Oleh: Mulawarman
Jurnalis, Alumni Unhas
LEGION NEWS.COM – Golkar Sulsel dalam ancaman. Alih-alih kegentingan itu dari luar, nyatanya bersumber dari dalam. Pasalnya, DPD Golkar Sulsel berpotensi ditinggalkan para kader potensialnya, bila terus-menerus memperlihatkan praktik kepemimpinan yang tidak taat organisasi, demokratis, dan mengabaikan partisipatif.
Jangankan bicara pemenangan Partai 2024 mendatang, Golkar Sulsel akan sibuk mengurusi konsolidasi internal yang tidak kunjung selesai. Energi dan fokusnya akan terkuras habis urus seteru di dalam. Karena leadership yang buruk dapat menjadi ancaman yang bersifat laten. Tidak tampak di permukaan, namun dampaknya akan dirasakan dahsyat ke elektoral di depan.
Tulisan ini akan menyoroti dinamika leadership partai Golkar Sulsel. Hal yang menarik karena partai berlambang beringin ini selain sebagai partai pemenang di Sulsel, juga tidak lama lagi akan menggelar Musda DPD II Kota Parepare. Pasalnya Musda DPD II Parepare ini cukup menyita perhatian, karena menjadi batu ujian leadership Golkar kini dan akan datang.
Idealisasi Golkar
Paradigma baru partai golkar mengamanahkan bahwa di dalam Golkar ada aspek kebaruan dan kesinambungan. Dalam hal kebaruan, partai Golkar mewujudkan keberadaannya sebagai organisasi yang mandiri, demokratis, kuat solid, berakar, dan responsif.
Dengan Paradigma Baru, maka Partai Golkar diharapkan menjadi partai politik yang modern dalam pengertiannya yang sebenarnya. Konsep Golkar sebagai partai yang mandiri dan demokratis, berarti Golkar tidak bergantung pada kekuasaan manapun, ia bebas dan terbuka menentukan arahnya sendiri, tidak terkecuali dalam kepemimpinan.
Selain sifat mandiri dan demokratis, Golkar juga memiliki doktrin karya kekaryaan. Ajaran ini menegaskan komitmen Golkar pada program problem solving, bukan pada konflik kepentingan, politik primordial dan sektarian, persaingan tidak sehat, pengkotak-kotakan, hingga konflik ideologi. Berkaca pada masa Orde Baru, praktik itu hanya menghambat proses mensejahterakan rakyat.
Hanya saja, sejak reformasi, nilai-nilai ideal Golkar sebagai partai modern mengalami dinamika implementasinya. Baik di level pusat maupun di daerah, artikulasi konsep mandiri demokratis, dan doktrin kekaryaan ini kerap diwarnai oleh tarik-menarik berbagai kepentingan. Apakah dalam relasinya antar kader sendiri atau dengan partai lain, baik di eksekutif maupun di legislatif.
Di antara tantangannya adalah upaya sejumlah elit Golkar sendiri yang berusaha ingin menarik kembali ke kultur Golkar Orde Baru yang dipimpin dengan cara-cara yang tidak demokratis. Seperti disebutkan oleh Vedi R Hadis (2013), reformasi tidak lantas menghilangkan sepenuhnya aktor-aktor Orde Baru, mereka hanya berganti rupa. Bermuka manis di depan publik, namun watak dan pikirannya masih seperti Orde Baru: enggan menerima kritik, menolak perubahan, dan kadang tidak segan menekan dan meneror lawan politik yang berbeda dengannya.
Yang ironinya fakta kemunduran demokrasi di Golkar ini kerap memiliki para loyalisnya sendiri. Terlepas mereka diciptakan atau tumbuh secara alami sesuai nuraninya, yang jelas mereka lantang membela patronnya.
Saya menyebutnya kader bermental suro-suro teppe, yang menganggap seorang ketua atau pimpinannya di partai, adalah majikan. Majikan yang lazimnya dibantu oleh para pembantu atau suruhan (suro), adalah orang yang pasti benar atas segala arahan, petunjuk, keputusan dan kebijakannya. Sehingga segala perintahnya diyakini wajib dilaksanakan oleh mereka para suro. Tentu saja tidak gratis. Ada harga yang dibayar oleh sang Majikan. ABS kita kenal di zaman Orba.
Golkar Sulsel
Apa yang terjadi di kepemimpinan Golkar Sulsel dalam rentang 1 tahun kurang lebih, diklaim mirip-mirip budaya Golkar Orba. Buntut dari menerapkan kepemimpinan gaya Orba itu, Golkar Sulsel terus bergejolak hingga kini. Bahkan Ketum Golkar melalui salah satu ketua, Ahmad Doli Kurnia meminta Taufan Pawe untuk menghentikan membuat gaduh karena berdampak buruk terhadap konsolidasi partai.
Dalam maklumatnya, DPP mengingatkan agar DPD Sulsel mengembalikan pengelolaan organisasi sesuai AD/ART, merangkul semua kader tanpa mengkotak-kotakan sentimen kelompok, dan menuntaskan Musda. Hingga perintah DPP itu dikeluarkan Agustus 2021, hingga kini konsolidasi partai tampak jalan di tempat.
Buktinya, sepanjang setahun terakhir ini polemik Golkar terus bermunculan. Mulai dari pelaksanaan Musda II secara sepihak seperti Golkar Tator, penunjukan pelaksana tugas (Plt) Musda II sesuai keinginan pimpinan seperti di Golkar Lutim, ricuh pelaksanaan Musda DPD II Kabupaten Barru akibat panitia yang tidak transparan, hingga pemecatan kader karena berbeda pandangan dengan pimpinan di Musda II Kabupaten Bulukumba.
Akibat ketidakpuasan terhadap keputusan DPD I Sulsel, di antara kader akhirnya ribut, seperti di Tator di antara kader AMPG dan kader Tator nyaris adu jotos. Tidak hanya itu, terjadi juga penyegelan kantor DPD II hingga ada juga yang berakhir mengundurkan diri. Seperti Ketua DPD II Lutim yang sebelumnya ditunjuk Taufan Pawe sebagai Plt, akhirnya mundur juga, karena prihatin dengan kader yang tidak puas dengan kebijakan DPD I Sulsel.
Sebagian para loyalis TP, menyebut seteru Golkar sebagai hal yang lumrah dinamika organisasi. Buktinya, setiap DPD II Golkar Sulsel sekarang punya ketuanya. Sah saja mengklaim seperti itu. Namanya kader bermental suro-suro teppe.
Namun, bila lihat lebih kritis, penetapan itu tidak lebih mulia dengan sifat otoritarian. Pasalnya, hampir semua Musda II diselesaikan melalui surat sakti DPP, alias diskresi pimpinan. Bukan melalui proses demokratis yang mengedepankan dialog dan partisipatif di antara para kader dan pimpinan Golkar Sulsel.
Meski diskresi pimpinan di Golkar dibolehkan, namun implementasinya tetap tidak bisa mengabaikan AD/ART. Seperti di Pasal 19 ayat 2 bahwa promosi dan penugasan kader dilakukan melalui
seleksi secara demokratis dan terbuka, dengan memperhatikan kesetaraan atas dasar prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela (PD2LT).
Aturan ini jelas, menolak praktik penunjukkan Plt seperti yang selama ini terjadi di Sulsel, yang lebih berdasar faktor like or dislike. Yang paling anyar adalah keputusan Taufan Pawe yang terkesan memaksakan istrinya Erna Rasyid maju sebagai Ketua DPD Kota Parepare dalam Musda mendatang. Meski mendapat penolakan dari sejumlah kader, mengingat rekam jejak dan kontribusinya selama ini ke partai yang masih minimal, namun TP seperti bergeming.
Bahkan kemarin, Taqyuddin Jabbar mengaku secara psikhologis terganggu ketika TP, tiba-tiba masuk marah-marah di forum uji kelayakan calon ketua Golkar Parepare, di saat Taqyuddin Jabbar sedang uji oleh tim panelis yang dipimpin Marzuki Waden Sekretaris Golkar Sulsel.
Taufan Pawe marah karena karena pihaknya mengaku tidak diberi tahu. Padahal menurut informasi penyelenggara bahwa pelaksanaan uji fit and proper itu sudah sesuai prosedur. Pimpinan sidang uji kelayakan dan kepatutan diambil alih oleh Taufan Pawe dan Taqyuddin diuji mulai dari awal lagi.
Taufan Pawe lalu mencecar Taqyuddin Jabbar dengan pertanyaaan yang tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan Golkar jika Taqyuddin jadi Ketua Golkar. Bahkan, Taufan Pawe selalu memotong jawaban Taqyuddin.
Taufan Pawe hanya menyisakan dua pertanyaan untuk dua tim penguji, Lakama Wiyaka dan Rahman Pina. Tapi kata Taqyuddin, pertanyaan kedua panelis itu, sama dengan pertanyaan Taufan Pawe. Rahman Pina bertanya, bagaimana nantinya Taqyuddin memisahkan tugas sebagai Ketua Golkar Parepare dengan Ketua Alumni Hubungan Internasional Unhas. Padahal Rahman Pina sendiri adalah Sekretaris Umum Ikatan Alumni Sospol Unhas.
Yang sempat membuat Taqyuddin malu menjawab, karena ada wartawan memantau uji kelayakan itu. Adalah pertanyaan Lakama Wiyaka. Kader senior Golkar Sulsel ini bertanya, karena politik saman sekarang ini sudah pragmatis, maka seberapa banyak uang atau berapa besar kekuatan finansial Taqyuddin mikiki sehingga mau memimpin Golkar Parepare. Taqyuddin mengaku tidak tau, apakah Lakama Wiyaka bertanya dengan pertanyaan yang sama ke Erna Rasyid juga istri Taufan Pawe.
Bila Tidak, Maka
Apa yang dapat diharapkan Golkar dengan kepemimpinan elit seperti ini? Arogan, emosional, dan tidak mau menerima masukan. Bahkan dengan licik diam-diam mendukung ambisi suro-suro teppena untuk menjadi Ketua DPRD Sulsel nenggantikan Andi Ina kader perempuan Golkar yang satu-satu-satunya perempuan di Indonesia yang Ketua DPRD Provinsi.
Taufan Pawe diduga ikut “mengergaji” kursi Andi Ina di organisasi Karang Taruna dengan cara memberi ucapan selamat, kepada kader partai lain dibantu suro teppe Taufan Pawe “mencuri” jabatan Ketua Karang Taruna dari Andi Ina yang kader terbaik Golkar Sulsel karena Ketua DPRD Sulsel.
Padahal jelas, bukankah cara kepemimpinan Golkar selama ini berhasil karena dipimpin oleh sifat-sifat kepemimpinan yang persuasif, tenang, dan partisipatif. Bukankah dengan berganti pola kepemimpinan itu, akan membuat partai ini semakin ditinggalkan oleh kadernya. Lalu apa jadinya Golkar Sulsel di 2024 mendatang.
Ini sudah seharusnya jadi bahan evaluasi Golkar Sulsel. Banyak kader-kader loyal dan potensial dari 24 kabupaten/kota. Mereka yang siang dan malam memikirkan kemajuan Golkar. Akan menjadi problem bila dibiarkan, mengalah kepada pemimpin yang tidak sesuai dengan jiwa Golkar yang sesungguhnya, terbuka dan demokratis.
Khusus menjelang Musda Parepare, ada kader-kader terbaik dan berpengalaman, seperti Kaharuddin kadir, Syamsul Latanro, Taqiuddin jabbar, Yusuf Rifai dll yang lebih berpotensi memimpin. Dibandingkan harus mengalah kepada kehendak DPD I.
Bukankah seharusnya DPD I lebih mengurus DPD II lainnya yang masih belum konsolidatif. Betapa kasus ketidakpuasan para kader dari DPD-DPD II itu boleh jadi lebih bersifat laten, tidak tampak, namun berbahaya bagi elektoral.
Solusinya, bila TP tidak mengubah cara leadershipnya, maka sesuai sejumlah aspirasi kader di 24 kabupaten/kota, bahwa tidak ada yang lebih terhormat dibandingkan menyatakan siap mundur. Pasalnya, karena tidak mampu mengatasi kegaduhan yang berdampak pada tidak terjadinya konsolidasi yang kuat dan solid di Golkar Sulsel.
Seperti yang sejak awal diingatkan DPP Golkar, Ahmad Doli Kurnia. Oya, ada cerita dibalik pelantikan hari ini, konon DPP Golkar malu akan celetukan Andi Kaswadi Ketua Golkar Soppeng di depan Zainuddin Amali Menpora dan petinggi Golkar. Andi kaswadi di depan kader Golkar nyeletuk; Pak bagaimana nasib Ketua DPD Golkar Sulsel. Kapan Taufan Pawe dilantik. Kalau DPP tidak mau lantik. Yaa, diganti saja. Nah, jangan-jangan ketidakhadiran Airlangga di pelantikan hari ini, bukan pertanda, Taufan Pawe tidak didukung Ketum. Tabe, semoga dugaan saya ini salah.