Catatan Menyambut Tahun 2022, Moderasi Beragama dalam Bingkai NKRI

TAQWA BAHAR Pengurus Masika ICMI Sulsel/Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
TAQWA BAHAR Pengurus Masika ICMI Sulsel/Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Oleh: TAQWA BAHAR
Pengurus Masika ICMI Sulsel/Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

OPINI, LEGION NEWS.COM – Keberagaman yang ada di indonesia merupakan suatu anugerah dari Allah SWT, tuhan yang maha esa titipkan untuk dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya.

Keberagaman yang meliputi Perbedaan Suku, agama dan Ras bukanlah sesuatu hal yang penting untuk dipertentangkan lagi, hanya karena ingin mempertahankan eksistensi identitas kelompok. Bagi saya hal ini justru semakin memperlihatkan kebodohan dan juga kemunduran dalam berpikir. Perlu dijelaskan kembali bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa ini berkat perjuangan seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Politik Identitas

Advertisement

Berbagai persoalan yang muncul di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari adanya konflik kepentingan yang masuk ke dalam indentitas-identitas kelompok tertentu lalu kemudian mengkristal menjadi konflik yang mengatasnamakan Agama,Suku, dan Ras di Indonesia.

Tentunya hal ini menjadi sebuah tantangan kita kedepan sebagai negara yang berdaulat. Sebagai negara bekas jajahan kolonial belanda. Salah satu warisan yang dititipkan kepada bangsa indonesia adalah politik identitas yang dimana ketika itu belanda menggunakan strategi politik adu domba “Devide et Impera” untuk memecah belah bangsa. Belanda kemudian berhasil mengkotak-kotakkan bangsa Indonesia dan terus melakukan ekspansi untuk menguasai kekayaan alam Indonesia dengan memanfaatkan konflik yang diciptakan tersebut melalui Vereenidge oostindische compagnie atau dikenal dengan sebutan VOC.

Vereenidge oostindische compagnie (VOC) merupakan salah satu organisasi yang dibentuk oleh belanda dengan tujuan eksplorasi dagang di Indonesia dalam kurun waktu 1602 sampai dengan 1799, yang justru belakangan menjadi kekuatan militer yang berkedok organisasi dagang. Selain memonopoli perdagangan, VOC juga membenturkan sesama anak bangsa dengan melakukan propaganda politik identitas.

Sekelumit dari kisah perjalanan sejarah itu lalu kemudian menjadi sebuah peradaban yang terus-menerus dipelihara oleh kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai agenda setting untuk merubah Pemikiran masyarakat indonesia bahkan ada upaya untuk mengganti ideologi negara.

Politik identitas ini juga terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat, dimana dominasi etnis dan perbedaan warna kulit masih sering diperbincangkan disetiap momen politik.

Pemilihan Presiden amerika yang dimana Donald Trump secara massif menyerang dengan opini-opini Nasionalisme pribumi dan mengenyampingkan para pendatang dari berbagai etnis. Terjadi diskriminasi rasial, namun sayangnya Trump gagal dalam kontestasi. Bisa dibayangkan jika Trump terpilih kembali, maka tentu akan mempengaruhi kebijakan politik internasional yang berdampak luas.

Memelihara politik identitas sama halnya merusak tatanan berdemokrasi yang sudah berjalan dengan baik di Indonesia. Hampir disetiap momentum politik, isu identitas ini menjadi jualan yang sangat menarik untuk dikembangkan, sebab dengan cara seperti ini para pemain politik dapat memanfaatkan reaksi yang muncul dari kelompok mayoritas dan minoritas disuatu wilayah.

Sudah cukup kerusuhan massa yang terjadi di Maluku, Aceh, dan poso menjadi pelajaran penting bagi kita semua, Bagaimana politik identitas ini merusak keharmonisan beragama, menciptakan sekat-sekat antar anak bangsa, dan berharap tidak ada lagi kejadian serupa dimasa yang akan datang.

Moderasi Beragama

Kebebasan beragama di Indonesia dapat dikatakan masih sering memunculkan polemik. Penyebabnya karena masih ada pihak-pihak yang memahami perbedaan itu sebagai sebuah ancaman bagi perkembangan eksistensi kelompoknya. Corak berpikir demikian dipelihara dan dijadikan alat untuk memperkeruh situasi sosial-politik di Indonesia. Kemunculan kelompok-kelompok itu mengatasnamakan agama, dan suku tertentu dan terus menggaungkan narasi-narasi kebencian terhadap kelompok lain dan hal ini dapat ditemukan ketika ada momen-momen penting seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif diberbagai daerah yang ada di Indonesia.

Olehnya itu langkah yang tepat dilakukan adalah meminimalisir potensi konflik dengan mencoba merubah mindset berpikir masyarakat dari primitif ke modern.

Konsep yang menurut saya sangat sesuai dengan konteks kebangsaan saat ini adalah moderasi beragama. Saya memahami moderasi yang secara umum merupakan suatu konsep yang mengedepankan asas toleransi guna mempertegas komitmen kebangsaan yang berdaulat tanpa adanya diskriminasi kelompok agama.

Pemikiran-pemikiran yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama  dapat diluruskan berdasarkan konsep moderasi ini. Tidak hanya dalam ajaran Islam, moderasi beragama ini berlaku kepada kelompok agama manapun, agar lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslahatan dan menyikapi suatu permasalahan yang terjadi ditengah kehidupan bernegara.

Memang patut diakui bahwa kelompok intoleran masih ada di Indonesia, mereka terus berupaya untuk melakukan gerakan yang bertujuan untuk merubah tatanan hidup berbangsa dan bernegara, Akan tetapi sejauh ini upaya tersebut belum berhasil karena arus kepentingan belum berpihak sepenuhnya.

Moderasi beragama bukanlah sesuatu hal yang baru untuk diperbincangkan, hal ini sudah ada dan termaktub dalam empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD NRI 1955, Bhineka tunggal ika dan NKRI.

Dalam Islam sendiri disebut dengan konsepsi “wasathiyah” yang berarti ajaran untuk berbuat adil, seimbang, mengedepankan kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Oleh karena itu sebagai negara yang plural, konsep moderasi beragama ini perlu untuk ditekankan kepada masayarakat agar dapat memupuk rasa cinta terhadap sesama manusia, dan juga dapat menghapus rasa benci yang selama ini terpendam karena adanya perbedaan entitas kelompok dan kepentingan-kepentingan lainnya.

Secara umum moderasi beragama menjadi sesuatu yang penting diterapkan, sebab dipakai dalam ajaran Islam yang dimasukkan dalam beberapa indikator, seperti tawasuth (Pertengahan), tasamuh (Toleran), tawazun (Seimbang), i’tidal (Konsiten berlaku adil) dan lain-lain.

Sementara dalam konteks berbangsa tertera dalam UUD NRI tahun 1945 Pasal 28 E yang berbunyi: Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal dan meninggalkannya serta berhak kembali. Kemudian diperjelas lagi dalam Pasal 28E ayat (2) yang menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

Artinya bahwa setiap orang diberikan kebebasan untuk beragama, dan sebagaimana diketahui agama yang resmi dan diakui oleh pemerintah ada 6 diantaranya, Islam, Kristen protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Negara tentu menjamin kebebasan warga negaranya namun tetap dalam koridor hukum yang berlaku.

Sebagai kesimpulan dari catatan singkat ini, saya dan tentunya kita semua berharap agar moderasi beragama dapat terus berjalan dalam bingkai Negara kesatuan republik indonesia, Dan semoga ditahun 2022, bangsa indonesia dapat tercerahkan dari pemahaman-pemahaman, Radikal, ekstimis, fanatisme kelompok, golongan, yang selama ini mencoba merusak keharmonisan berbangsa dan bernegara.

Advertisement