LEGION NEWS.COM – Pemerintah melalui Kementeri Tenaga Kerja (Kemenaker) menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Dengan terbitnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 menyebabkan gelombang protes oleh para pekerja. Tidak hanya langkah protes dilakukan oleh Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia.
Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menyebut, serikat buruh menyampaikan sejumlah tuntutan kepada Menaker Ida Fauziyah.
Pertama, mereka menyampaikan penilaian bahwa Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 bertentangan dengan Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), khususnya Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10.
Mirah dkk menilai, dalam Undang-undang SJSN, “peserta” adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.
“Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan di-PHK tidak lagi masuk dalam kategori ‘peserta’, karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga tidak ada alasan pemerintah menahan dana milik pekerja yang sudah tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan,” ungkap Mirah dalam keterangan tertulis seperti dilansir dari Kompas.com, Jumat (18/2/2022).
Diketahui selain para buruh desakan kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah agar mencabut Permenaker No. 2/2022 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) terus berdatangan.
Salah satunya dari anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Demokrat (FPD), Aliyah Mustika Ilham. Aliyah meminta, agar Permenaker terkait JHT dalam BPJS Ketenagakerjaan tersebut segera dicabut.
“Ya, karena ada aturan yang cacat logika dan tidak adil, di situ. Tidak heran juga jika menimbulkan kegaduhan,” ujar Aliyah kepada wartawan, Ahad (20/2).
Dikutip dari kantor berita Rmol.com Menurut Aliyah, aturan yang menyebutkan bahwa manfaat JHT di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa diambil saat pekerja memasuki pensiun atau di usia 56 tahun bukan hanya keliru, melainkan kebijakan tersebut juga menunjukkan sikap otoriter.
“Bagaimana bisa pemerintah melalui Kemenaker melarang pekerja atau peserta JHT untuk mengambil uangnya? Anggaran JHT kan bukan dari APBN, itu diambil langsung dari uang pekerja. JHT kepentingan pekerja dan tidak terkait langsung dengan pemerintah,” kata Aliyah.
Sehingga, kata Aliyah, secara logika JHT merupakan milik pekerja yang sangat berguna bagi pekerja yang terkena PHK atau berhenti karena sebab lain sebelum berusia 56 tahun.
“Karena itu tabungan mereka, ya harusnya dapat diambil oleh pekerja walaupun ia belum berusia 56 tahun saat misalnya, terkena PHK, bukan karena meninggal dunia atau karena cacat,” terang Aliyah.
Jika seseorang berhenti atau diberhentikan kerja dan berhak atas JHT sebelum usia 56 tahun, maka seharusnya pekerja tersebut memiliki kesempatan yang cukup untuk memanfaatkan usia produktifnya. Jadi, JHT dapat dimanfaatkan oleh pekerja dalam keadaan mendesak.
“Tidak semua orang kalau kehilangan pekerjaan itu punya tabungan yang cukup. Apalagi saat pandemi seperti sekarang. Semua serba tidak pasti. Masa iya sih, mendesaknya sekarang ketika dia misalnya seseorang di-PHK di usia 40-an, tapi JHT-nya baru bisa cair setelah usia 56 tahun? Kan aneh,” jelas legislator dari dapil Sulawesi Selatan (Sulsel) ini.
Aliyah mengaku, penolakan keras dari Fraksi Partai Demokrat terhadap Permenaker 2/2022 tersebut menunjukkan sikap konsisten Demokrat dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. (Sumber: Rmol)