MAKASSAR – Yusril Ihza Mahendra Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PPB) akan mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam judicial review atau uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK).
PBB mengikuti langkah PDI Perjuangan yang berkeinginan saat Pemilu 2024 kembali menggunakan sistem proposional tertutup (Coblos gambar partai).
Terkait itu, Asratillah Direktur Profetik Institute mengatakan wacana perubahan dari sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup memiliki dua aspek, yang pertama adalah aspek politik dan yang kedua adalah aspek legal.
“Secara politik, pilihan antara sistem proporsional terbuka atau tertutup akan memiliki konsekuensi politiknya masing-masing baik bagi partai politik, para calon anggota legislatif, dan pemilih itu sendiri,” kata Direktur Profetik Institute. Jumat (13/1/2023)
“Jika pilihan dijatuhkan pada sistem proporsional tertutup, maka parpol akan mengalami penguatan kelembagaan, pengasosiasian diri warga negara pada partai akan meningkat, kaderisasi dalam parpol akan dianggap penting,” tutur Asratillah
“Tapi dari segi caleg, maka minat orang di luar parpol untuk mendaftar caleg akan berkurang apalagi jika corak organisasi dan ideologi partai tidak inklusif,” imbuhya.
“Dari segi pemilih, maka persentase partisipasi sangat dipengaruhi kekuatan infrastruktur parpol dalam melakukan marketing politik, mengingat individu-individu caleg tidak menjadi variabel utama bagi pemilih menjatuhkan pilihan,” tambah Direktur Profetik Institute.
Dia lalu menjelaskan, Jika pilihan dijatuhkan tetap kepada proporsional terbuka, maka parpol tetap akan lemah secara kelembagaan, kualitas caleg sangat ditentukan akan kepemilikan sumber daya ekonomi, praktik vote buying (jual beli suara) tetap akan marak. Walaupun antusiasme warga negara untuk mendaftar caleg cukup tinggi.
Pandangan Direktur Profetik Institute antara sistem proporsional terbuka dan Tertutup
Dari aspek legal, maka memang memungkinkan untuk menggugat UU Pemilu yang ada melalui uji materi. Namun menurut saya, kita mesti memikirkan sebuah inovasi sistem pemilihan legislatif yang bisa mengambil kekuatan dari kedua pilihan sistem yang ada (proporsional terbuka dan tertutup), sekaligus mengantisipasi kekurangan di antara keduanya.
Dalam politik demokrasi, keandalan parpol secara kelembagaan adalah hal krusial, apalagi menurut undang-undang parpol lah yang bertugas melakukan pendidikan politik dan perekrutan politik.
Kita merasakan betul bagaimana pendidikan politik (termasuk kaderisasi dalam parpol) yang dilakukan parpol saat ini sekedar formalitas-prosedural belaka, bahkan tidak sedikit kader parpol yang kecewa terhadap partainya sendiri hanya karena banyak aktor baru yang tiba-tiba punya posisi penting hanya karena punya modal ekonomi kuat serta tidak punya riwayat kaderisasi yang jelas.
Perekrutan parpol pun kehilangan ruh ideoligisnya, parpol hanya menjadi “kendaraan rental” bagi pihak-pihak yang punya ambisi politik besar namun defisit visi politik.
Namun di sisi lain partisipasi politik warga juga mesti jadi pertimbangan. Namun kita mesti jujur partisipasi politik warga kita sangat seremonial, partisipasi diartikan sekedar minat datang ke bilik suara. Padahal bisa saja yang mendrive pemilih ke bilik suara bukan karena pertimbangan jernih akan janji-janji politik kandidat, tapi hanya karena iming-iming imbalan materi.
“Saya sepakat, bahwa kita tidak boleh jalan mundur dalam hal berdemokrasi. Tapi pertanyaan yang mesti kita jawab, apakah sistem pemilihan atau politik kita saat ini sudah demokratis?
Atau hanya berlabel demokratis? Kunci Asratillah. (LN)