UNESCO, Legion-news Badan yang membidangi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau (UNESCO). Badan Dunia tersebut telah mendesak Pemerintah Indonesia untuk menutup jalan yang melintasi kawasan lindung terbesar di Asia Tenggara itu, dengan alasan dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Dilansir dari situs new.mongabay.com dalam berbahasa inggris dengan tajuk nya, “UNESCO calls for closure of road running through World Heritage park in Papua” Atau “UNESCO menyerukan penutupan jalan yang melintasi taman Warisan Dunia di Papua
Dalam laporan terbarunya tentang status konservasi Situs Warisan Dunia, UNESCO menyoroti sejumlah kekhawatiran terkait jalan sepanjang 190 kilometer (118 mil) yang membelah Taman Nasional Lorentz di wilayah paling timur Indonesia di Papua.
Mencakup 2,35 juta hektar (5,81 juta acre), area sepertiga ukuran Irlandia, taman ini adalah Situs Warisan Dunia UNESCO yang dikenal sebagai satu-satunya kawasan lindung di dunia mulai dari puncak gunung berselimut salju hingga lingkungan laut tropis. , dengan lahan basah dataran rendah yang luas di antaranya.
Jalan tersebut, yang dikenal sebagai jalan Habema-Kenyam, merupakan bagian dari proyek Trans-Papua, jaringan aspal yang memotong ribuan kilometer melintasi separuh pulau New Guinea di Indonesia.
UNESCO sebelumnya telah menyuarakan keprihatinan atas potensi ancaman yang ditimbulkan oleh jalan tersebut terhadap nilai universal taman nasional yang luar biasa, yang berisi situs-situs fosil yang memberikan bukti evolusi kehidupan di New Guinea; tingkat endemisme yang tinggi; dan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di wilayah tersebut. Pada tahun 2017, UNESCO mencatat bahwa penilaian dampak lingkungan proyek itu sendiri memperingatkan potensi dampak terhadap kawasan lindung.
Pembangunan jalan mewakili “risiko tambahan yang signifikan untuk lingkungan alpine yang rapuh di properti, yang dapat memperburuk dampak perubahan iklim,” kata UNESCO.
Terlepas dari peringatan ini, pemerintah Indonesia tetap melanjutkan pembangunan jalan, dengan mengatakan bahwa hal itu akan memastikan untuk tidak merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati taman nasional. Dalam laporan ke UNESCO pada tahun 2020, pemerintah Indonesia mengatakan telah menyiapkan rencana aksi mitigasi untuk jalan Habema-Kenyam dan telah mulai menerapkannya pada tahun 2017 tetapi harus menghentikan mitigasi pada tahun 2018 karena masalah keamanan di daerah tersebut.
UNESCO menyebut ini “sangat memprihatinkan,” mencatat bahwa jalan itu dibangun dan dibuka untuk penggunaan umum meskipun ada keraguan sebelumnya dari Komite Warisan Dunia UNESCO.
“Penerapan langkah-langkah mitigasi yang tepat sangat penting untuk melindungi ekosistem alpine yang rapuh di properti ini,” kata UNESCO.
Ia menambahkan juga tidak mengetahui langkah-langkah mitigasi apa yang telah atau direncanakan untuk dilaksanakan, meskipun sebelumnya telah meminta informasi itu dari pemerintah Indonesia.
Zonasi sesat
Selain kurangnya transparansi pada proyek jalan dan pelaksanaan langkah-langkah mitigasi, UNESCO juga menyuarakan keprihatinan atas keputusan pemerintah untuk mengizinkan berbagai kegiatan, terutama pembangunan infrastruktur.
Di antara proyek infrastruktur yang diizinkan oleh pemerintah adalah jalan, bandara, dermaga pelabuhan, menara komunikasi radio, mercusuar, dan helipad. Ini terbatas pada “zona penggunaan khusus” yang mencakup 43.714 hektar (108.000 hektar) taman.
Namun UNESCO mengatakan zonasi tersebut masih menimbulkan kekhawatiran karena masih berada dalam batas-batas taman nasional dan dengan demikian dapat berdampak negatif terhadap nilai universal yang luar biasa dari kawasan tersebut. Dikatakan bahwa berbagai kegiatan seperti itu harus sepenuhnya dilarang di dalam taman nasional dan diarahkan ke luar batas.
Dalam upaya melestarikan ekosistem di taman nasional, pemerintah telah menetapkan zona inti dan zona hutan belantara, yang masing-masing mencakup 35% dan 36% dari luas taman. Zona inti digambarkan memiliki nilai universal yang luar biasa dari properti dan merupakan rumah bagi sejumlah spesies yang terancam punah, seperti echidna paruh panjang (Zaglossus spp.) dan kanguru pohon dingiso (Dendrolagus mbaiso). Zona inti ini dikelilingi oleh zona hutan belantara, yang bertindak sebagai penyangga yang melindunginya dari ancaman eksternal.
UNESCO menyebut zonasi pemerintah salah arah, dengan mengatakan itu harus bekerja untuk memastikan perlindungan nilai universal yang luar biasa di seluruh Taman Nasional Lorentz, daripada membatasinya di dalam zona inti.
“Zona penyangga harus mengelilingi seluruh properti untuk memastikan bahwa seluruh properti dilindungi dari ancaman yang berasal dari luar batas properti,” kata UNESCO.
Mengutip segudang kekhawatiran ini, UNESCO mendesak pemerintah Indonesia untuk menutup sementara jalan untuk kepentingan umum dan hanya membukanya kembali setelah langkah-langkah mitigasi diterapkan sepenuhnya. UNESCO juga meminta pemerintah untuk menyampaikan rincian langkah-langkah mitigasi yang telah diambil, dan yang direncanakan, ke World Heritage Centre.
UNESCO juga meminta klarifikasi tentang Jalan Raya Trans-Papua dan potensi dampaknya terhadap nilai universal properti yang luar biasa.
Untuk melakukannya, pemerintah harus menyerahkan peta terperinci, salinan penilaian dampak lingkungan serta langkah-langkah mitigasi yang diperkirakan sebelum pekerjaan lebih lanjut dilakukan, menurut UNESCO.
Dampak negatif
Sejak penyelesaian jalan di Taman Nasional Lorentz, pengamat telah mengidentifikasi beberapa dampak negatif.
Sebuah studi tahun 2018 oleh The Asia Foundation dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan bahwa jalan telah menyebabkan penebangan pohon yang berfungsi sebagai habitat satwa liar dan sumber air bagi ekosistem di taman. Studi ini juga mencatat kematian hutan hujan beech Nothofagus di taman nasional sebagai salah satu konsekuensi dari pembangunan jalan di sana.
Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia dan Wildlife Conservation Society melakukan studi tentang fenomena ini, dengan hasil awal menyimpulkan bahwa hutan hujan beech terinfeksi oleh jamur.
Namun studi tersebut tidak menemukan korelasi antara prevalensi penyakit jamur dan jarak ke jalan, dan juga menemukan bahwa beberapa tegakan Nothofagus musnah oleh kebakaran hutan selama musim kemarau.
Pemerintah mengatakan analisis lebih lanjut sedang dilakukan pada parameter tambahan untuk menentukan hubungan antara dieback dan pembangunan jalan.
UNESCO meminta pemerintah untuk menyerahkan temuan lengkap survei Nothofagus ke Pusat Warisan Dunia untuk ditinjau oleh IUCN ketika tersedia.
“Memperhatikan bahwa kebakaran hutan juga merupakan penyebab hilangnya Nothofagus, penting agar pengelolaan kebakaran, termasuk aspek terkait perubahan iklim, dimasukkan dalam rencana pengelolaan untuk properti tersebut,” kata UNESCO.
Penggundulan hutan
Dalam pembelaannya terhadap proyek jalan tersebut, pemerintah mengatakan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut dan Otoritas Taman Nasional Lorentz telah mendapat manfaat besar dari keberadaan jalan tersebut.
“Sebelumnya, untuk pergi ke daerah lain mereka harus berjalan kaki selama berhari-hari,” kata laporan pemerintah. “Tapi sekarang bisa lebih efektif, karena bisa menggunakan jasa kendaraan roda 4 atau roda 2. Selain itu, jalan tersebut dapat digunakan untuk melakukan kegiatan survei potensi, patroli keamanan kawasan, dan mendukung kegiatan di sektor wisata alam.”
Namun, para pemerhati lingkungan mencatat bahwa jalan tersebut juga telah memfasilitasi kegiatan penebangan di dalam taman nasional.
Penias Liay, yang bekerja untuk LSM Nayak Oase, mengatakan dia telah melihat truk yang membawa kayu merbau, kayu keras tropis yang berharga, keluar dari Lorentz. Dia mengatakan kayu-kayu tersebut diangkut ke pabrik penggergajian di dekat kabupaten Wamena, menggunakan Jalan Raya Trans-Papua.
“Sekarang truk bisa melewati Tol Trans-Papua untuk mengambil kayu dari dalam Taman Nasional Lorentz,” kata Penias seperti dikutip koran Tempo.
Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran deforestasi. Menurut analisis spasial oleh LSM Auriga Nusantara, Lorentz kehilangan 7.644 hektar (18.888 hektar) hutan dalam dua dekade terakhir, dengan laju deforestasi yang meningkat dalam satu dekade terakhir.
“Sebelum Tol Trans-Papua, sudah ada jalan dan digunakan untuk memberi akses perambahan,” kata Veronika Kusumaryati, antropolog dari Georgetown University yang bekerja di Papua, seperti dikutip Tempo. “Jalan Raya Trans-Papua memperburuk pembukaan hutan.”
Auriga juga menemukan izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk sembilan perusahaan pertambangan untuk prospek di 156.189 hektar (385.951 hektar) di dalam taman.
“Jalan Trans-Papua juga memperparah [deforestasi] karena mengakomodasi kepentingan pertambangan,” kata Veronika. (rdk)