LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Masa jabatan Wali kota dan Wakil wali kota makassar serta Bupati dan Wakil bupati di Sulawesi Selatan akan segera berakhir di tahun 2024 mendatang, bersamaan dengan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak.
Diketahui Pemilu legeslatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Wakil Presiden berselisih 9 bulan. Pilpres dan Pileg di gelar 14 Februari 2024, sedang Pilkada berlangsung di 27 November 2024.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 khususnya Pasal 201 ayat (7) berbunyi; “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024.”
Diketahui Pilkada kota Makassar berlangsung tahun 2020. Pada bulan Februari 2021, Moh. Ramdhan Pomanto dan Fatmawati Rusdi dilantik sebagai Wali kota dan Wakil wali kota Makassar. Selain pasangan dengan tagline ‘Adama’ bupati dan wakil bupati di Sulsel yang dilantik serentak itu hanya menjabat sampai dengan Tahun 2024.
- Baca juga:
Praktik Jual Beli Buku Pelajaran SD Marak di Sekolah, Kadis Pendidikan Kota Makassar Memilih Bungkam
Kini kedua pasangan kepala pemerintahan itu telah memasuki masa jabatan pada tahun ketiganya.
Belakangan Danny Pomanto (DP) sapaan lain Wali kota Makassar itu tidak sepakat jika masa jabatannya hanya sampai di tahun 2024.
“Sedangkan ditambah saja setengah mati apalagi mau dipotong. Ini Undang undang Dasar loh, memangnya hak rakyat ini bisa dipotong-potong saja,” tutur DP seperti dikutip dari Fajar.co.id Jumat (3/6/2022) lalu.
“Saya tidak yakin itu, kan belum ada yang gugat. Tidak di gugat gara-gara SK kita masih 2026,” sambung Wali kota Makassar dua periode itu.
- Baca juga:
Komisi C DPRD Makassar Janji RDP Kedua Soal PSEL, Warga Tamalanrea: Ahli Harus Bersertifikat BNSP
Pernyataan Danny Pomanto itu oleh Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H. menyampaikan pandangan dan argumentasi konstitusional terkait polemik pengurangan masa jabatan Walikota Makassar.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi, Penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana diatur dan ditentukan dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
“UU Pilkada bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada tahun 2024 mendatang,” ujar Dr. Fahri Bachmid, Minggu (6/8/2023).
Fahri mengungkapkan bahwa UU Pilkada tahun 2016 itu pernah digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara, Frans Manery dan Muchlis.
Dia pun menjelaskan bahwa berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 18/PUU-XX/2022. Mahkamah berpendapat bahwa pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada, adalah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia, sebagai hak politik.
“Dengan demikian hak tersebut secara doktriner terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang artinya hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” ungkap pengajar di Universitas Muslim Indonesia ini.
Fahri yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi & Pemerintahan (PaKem) Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia itu pun berpendapat, bahwa secara konstitusional MK mengatakan bahwa hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, “in casu” masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.
“Karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional,” kata Fahri.
Lanjut, “Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif,” imbuh Direktur PaKem Fakultas Hukum UMI Makassar ini.
Kemudian, Fahri menyatakan bahwa ketentuan Pasal 201 UU Pilkada dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.
Pun, “MK dalam pertimbangannya, bahwa jika merifer pada Butir 127 Lampiran II UU 12/2011, menegaskan bahwa ketentuan peralihan telah memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang didasarkan pada Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru,”
“Adapun tujuannya, yaitu menghindari terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara, dan secara khusus mengenai kepastian hukum atas persoalan tersebut,” beber Dr. Fahri Bachmid.
Kemudian, “MK mengatakan adanya pengaturan masa jabatan kepala daerah yang terpilih saat Pilkada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 telah diatur secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada,”
Lanjutnya, “Dan MK berpendapat bahwa dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan dimaksud telah diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut kontestasi dalam pemilihan pada 2020 lalu, sehingga pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan kepala daerah demikian telah diketahui secara pasti oleh setiap pasangan calon,”
Fahri Bachmid berkesimpulan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada yang menentukan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024 tersebut, tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan serta tidak menghalangi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945,
“Dengan demikian, jika ada pihak yang masih mencoba mempersoalkan pengurangan masa jabatan kepala daerah adalah tidak ‘reasonable’ dan dapat dinilai sebagai tindakan pembangkangan atas prinsip dan nilai konstitusi termasuk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, constitution disobedience,” tutup Fahri Bachmid. (LN)