Penulis : La Said Sabiq, S.H (Advokat Muda Makassar)
LEGION-NEWS.COM Beberapa hari ini, masyarakat diresahkan dengan informasi bahwa, warga yang tidak patuh terhadap ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada suatu wilayah akan dikenai sanksi pidana.
Isu hukum ini tentu merisaukan warga, mengingat beban psikologis yang diakibatkan oleh penyebaran Covid-19 harus dihadapi beruntun dengan kekhawatiran mendapat sanksi pidana oleh aparat penegak hukum.
Semestinya negara memberikan penjelasan yang baik dan komprehensif, agar tidak menimbulkan tafsir yang bias, baik dari warga negara maupun aparat penegak hukum, sehingga berpotensi mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Persoalan ini juga menjadi pembahasan yang hangat dikalangan para insan hukum. Berseliweran di media sosial dan portal berita online, memuat pendapat yang pro dan kontra terhadap penerapan sanksi pidana dalam pelaksanaan PSBB.
Pelaksanaan PSBB tentu berangkat dari niat baik Pemerintah yang patut didukung. Ini salah satu upaya untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit Covid-19 yang sedang melanda negeri.
Meskipun dalam pelaksanaannya bisa saja menimbulkan banyak persoalan, mengingat ketentuan PSBB ini banyak memuat tentang pembatasan ruang gerak dan kehidupan masyarakat. Lantas, apakah warga yang melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bisa dipidana?
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 9/2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), penetapan status PSBB pada suatu wilayah terlebih dahulu dimohonkan oleh Pemerintah Daerah; Gubernur/Bupati/Walikota atau Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementrian Kesehatan, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU No. 6/2018 Tentang Karantina Kesehatan.
Oleh karena itu, suatu wilayah tidak serta merta dapat menjalankan PSBB, tetapi terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Kementerian Kesehatan (Vide pasal 3 ayat 1 Permenkes No. 9/2020). Jika permohonan diterima, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan PSBB suatu wilayah, dan selanjutnya Pemerintah Daerah menindaklanjuti pelaksanaannya dengan membentuk peraturan teknis pelaksanaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan sanksi pidana dalam pelaksanaan PSBB, memang tidak diatur secara ekplisit dalam UU No. 6/2018. Jika melihat muatan pasalnya (pasal 93) secara langsung menunjuk pada pelanggaran pasal 9 ayat (1), yaitu “setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan ‘karantina kesehatan’” (bukan PSBB). Pendapat dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra.
Berseberangan dengan pendapat tersebut, dua pakar hukum Makassar berpendapat lain. Dr, Irwan Muin dan Dr. Amir Ilyas menyatakan bahwa, PSBB merupakan serangkaian upaya untuk mencegah masuknya penyakit, dan merupakan bagian dari karantina kesehatan.
Lebih jauh Dr. Amir Ilyas menguraikan, untuk menjawab pendapat Prof. Yusril dengan metode penafsiran perundang-undangan, yaitu titulus est lex est rubrica est lex yang berarti judul perundang-undangan dan bab perundang-undangan yang menentukan.
Bahwa penggarisan pasal Pidana dalam Undang-Undang a qou dimaknai secara utuh berdasarkan judul perundang-undangan atau bab perundang-undangan. Oleh karena PSBB merupakan salah satu tindakan dalam Karantina Kesehatan, maka ketentuan pasal Pidana dalam Undang-Undang a qou, juga meliputi pelaksanaan PSBB.
Tetapi menurut hemat penulis, perdebatannya tidak hanya sebatas itu. Jika kita merujuk secara langsung pada unsur-unsur dalam pasal Pidana UU a quo, maka semestinya, pemberian sanksi pidana bagi seseorang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi pelaksanaan PSBB tidak relevan untuk dimuat apalagi diterapkan.
Argumentasi hukumnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
Agar tidak menjadi bias, saya akan sertakan ketentuan Pidana pasal 93 UU 6/2018, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Jika mencermati ketentuan pasal tersebut, secara sederhana memang terdapat dua jenis perbuatan materiil yang dapat dipidana. Pertama tentang tindakan tidak mematuhi, dan yang kedua tentang tindakan menghalang-halangi sehingga mengakibatkan “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Ada yang berpendapat geit pertama adalah delik formil dan feit kedua adalah delik materil. Hal ini tentu akan melahirkan perdebatan lain, bagaimana menerapkan konsep pemidanaan dengan dua jenis delik sekaligus dalam satu pasal.
Tetapi dalam teori penafsiran teks hukum Code Penal Prancis menetapkan, la loi penale est d’interpretation stricte yang berarti hukum pidana harus ditafsirkan secara sempit, agar tidak melahirkan tafsir yang melebar atau ambigu. Atau dikenal dengan asas kejelasan rumusan.
Bahwa pasal tersebut harus dimaknai secara utuh tanpa ada pemisahan, agar tidak terjadi ketidakjelasan rumusan yang akan mengakibatkan multitafsir. Jadi, pasal a qou dapat dikatakan merupakan delik Materiil, karena mensyaratkan adanya akibat yang menimbulkan “kedaruratan kesehatan masyarakat”. Frasa “dan/atau” dalam Pasal tersebut harus dimaknai sebagai kuncian dua jenis delik, dan bukan merupakan pilihan atau pemisahan.
Selanjutnya, Jika kita melihat ketentuan UU No. 6/2018, Pelaksanaan PSBB merupakan respon dari status Darurat Kesehatan (Vide Pasal 59 ayat 1). Hal ini berarti, pelaksanaan PSBB mensyaratkan penetapan status “Darurat Kesehatan Masyarakat” terlebih dahulu.
Untuk itu Kementerian Kesehatan sebagaimana diamanahkan dalam pasal 10 ayat (1) UU a quo, menetapkan status Kedaruratan Kesehatan melalui Keppres No. 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tertanggal 31 Maret 2020 lalu.
Keppres ini pada intinya menyatakan bahwa, Covid19 adalah penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan, sehingga perlu ditetapkan status darurat kesehatan di seluruh wilayah Indonesia.
Berangkat dari argumentasi hukum tersebut, maka sudah tentu unsur Pidana dalam Pasal ini tidak akan terpenuhi. Ia hanya akan menjadi sebuah hukum yang tidur. Sebab konsekuensi delik Materiil yang mensyaratkan akibat “Kedaruratan Kesehatan” telah lebih dahulu terjadi sebelum adanya tindakan seseorang yang “tidak mematuhi” dan/atau “menghalang-halangi”. Sederhananya, prinsip kausalitas dalam delik ini tidak akan pernah terpenuhi.
Jika dianalogikan dengan Pasal 338 KUHP Tentang Pembunuhan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa, seseorang dituntut atau dipidana dengan pasal Pembunuhan, sedangkan orang yang akan dibunuh telah meninggal terlebih dahulu sebelum seseorang tersebut melakukan tindakan apapun.
Oleh karena itu, pengaturan ketentuan sanksi pidana dalam pelaksanaan PSBB tidak lagi menjadi relevan. Terlepas dari semua pendapat tersebut, sekali lagi, pelaksanaan PSBB ini tentu berangkat dari niat baik Pemerintah untuk melindungi warganya. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita semua harus patuh dan mengikuti imbauan, demi kebaikan dan kemaslahatan kita bersama.
Petugas Kepolisian dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk menjalankan ketentuan peraturan ini, sebaiknya mendahulukan tindakan-tindakan prefentif nan persuasif, sebab efek Covid19 ini tidak hanya dirasakan oleh negara sebagai institusi, tetapi justru berdampak massif pada masyarakat. Tidak melakukan penangkapan apalagi sampai merotan tulang belakang masyarakat. Jadilah pengayom yang bijaksana.
“Semua isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis”.