Penulis: M. Nasir Dollo SH.MH.
Ketum LBH-NU/ Ketum YLBH Sunan Parepare dan Ketua LBH STAI DDI Pangkep
LEGION NEWS.COM, OPINI – Tirai hitam yang selama ini menyelimuti perkara korupsi Dinas Kesehatan Parepare 6,3.M kini tersingkap sudah, misteri yang selama ini menjadi teka- teki di tengah- tengah masyarakat akan terjeratnya pelaku lain telah terjawab sudah dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung No. 2299 K/PID.SUS/2021.
Terbitnya berita media Legion News.com tanggal 28 Januari 2022 dengan judul: “Putusan MA Kasus Penyelewengan Dana Kesehatan, PH Minta Polres Parepare Tetapkan Tersangka Penerima Lainnya”
Dan disusulnya aksi demonstrasi masyarakat pada hari Kamis tanggal 17 Februari 2022 di Mapolresta Parepare adalah merupakan bentuk perlawanan dan kekecewaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi yang terkesan berjalan tertatih-tatih.
Reaksi keras kekecewaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi yang terkesan terseok-seok, janganlah dibiarkan berlarut- larut hingga mengundang gelombang massa yang jauh lebih besar.
Sungguh tak elok bila “viral dulu baru ditindak lanjuti”. Mengingat perkara korupsi Dinas Kesehatan Parepare Rp6,3 M terlanjur mencuat ke permukaan publik dan menjadi buah bibir masyarakat luas, kenyataan ini akan menjadi barometer bahwa dugaan keterlibatan pihak lain [Walikota] dalam perkara ini, sungguh tak mungkin lagi disamarkan atau ditutup-tupi hingga hilang telan bumi tanpa jejak tersisa.
Sungguh tak elok membiarkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di Parepare kian meredup tanpa harapan.
Mencuatnya perkara korupsi Dinas Kesehatan sebanyak Rp6,3 Milyar pada tahun 2018 yang diduga melibatkan beberapa pihak termasuk walikota Parepare, masyarakat merasa pesimis perkara tersebut akan diproses sampai ke pengadilan tipikor, kalaupun diproses tak mungkin menyentuh walikota.
Perasaan pesimis masyarakat tersebut bukanlah tanpa alasan yang mendasar, betapa tidak, perkara korupsi ULP saja yang nyata-nyata tertangkap tangan dan langsung ditetapkan tersangka, tetapi perkaranya tidak pernah berjalan, bahkan rimbanya terkesan hilang tanpa jejak sampai saat ini.
Apalagi dengan perkara korupsi Dinas Kesehatan yang diduga melibatkan Wali kota Parepare, tentu lebih rumit lagi.
Tapi kegigihan masyarakat yang tak kenal lelah dan terus berjuang agar perkara ini dituntaskan sampai keakar-akarnya.
Akhirnya dokter Yamin sebagai Kepala dinas Kesehatan Parepare ditahan dan di proses hukum. Sekalipun dugaan keterlibatan pelaku lainnya termasuk Wali kota Parepare masih dalam posisi aman dan tak pernah tersentuh hukum.
Terbitnya beita media Legion News.Com tanggal 28 Januari 2022 yang memuat putusan Mahkamah Agung dan dalam pertimbangan hukumnya sangat terang dan jelas menyatakan keterlibatan pihak lain termasuk Wali kota dalam perkara korupsi Dinas Kesehatan Parepare Rp6,3 milyar.
Terkuaknya berita tersebut ke permukaan, terasa pemberantasan korupsi yang selama ini “Mati suri telah hidup kembali” tak ubahnya kembang-kembang di taman yang telah lama layu kekeringan, tiba-tiba mekar kembali karena turunnya hujan gerimis disertai dengan hembusan angin sepoi-sepoi.
Bila pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung tersebut bersesuaian dengan postingan LAPOLUZ OGY dan IKHSAN ISHAK di medsos yang memuat isi Surat Pernyataan bersama Dokter Muh. Yamin, Taufiqurrahman dan Syamsul Idham [semuanya pejabat Dinas Kesehatan Parepare pada saat itu], bahwa mereka diperintahkan oleh Wali kota untuk menyerahkan uang sebanyak Rp 1,5 milyar kepada H.Hamzah pengusaha asal Papua sehubungan dengan pengurusan Dana DAK 40 M pada APBD perubahan 2018.
Maka dunia hukum akan menangis bila Wali kota masih belum tersentuh hukum, dan tingkat kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi menjadi zero.
Biarkanlah sejarah yang akan mengukir dengan tintanya, apakah harapan masyarakat akan terbongkar tuntasnya perkara korupsi Dinkes Parepare hingga sampai keakar-akarnya, akan berakhir dengan goresan tinta emas ataukah menambah deretan daftar hitam sejarah pemberantasan korupsi sepanjang zaman dengan tinta hitam yang begitu kelam.
Proses dan akhir dari semua ini, hanya waktulah yang akan menjadi wasitnya, masyarakat hanyalah pasrah jadi penonton tanpa daya, mengharap akan keadilan terwujud, aparat penegak hukumlah yang akan menjadi penentu dengan segala kekuasaannya dan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa yang memberikan balasan yang setimpal kepada hambanya, sekalipun Kekuasaan dan KeperkasaanNYA seringkali terlupakan karena keangkuhan, arogansi dan nafsu serakah hambanya yang tak berkesudahan.
Terbitnya berita media Legion News.com tanggal 28 Januari 2022 dengan judul: “Putusan MA Kasus Penyelewengan Dana Kesehatan, PH Minta Polres Parepare Tetapkan Tersangka Penerima Lainnya”. Di Dalam beritanya memuat pertimbangan hukum Putusan MA No.2299 K/PID.SUS/2021 diantaranya :
Sejumlah dana Rp 6,3 Miliar tersebut yang telah diserahkan terdakwa kepada beberapa orang adalah atas perintah walikota.
Uang pengganti sejumlah Rp6,3 Miliar yang dibebankan kepada terdakwa diadakan perbaikan dan dikurangi ,,, ;
Sungguh bukanlah basa basi ungkapan Prof. Mahfud Md [saat ini Menkopolkam] yang menyatakan bahwa pers adalah bagian dari aparat penegak hukum, sekalipun secara normatif, Pers itu bukanlah bagian dari aparat penegak hukum, tetapi dari dimensi peran dan tanggung jawab, pers sangatlah besar pengaruhnya dalam penegakan hukum.
Hal ini seiring dengan istilah yang begitu populer “viral dulu baru ditindaklanjuti” artinya, biasanya perkara tentu karena tidak viral, maka diselesaikan saja dengan jurus mabuk, yang penting zat yang memabukkan tersedia sampai teller. Tapi bila perkaranya viral maka teramat sulit untuk menutupi tak ubahnya orang telanjang bulat menari di jalanan, tentulah teramat sulit melarang setiap orang yang lewat untuk tidak meliriknya.
Dengan terbitnya berita media Legion news.com yang memuat putusan Mahkamah Agung, maka terduga pelaku lain dibalik korupsi Dinas Kesehatan Parepare, sungguh tak mungkin lagi proses hukumnya ditunda-tunda atau dibendung, bila tidak menghendaki bendungan itu jebol seperti halnya jebolnya tanggul lumpur Lapindo di Sidoarjo, yang menuai korban masyarakat yang tak berdosa.
Perkara ini tidak patut dibiarkan berlarut larut hingga menjadi bola liar ditengah –tengah masyarakat, yang kemungkinannya akan menimbulkan korban bagi masyarakat yang tak berdosa, cukuplah sudah, Lapoluz Ogy dan Ikhsan Ishak yang merasa dikorbankan dengan penerapan hukum yang kurang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum itu sendiri.
Putusan Mahkamah Agung sifatnya mengikat/memaksa [memasung] bukan saja bagi para pihak, terdakwa/terpidana, tetapi termasuk pihak lain yang tertuang dalam putusan tersebut, tak terkecuali aparat penegak hukum lainnya, seperti halnya perintah untuk segera membebaskan tahanan yang tidak terbukti bersalah, atau sebaliknya, maka JPU wajib hukumnya menindaklanjuti putusan tersebut, bahkan putusan Mahkamah Agung adalah menjadi pedoman atau pengawasan bagi lembaga peradilan lainnya dalam upaya mewujudkan keadilan masyarakat dan kepastian hukum itu sendiri.
Tentu timbul pertanyaan mendasar, apakah aparat penegak hukum lainnya [penyidik] wajib hukumnya menindaklanjuti pertimbangan hukum Mahkamah Agung tersebut diatas. Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus memahami terlebih dahulu apakah kedudukan pertimbangan hukum itu sendiri dalam putusan. Pada hakekatnya pertimbangan hukum adalah merupakan intisari atau mahkota dalam putusan itu sendiri, sehingga pertimbangan hukum yang keliru/salah atau tidak memadai/lengkap dapat mengakibat batalnya putusan atau putusan tersebut dibatalkan demi hukum.
Pada hakekatnya pertimbangan hukum merupakan intisari dari pemeriksaan suatu perkara, jadi gambaran peristiwa hukum yang sebenarnya telah terjadi tertuang dalam pertimbangan hukum dan hal tersebut menjadi landasan dalam memutuskan perkara tersebut.
Mengingat pertimbangan hukum merupakan intisari yang menggambarkan peristiwa hukum yang sebenarnya terjadi, maka secara hukum aparat penegak hukum lainnya [penyidik] wajib hukumnya menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, bukankah tugas dan tanggung jawab aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum secara adil.
Sungguh ironis bila Dokter Muh.Yamin terbukti bersalah melakukan kejahatan korupsi dengan cara menyerahkan uang ke beberapa orang atas dasar perintah atasannya yaitu walikota, sedangkan pihak lainnya [walikota] yang diduga terlibat perkara korupsi Dinas Kesehatan tersebut tetap berkeliaran kesana – kemari menaburkan pesona pencitraan, tak ubahnya Sang dewa penolong yang hadir di tengah penderitaan masyarakat.
Mengingat dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, walikota secara gamblang disebutkan perannya dalam perkara korupsi Dinas Kesehatan Parepare, maka secara hukum penyidik berkewajiban untuk menegakkan hukum tanpa tebang pilih, bukankah hukum adalah konsensus bersama dan harus diberlakukan sama kepada seluruh rakyat bangsa ini. Dengan dasar tersebut, maka penyidik wajib hukumnya untuk memeriksa walikota sehubungan dengan korupsi Dinkes Parepare Rp6,3 milyar.
Pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung tersebut diatas secara tersurat memang bukan merupakan bentuk perintah langsung kepada penyidik untuk menetapkan tersangka lain atau kepada mereka yang tersebut namanya sebagai bagian dari pelaku kejahatan korupsi Dinas Kesehatan Parepare sebanyak Rp6,3 milyar. Tetapi pada hakikat nilai yang terkandung dalam pertimbangan hukum tersebut dapat dimaknai sebagai perintah tak langsung kepada penyidik untuk menetapkan tersangka lain yang diduga terlibat dalam perkara korupsi tersebut.
Bahkan pertimbangan hukum Mahkamah Agung tersebut patut dimaknai sebagai peringatan kepada aparat penegak hukum lainnya, bahwa mengapa pihak lain yang diduga keras terlibat dalam perkara korupsi Dinas Kesehatan tersebut tidak diperiksa sejak dulu.
Fakta hukum tersebut diatas menjadi cermin nyata, terang dan jelas bahwa persamaan derajat dihadapan hukum dalam makna hukum diberlakukan sama kepada seluruh lapisan masyarakat hanyalah sebatas slogan belaka. Mungkin kita jenuh menyaksikan di TV atau Medsos, bila masyarakat miskin atau masyarakat tak berdaya dilaporkan sebagai terduga pelaku kejahatan, seketika ditindak lanjuti dan disergap, bahkan terkadang melampaui batas batas prinsip kemanusian dan keadilan, ada kalanya di intimidasi untuk menunjukkan temannya yang lain dan temannya yang ditunjuk seketika juga diciduk tanpa ampun.
Tentu sangatlah berbeda dengan perkara korupsi di Dinas kesehatan Parepare, Dokter Muh. Yamin dan kawannya yang lain sudah memberikan keterangan yang jelas dan disertai dokumen tentang keterlibatan pihak lain, bahkan biasa diterbitkan media, tetapi aparat penegak hukum tetap saja bungkam.
Seandainya sistem penegakan hukum kita memberikan kewenangan khusus kepada Hakim/Mahkamah untuk menetapkan tersangka ataukah memerintahkan kepada penyidik untuk segera menetapkan tersangka lain yang diduga terlibat dalam perkara telah diperiksa. Maka dapat dipastikan bahwa pihak-pihak yang tersebut namanya dalam putusan tersebut, pasti sudah ditetapkan menjadi tersangka, ataukah Hakim/Mahkamah pasti telah memberikan perintah langsung kepada penyidik untuk segera menetapkan tersangka lain.
Mengingat Hakim/Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan tersangka ataukah memberikan perintah langsung kepada penyidik untuk menetapkan tersangka, maka Hakim/Mahkamah hanya memberikan kesimpulan yang sangat tegas, terang dan jelas bahwa pihak-pihak yang tersebut dalam putusan tersebut adalah terlibat dalam perkara korupsi Dinas Kesehatan Parepare Rp6,3 Milyar.
Mengingat dugaan keterlibatan pihak- pihak yang tersebut namanya dalam putusan Mahkamah Agung telah melalui proses pemeriksaan yang teliti, cermat dan mendalam, maka dapat diprediksi bahwa bila proses hukumnya berlanjut, sungguh sangat sulit bebas dari jeratan hukum, sekalipun menggunakan jurus tangan seribu tanpa bayangan.
Putusan Mahkama Agung tersebut diatas dapat juga menjadi landasan hukum bagi LAPOLUZ OGY ataukah IKHSAN ISHAK untuk melakukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali [PK] ke Mahkamah Agung. bila Lapoluz ogy maupun Ikhsan Ishak mendapat putusan bebas/lepas dari segala tuntutan hukum, maka hal tersebut menjadi dasar hukum untuk menuntut ganti rugi, bahkan Lapoluz ogy dan Ihsan Ishak dapat membuat laporan pidana tentang pengaduan palsu/persangkaan palsu pasal 317 dan pasal 318 KUHP. Artinya
Pelapor/pengadu sebenarnya menyadari dan mengetahui persis bahwa perbuatan yang dilakukan LAPOLUZ OGY dan IKHSAN ISHAK memposting SURAT PERNYATAAN dokter Muh. Yamin dan kawan- kawan yang menyatakan bahwa walikota yang memerintahkan untuk menyerahkan uang sebanyak Rp. 1,5 M kepada H.HAMZAH pengusaha asal Papua. Bila kita merujuk kepada putusan Mahkamah Agung tersebut, maka terjawab sudah bahwa surat pernyataan Dokter Muh. Yamin dkk yang diposting LAPOLUZ OGY dan IKHSAN ISHAK adalah benar adanya dan bukan kebohongan atau fitnah. Bukankah tuduhan yang terbukti atau benar adanya bukan merupakan pencemaran nama baik ataukah fitnah.
Postingan LAPOLUZ OGY dan IKHSAN ISHAK dalam akun mereka masing-masing telah terjawab dalam putusan Mahkamah Agung, maka seandainya perkara LAPOLUZ OGY tidak cabut bandingnya ataukah melakukan upaya hukum kasasi Ke Mahkamah Agung, maka secara hukum LAPOLUZ OGY akan diputus bebas, adapun perkara IKHSAN ISHAK , karena JPU melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung tetapi sampai hari ini belum jelas rimbanya.
Disclaimer : Rubrik Kolom OPINI adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan legion news.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi legion news.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.