HUKUM – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI). Menolak rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada akhir tahun 2022 ini oleh DPR RI
Hal itu diketahui melalui laman akun twitter resmi milik BEM UI itu yang diunggah Jumat, 25 November 2022.
BACA JUGA: RKUHP: Menyebarkan atau Mengembangkan Ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme dapat Dipidana 4 Tahun
Diketahui rencana pengesahan itu menuai berbagai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat sipil, salah satunya BEM UI.
BEM UI dengan tegas menolak pengesahan RKUHP dalam waktu dekat ini. Sebab, masih banyak pasal bermasalah dalam RKUHP tersebut.
“Jokowi jahat, jika membiarkan RKUHP bermasalah disahkan,” tulis BEM UI melalui akun Twitternya, dikutip pada Jumat (25/11/2022).
Dalam siaran persnya, BEM UI menilai bahwa dalam draf RKUHP masih memuat pasal-pasal bermasalah yang justru merekolonialisasi hukum pidana Indonesia.
Menurutnya, sejumlah pasal bermasalah itu sudah ditolak berbagai elemen masyarakat sejak tahun 2019 lalu.
“Padahal, penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah tersebut telah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat secara masif dan konsisten,” ucap BEM UI.
BACA JUGA: Pembukaan Munas KAHMI Diwarnai Penolakan Anies Baswedan
Jika pasal bermasalah itu tetap disahkan, BEM UI menganggap pemerintah tutup mata dan telinga terhadap suara penolakan dari masyarakat.
Pemerintah, menurut BEM UI, justru bergegas untuk mengesahkan RKUHP tanpa mengakomodasi saran yang telah disampaikan oleh masyarakat.
Adapun sejumlah pasal yang dinilai BEM UI bermasalah, yakni Pasal 256, Pasal 218 hingga Pasal 220, serta Pasal 349 dan Pasal 350.
BACA JUGA: Gerakan Satu Siswa Satu Pohon Warnai Peringatan HGN di Bulukumba
Pasal 256 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara.
Pasal 256 RKUHP menyiratkan bahwa masyarakat membutuhkan izin dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum agar terhindar dari ancaman pidana.
“Padahal, ketentuan yang berlaku sekarang hanya mewajibkan pemberitahuan dan menjatuhkan sanksi administratif berupa pembubaran sekiranya ketentuan tersebut tidak terpenuhi,” kata Anggota BEM UI, Adam.
Pasal 256 juga memuat unsur karet, yakni kepentingan umum, yang tidak dijelaskan secara komprehensif, di mana hal ini rentan disalahgunakan untuk membelenggu kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat.
Di sisi lain, Pasal 218 hingga Pasal 220 memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden.
“Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP pada dasarnya akan menimbulkan beragam permasalahan mengingat pasal ini bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum,” jelas Adam. (Sumber: populis)