Pemerintah Indonesia Harus Mewaspadai Agresivitas China di Wilayah ZEE di Laut Natuna Utara

FOTO: Marwan Batubara Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)
FOTO: Marwan Batubara Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)

Oleh: Marwan Batubara
Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)

LEGION NEWS.COM, JAKARTA – Masuknya kapal-kapal nelayan, survei dan kapal perang China ke Laut Natuna Utara dalam beberapa tahun terakhir tampaknya sudah biasa. Pada akhir Agustus hingga awal Oktober 2021 kapal China kembali muncul.

Namun, beberapa pejabat pemerintah terkesan “memaklumi” kejadian yang melanggar teritori dan melecehkan kedaulatan ini. Tampaknya pemerintah mempunyai sikap khusus atas China, rakyat harap maklum dan dilarang protes.

Padahal, di samping persoalan teritori dan kedaulatan, agresivitas China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara juga menyangkut masalah SDA. Pencurian ikan sudah berlangsung lama.

Advertisement

Kerugian NKRI ini akan bertambah besar jika cadangan migas Blok Natuna Timur (Blok NT, d/h: Natuna D-Alpha) dicaplok China. Di samping ingin mengamankan jalur sutra (ekonomi dan perdagangan), tampaknya China terus menarget penguasaan Blok NT.

Kisruh soal Laut Natuna Utara sudah berlangsung lama. Klaim sepihak, “unilateral claim”, China menyatakan wilayah tersebut sebagai “traditional fishing ground”.

Hal ini diwujudkan dalam teritori “Nine Dash Line” (sembilan garis putus-putus) yang mencaplok sekitar 83.000 km2 wilayah yurisdiksi Indonesia (30% luas perairan Natuna), termasuk Blok NT. Klaim sepihak ini membuat China berseteru juga dengan Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Ternyata sebagai peserta UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut) sejak 1996, China tidak menghormati hak berdaulat Indonesia.

Aktivitas riset kapal asing di ZEE Indonesia merupakan tindakan ilegal jika dilakukan tanpa izin pemerintah Indonesia. Hal ini melanggar hak berdaulat seperti diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 56 ayat 1, Pasal 240, 244 dan 246, dan UU No.5/1983 Pasal 7 yang mengatur tentang kegiatan penelitian ilmiah di ZEE.

Maka, Indonesia harus konsisten bersikap tegas: “unilateral claim” harus dilawan Indonesia dengan “persistent objection”.

Ternyata pada 3 insiden terakhir, sikap pemerintahan Jokowi tidak konsisten dan berubah semakin parah! Pada insiden pertama, kapal China “Kway Fey” yang masuk wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) pada Maret 2016, disikapi wajar dan proporsional. Hal ini terlefleksi dengan gugatan berujung putusan arbitrase 2016 yang membatalkan klaim sepihak China.

Pada insiden kedua, masuknya kapal nelayan dan Coast Guard China ke ZEE Natuna 19-24 Desember 2019 disikapi dengan tegas. Menlu Retno Marsudi menyatakan Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line, klaim sepihak China yang tidak berdasar hukum dan UNCLOS 1982 (3/1/2020).

Menko Polhukam M. Mahfud menegaskan tidak akan melakukan negosiasi dengan China, sebab perairan Natuna bukan kawasan konflik, tetapi sepenuhnya milik Indonesia (5/1/2020). Bahkan Presiden Jokowi menegaskan tak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di perairan Natuna (4/1/2020).

Pada insiden ketiga, sejak 30 Agustus 2021 hingga 20-an Oktober 2021 kapal China yang masuk adalah kapal riset Hai Yang Di Zhi 10, dikawal oleh Kapal Coast Guard Cina dengan nomor lambung CCG 4303 dan 4 kapal kapal perang.

Berbeda dengan insiden pertama dan kedua, sikap pemerintah atas insiden ini sangat tidak jelas menunjukkan kedaulatan.

Awalnya arogansi China ini disikapi Bakamla secara wajar dan proporsional. Namun TNI AL mengungkap tidak memperoleh informasi pelanggaran kapal riset China Hai Yang Di Zhi 10 yang mondar mandir selama satu bulan di kawasan Laut Natuna Utara. Dikatakan, sesuai informasi dari Komando Armada I, kapal China berada di luar yurisdiksi nasional.

Juga, tidak seperti pada inseiden kedua, penyataan resmi Menlu Retno Marsudi, Menko Mahfud MD dan Presiden Jokowi nyaris atau bahkan tak terdengar!

Menko Marves Luhut B. Panjaitan (LBP) saat berkunjung ke Catholic University, AS, ketika ditanya tentang kapal China ternyata juga tak bersikap tegas. Kata LBP: “Semua dokumen, semua hukum internasional telah tersedia –kami hanya menghormatinya. Kami berdiskusi dengan mitra kontak kami di China, kami setuju untuk tidak setuju di beberapa area, tetapi saya pikir kami mampu mengelola sejauh ini. Kami tidak merasa memiliki masalah dengan China” (11/10/2021).

Dengan absennya sikap Menlu, Menko Polhukam dan Presiden Jokowi, serta tanggapan “damai” LBP di atas, Indonesia tampaknya cenderung mempertahankan status quo. Kedaulatan menjadi tidak penting. Tak heran jika kapal Haiyang Dizhi terus survei, dan dapat berulang di masa depan. Sikap pemerintah seperti ini bisa berujung dicaploknya Blok NT oleh China.

Nilai Ekonomi Blok Migas Natuna Timur

Blok NT menyimpan cadangan gas bruto sekitar 222 triliun kaki kubik (triliun cubic feet, TCF). Dengan kandungan karbon dioksida sekitar 72 persen, maka cadangan gas bersih Blok NT sekitar 46 TCF. Blok NT juga menyimpan cadangan minyak sekitar 500 juta barel.

Secara ekonomi, jika diasumsikan harga gas adalah US$ 10 per MMBTU (million/juta British thermal unit), harga minyak 75 dolar AS per barel dan nilai tukar dolar AS/Rp = 14.300, maka nilai ekonomi bruto gas Blok NT adalah: 46.000.000 MMCF x 1000/MMCF x 10 dolar AS x 14.300 = Rp 6.576, 67 triliun.

Sedangkan nilai bruto minyak: 500 juta x 75 x 14.300 = Rp 536,25 triliun. Sehingga nilai bruto migas Blok NT adalah: (6.576, 67 + 536,25) = Rp 7.112,91 triliun.

Dengan laju ekstraksi terkendali rata-rata 2000 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day, atau Juta Standar Kaki Kubik per Hari), dan dialokasikan seluruhnya untuk kebutuhan domestik, maka Blok NT mampu memenuhi kebutuhan gas nasional antara 40-60 tahun.

Melihat nilai ekonomi dan manfaat besar bagi energi nasional, sangat pantas jika pemerintah berupaya maksimal mempertahan serta segera mengembangkan Blok NT.

Sebenarnya kontrak eksplorasi Blok NT telah ditandatangani dengan ExxonMobil pada 1980. Namun karena tidak tercapainya kesepakatan bagi hasil dan berbagai variable kerja sama, terutama karena besarnya biaya pemisahan CO2 dan lokasi yang jauh dari konsumen, kontrak gagal berlanjut ke pengembangan. Kerja sama dengan ExxonMobil berakhir 2006.

Blok NT harusnya dikembangkan tidak hanya berdasar analisis aspek eknomi-keuangan, untung rugi (cost-benefit analysis, CBA) seperti berlaku umum. Tetapi harus pula memperhitungkan aspek-aspek lain seperti sosial-politik, lingkungan, keberlanjutan, hankam dan geo-politik. Sehingga keputusan pengembangan diambil setelah melalui analisis multi-kriteria (multi-criteria decision analysis, MCDA) terhadap seluruh aspek terkait.

Guna mengatasi kendala tekno-ekonomi (CO2 tinggi dan lapangan remote), maka pengembangan Blok NT perlu menerapkan skema kontrak dan bagi hasil khusus, keringanan bea masuk dan tax holiday.

Selain itu, guna memenuhi  prinsip pengelolaan SDA berkelanjutan dan berkeadilan antar-generasi, maka perlu pula diterapkan pola dana migas (petroleum funds, PF), terutama agar proyek layak dikembangkan.

Pengembangan Blok NT sangat relevan dan mendesak pula memperhatikan aspek hankam dan geo-politik kawasan Asia-Pasifik. Agresivitas China di perairan Natuna, termasuk target mencaplok Blok NT harus ditangkal. Salah satu cara, melalui kerja sama pengembangan Blok NT dengan perusahaan migas Eropa dan/atau Amerika.

Kerja sama harus tetap berpegang pada prinsip kesetaraan dan politik luar negeri bebas-aktif. Seluruh anak bangsa harus berjuang mempertahankan Blok NT dan kedaulatan NKRI, termasuk melawan para oknum pejabat dan oligarki yang bekerja menjadi “pemain pengganti”, proxy, bagi China.

Advertisement