Parepare dan “City of Hope”

Direktur Profetik Institute, Asratillah
Direktur Profetik Institute, Asratillah

OLEH: Asratillah (Direktur Profetik Institute dan pengurus IKM Parepare)

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Beberapa hari ini perhatian kita tertuju pada bencana banjir di Kota Parepare. Kompleks perumahan dan rumah ibadah terendam, tembok rumah rubuh akibat terjangan air, beberapa akses jalan dan jembatan putus, bahkan ada sepasang suami istri yang menjadi korban jiwa. Jasad keduanya ditemukan tak berdaya di sekitaran Sungai Jawi-Jawi, tangis pun pecah dari keluarga yang tinggalkan.

Bagi yang lahir, tinggal dan pulang-balik mengunjungi Parepare, baru kali ini ada banjir yang dampaknya kerusakannya cukup besar. Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya, kira-kira apa penyebab banjir bandang di Kota Parepare?

Apakah hanya karena tingginya curah hujan? Tapi Parepare tidak hanya kali ini dihampiri oleh hujan lebat.

Advertisement

Apakah karena banjir kiriman? Kalaupun itu betul berarti paradigma kita dalam mengelola ruang sangat sempit dan tidak berorientasi kawasan yang lebih luas.

Tapi saya menduga bahwa laju cepat konversi lahan di Parepare untuk tujuan komersil belakangan ini, punya andil besar. Selebaran ataupun flyer promosi tanah kapling serta perumahan yang berlokasi di Parepare dan sekitarnya menjadi hal yang cukup akrab bagi yang berdomisili di Kota Parepare. Ditambah cukup maraknya pembangunan ruko ataupun infrastruktur fisik di Kota Parepare.

Logikanya sederhana, saat lahan dikonversi maka pasti akan diawali dengan proses “land clearing” (pembersihan lahan) yang disertai aktivitas de-vegetasi (mensterilkan lahan dari segala bentuk vegetasi). Dan anehnya konversi lahan di Kota Parepare, tidak hanya terjadi di tanah dengan kemiringan landai, tetapi juga dilakukan di tanah dengan kemiringan cukup terjal.

Tutupan vegetasi berkurang drastis, limpahan air hujan berintensitas cukup tinggi tidak sempat menyerap (ter-infiltrasi) ke dalam tanah. Sehingga air hujan hampir sepenuhnya menjadi air permukaan (surface water), dan memang banjir bandang pada hakikatnya adalah aliran air permukaan yang bergerak seturut bentuk topografi kawasan.

Ditambah dengan situasi drainase yang tak lagi bisa berfungsi optimal (akibat penumpukan sampah dan sedimentasi), apalagi air laut sementara pasang, ke semua hal tersebut membuat situasi menjadi runyam dan berujung pada bencana.

Lereng-lereng yang menjadi kaplingan dan perumahan, tak mampu menahan beban air dan terjadilah longsor, beberapa orang dilarikan ke rumah sakit karena tertimpa material sedimen.

Saya mengapresiasi gerak cepat Pemkot Parepare dalam memobilisasi aparatnya untuk melakukan evakuasi, bahkan pemkot memberikan bantuan dan santunan yang cukup besar bagi keluarga korban. Namun segala bentuk “charity” hanya meredakan sejenak pilu akibat bencana , ibarat obat pereda nyeri aktivitas “charity” tidak menyelesaikan akar masalah.

Mesti ada upaya serius yang disertai pikiran tenang, dan mengeyampingkan sejenak segala agenda politik jangka pendek. Akar masalah banjir bandang mesti diidentifikasi. Segala pendekatan mesti digunakan. Berbagai pihak mesti dilibatkan, mulai dari birokrasi pemerintahan, akademisi, eksponen masyarakat sipil, komunitas masyarakat, media hingga pelaku bisnis.

Kota Parepare adalah kota yang mengalami tumbuh-kembang cukup cepat. Sektor perekonomian semakin bergairah akhir-akhir ini, dan tentunya ini adalah sesuatu yang membanggakan. Namun sebagaimana kota yang mengalami pertumbuhan, akan disertai pula dengan semakin kompleksnya persoalan, mulai dari persoalan sosial hingga persoalan lingkungan. Dengan kata lain kota yang bertumbuh senantiasa dibayang-bayangi oleh resiko yang bertumbuh.

Sehingga mesti ada cara pandang baru dalam menatap Kota Parepare. Parepare mesti bertumbuh menjadi kota yang cerdas, dalam artian cerdas dalam mengelola sumber daya ekonominya dan cerdas dalam mengelola sumber daya ekologinya.

Kota Parepare jika ingin “terbang tinggi” maka tidak hanya cukup menggunakan satu “sayap” saja (dalam hal ini “sayap ekonomi”), tapi mesti menggunakan dua “sayap” ( “sayap ekonomi” dan “sayap ekologi”).

Agar Parepare bisa menjadi kota cerdas, maka mau tak mau pemerintahnya mesti menjadi “smart government”. Pemerintah mesti dikelola dengan kepemimpinan yang kolaboratif, birokrasi kita mesti menjadi agile (lincah) dan adaptif terhadap segala bentuk perubahan (terutama perubahan teknologi dan iklim). Tapi di satu sisi warga Kota Parepare juga mesti menjadi “smart people”, tidak hanya bergantung tangan pada birokrasi pemerintah dalam merawat kota. Warga kota mesti bergandengan tangan dengan pemerintah kota, tanpa terperangkap dalam sekat-sekat kepentingan politik.

Kita paham bahwa sekarang adalah tahun politik. Namun kita semua punya tanggung jawab moral yang lebih mendesak. Kita mesti mewariskan Kota Parepare yang lebih nyaman, aman, asri, sejahtera, dan berkemajuan kepada anak cucu kita kelak.

Kita ingin Kota Parepare menjadi “city of hope”, kota dimana orang-orang menggantungkan, merawat dan berjuang mewujudkan impian terbaiknya. Kita tidak ingin melihat Parepare menjadi “a city full of fear”, kota yang di dalamnya warga kota merasa senantiasa was-was, takut, cemas akibat bencana yang sebenarnya bisa kita antisipasi bersama.

Advertisement