Oleh: Makmur Idrus
LEGIONNEWS.COM – Tidak ada kampus yang lebih egaliter dari warung kopi. Di sana, dosen, mahasiswa, pensiunan, tukang parkir, politisi, dan pengangguran duduk sejajar, disatukan oleh aroma robusta dan gosip politik terkini. Tak ada absensi, tak ada skripsi. Hanya percakapan yang kadang lebih jujur dari rapat kabinet.
Warkop adalah universitas kehidupan yang tidak pernah mengeluarkan ijazah, sebab ilmunya tidak berhenti pada selembar kertas. Di meja bundar (Warkop Phoe Nam) atau di Meja pojok luar (Warkop Dg. Anas) penuh cangkir, orang belajar logika tanpa sadar dari adu argumen tentang harga beras sampai teori konspirasi global. Kadang ada yang sok tahu, kadang yang benar justru yang paling sederhana ucapannya. Di situ seni berpikir diuji, siapa yang tahan mendengar sebelum menanggapi.
Di warung kopi, teori sosial dan ekonomi tumbuh tanpa buku teks. Seseorang bisa memulai diskusi tentang subsidi pupuk, lalu berakhir pada makna takdir dan keikhlasan. Setiap gelas kopi adalah tesis kecil tentang daya tahan, pahitnya diterima, manisnya disyukuri. Tak heran, banyak yang lebih lulus di sini ketimbang di bangku kuliah, karena mereka belajar hidup dari realitas, bukan dari slide presentasi.
Di warkop, gelar bukan “S.T.” atau “S.H.”, tapi “S.T.C.”—Sarjana Tahan Caci-maki. Di sana, perbedaan pendapat adalah olahraga rutin, dan tawa adalah mata kuliah wajib. Sementara profesor kehidupan, biasanya yang rambutnya sudah memutih mengajar dengan kisah, bukan diktat.
Jadi jangan remehkan universitas tanpa gedung ini. Ia mencetak lulusan yang tahu kapan berbicara, kapan diam, dan kapan menambahkan gula agar pahitnya tak membuat orang lain pergi.
Warkop tak butuh ijazah, sebab ijazah sejati adalah kemampuan memahami manusia di seberang meja.
Karena di Warkop, ilmu lahir dari percakapan, dan kebijaksanaan tumbuh dari tawa bersama.

























