah anaknya sakit di RS kena corona, maka jika kita tetap menagih sewa rumah padanya itu tidak empati. Jika kita malah naikan sewa rumah maka itu zalim. Apalagi jika tak sesuai surat kontrak.
Kebijakan menaikkan tarif BPJS disaat pandemi ini merupakan kebijakan yang miskin empati, bahkan zalim. Lebih dari itu merupakan upaya liberalisasi bidang kesehatan yang melanggar konstitusi. Setidaknya ada empat hal dibalik kebijakan tersebut:
PERTAMA; kebijakan yang miskin empati. Hadirnya pemerintahan bertujuan untuk mengurusi dan menyelesaikan masalah rakyatnya. Tidak membantu rakyatnya yang sedang terbebani kesulitan ekonomi ditengah ancaman wabah corona itu saja sudah terkategori MISKIN EMPATI. Apalagi menambah beban dengan naiknya BPJS.
KEDUA; Kebijakan yang Zalim. Jika tidak membantu rakyat yang kesulitan itu miskin empati apalagi menambah beban bagi rakyat. Tidak menolong bahkan menambah beban orang susah itu tergolong kebijakan yang zalim.
KETIGA; kebijakan yang menabrak konstitusi. Bahkan terindikasi ada pelanggaran hukum. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28H (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Kemudian diperjelas kembali pada Pasal 34 ayat (3) yang berbunyi: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan _kesehatan_ dan fasilitas pelayanan umum umum yang layak”.
Bagaimana dikatakan negara bertanggungjawab jika biaya justru dibebankan tanggungjawabnya kepada rakyat. Bahkan gaji para pengelola BPJS begitu tinggi, gaji direksi mencapai ratusan juta rupiah perbulan, sementara rakyat yang susah masih dibebani iuran yang dinaikkan.
Selain membebani rakyat, ada indikasi terjadinya pelanggaran hukum. Menurut Ahli Hukum Pidana DR. Abdul chair Ramadhan, mengatakan bahwa khusus kenaikan yang terjadi untuk bulan Januari, Februari, dan Maret Tahun 2020 berlaku surut. Padahal Perpres diterbitkan pada tanggal 5 Mei 2020.
Ketentuan retroaktif tersebut merupakan pelanggaran terhadap asas legalitas. Masyarakat sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan (Yankes) telah dirugikan. Terkonfirmasi adanya perbuatan melanggar hukum.
KEEMPAT; kebijakan mendukung liberalisasi ekonomi. Kesehatan dijadikan sebagai komoditas ekonomi, oleh karenanya diperdagangkan. Liberalisasi memang menuntut penghapusan terhadap proteksi negara termasuk di bidang usaha kesehatan.
Paradigma pelayanan kesehatan yang semula berorientasi kepada sosial-kemanusiaan kini menjadi komersil. Akibatnya pelayanan kesehatan merupakan bagian komoditi dari perdagangan bebas.
Pemerintah semestinya tunduk pada konstitusi, harus memberikan jaminan kesehatan sebagai hak dasar warga negara. Kesehatan masyarakat adalah sesuatu hal yang prinsip, menyangkut hajat hidup rakyat.
Hubungan pemerintah dengan rakyat harus dibangun selayaknya pelayan dan yang dilayani. Semua rakyat harus dilayani dengan standar terbaik. Bukan hubungan bisnis antara penjual dan pembeli jasa. Rakyat yang mampu bayar mahal maka pelayanan makin cepat dan baik.
Pelayanan Kesehatan, bukan ajang mencari keuntungan secara komersial. Harus lebih dititikberatkan kepada kemanusiaan dan sebagai wujud tanggungjawab negara.
Bagaimana mungkin rakyat dapat hidup sejahtera, jika kesehatan semakin mahal dan membenani. Bahkan dalam kondisi sulit pun biayanya malah dinaikkan.
Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.