Benahi Lantebung, ARB Jadi Doktor Lingkungan

MAKASSAR||Legion News – Setiap orang seharusnya menjadi pembelajar. Terserah melalui jalur apa. Jalur formal ataupun non formal. Ada orang yang menjadi pembelajar dengan memperhatikan seksama beragam fenomena yang terjadi. Kemudian dengan ilmu hikmah ia renungkan semuanya. Terakhir, berusaha mengambil pelajaran. Menjadikannya pribadi yang lebih bijak dan lebih baik.

Kemudian ada pembelajar yang masuk ke institusi formal. Akrab dengan berbagai macam kaidah ilmiah. Membuat penelitian lalu mempublikasikannya lewat jurnal ilmiah. Pendidikannya pun berjenjang-jenjang. Di kelulusan pada setiap jenjangnya akan ditandai dengan ijazah resmi. Pembelajar yang belajar dalam institusi resmi yang disebut sekolah atau kampus.

Di pendidikan doktor ARB memilih kosentrasi ilmu lingkungan. Khususnya lingkungan pesisir. Kajiannya lebih mendalam lagi tentang lingkungan. Belajar tentang kehidupan pesisir beserta ekologinya, habitatnya sampai kultur masyarakatnya.

Banyak masukan baru yang ARB dapat di program doktoral. Di sana ARB semakin teliti dalam memetakan masyarakat. Masyarakat daratan dengan masyarakat pesisir tidak bisa disamakan. Kondisi topografi punya pengaruh penting terhadap terbentuknya budaya. “Kalau karakteristiknya berbeda, maka kebijakan yang diterapkannya pun harus berbeda. Ada kebijakan khusus masyarakat pesisir dan daratan”, kata Dr.ARB kepada Ketua Forum Peduli Pendidikan Sulsel, Bachtiar Adnan Kusuma.

Advertisement

Karena kajian ARB berfokus pada masyarakat pesisir, maka ARB mencoba melakukan percontohan dengan membenahi hutan mangrove di Lantebung. Pendidikan tingkat doktoral adalah pendidikan yang spesial. Karena kastanya adalah yang paling tinggi, maka harus ada sesuatu yang baru yang dihasilkan. “Besar harapan saya dari proyek hutan mangrove di Lantebung, banyak hal baru yang akan tersingkap tentang kehidupan masyarakat pesisir” kata ARB kembali.

Impian ARB. Wilayah Lantebung tidak sekadar menjadi hutan mangrove saja. Kalau begitu maka tidak ada peradaban di situ. Yang ada hanya ular, kepiting bakau dan habitat makhluk hidup lainnya. Bagi saya itu tidak terlalu berguna. “Saya ingin yang lebih. Selain mangrovenya dibudidayakan, kehidupan manusianya pun diperhatikan. Saya berusaha menjadikan mangrove sebagai destinasi wisata. Sedikit demi sedikit, hal itu mulai tampak di Lantebung Kelurahan Bira dan Untia” jelas ARB lagi.

Masyarakat pesisir harus diberdayakan. Sering kita dipertontonkan, pada kondisi masyarakat pesisir yang membuat sesak dada. Wilayah pesisir Indonesia sangatlah panjang menurut ARB. Indonesia adalah negara nomor dua dengan garis pantai terpanjang di dunia. Garis pantai kita panjangnya bisa lebih dari 100.000 kilometer. Dan sepanjang seratusan ribu kilometer itu terselip banyak potensi dan kekayaan sumber daya alam. Logikanya masyarakat yang hidup di pesisir itu seharusnya punya tingkat kesejahteraan di atas rata-rata. Mereka ada di daerah dengan sejuta potensi. Itu harapannya, bagaimana faktanya? Berkebalikan. Masyarakat pesisir identik dengan kehidupan yang miskin. “Masyarakat yang termarjinalkan. Inilah yang saya sebut sebagai ironi” urai ARB kembali.

Mangrove tak sekadar hamparan pohon bakau dengan akarnya yang saling menjalin. Lebih dari itu. Mangrove adalah sebuah peradaban. Tak sekadar jalinan akar, di sana ada jalinan harapan. Di usia saya yang tidak muda lagi, ingin sekali saya membuat sesuatu yang kelak bisa menjadi amal jariyah. “Semoga saja sumbangsih karya untuk masyarakat pesisir, khususnya mangrove ini bisa menjadi lumbung amal. Di saat banyak orang bisa memetik manfaat darinya” kunci Dr. A.R. Bando.(Let)

Advertisement