Wacana Pemilu Campuran, Wakil Ketua MK: Skotlandia Seperti itu

Foto tangkap layar, Wakil Ketua MK Saldi Isra saat digelar sidang judicial review sistem pemilu proporsional terbuka. Selasa (9/5)
Foto tangkap layar, Wakil Ketua MK Saldi Isra saat digelar sidang judicial review sistem pemilu proporsional terbuka. Selasa (9/5)

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Mahkamah Konstitusi kembali menggelar judicial review sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam sidang itu menghadirkan saksi ahli dari pengajar Universitas Andalas (Unand) Padang yang meraih gelar Doktor dari UI pada 2022 lalu

Ahli yang dihadirkan itu Dr Charles Simabura. Dia peraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia dengan judul disertasi, ‘Wewenang Menteri Membentuk Peraturan Menteri dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia Pasca-Perubahan UUD 1945 Kurun Waktu 2004-2019’.

Dalam kesempatannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta ahli untuk mengelaborasi seandainya Indonesia menggunakan sistem ‘Pemilu Campuran’, yaitu mengawinkan sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional tertutup.

Sebab menurut menurut Wakil Ketua MK sistem itu memiliki kelebihan dan keunggulan masing-masing.

Advertisement

Dilansir dari kanal YouTube MK, Selasa (9/5/2023). Saldi Isra meminta ahli memberi keterangannya terkait sistem pemilu campuran.

“Kami yang di depan kan bukan ahli pemilu. Pemahaman kami terbatas,” kata Saldi Isra seperti dikutip dalam sidang terbuka seperti dilihat dan didengar yang ditayangkan dalam akun YouTube MK, Selasa

Saldi menyebut ada tawaran mix system dari hakim konstitusi Arief Hidayat. Apalagi ada negara yang mengawinkan kedua sistem pemilu itu, yaitu sebagian terbuka dan sebagian tertutup.

“Skotlandia seperti itu,” ujar Saldi.

Di Skotlandia, keterwakilan berbasis perempuan/gender dan yang harus dipilih secara affirmative action dilakukan menggunakan sistem tertutup. Di luar tujuan itu dilakukan secara terbuka.

“Kalau sistem campuran, bagaimana penerapannya dalam sistem politik kita?” tanya Saldi ke ahli.

Saldi juga meminta masukan ahli soal simulasi sistem pemilu yang diubah, lebih tepat dilakukan untuk pemilu 2024 atau 2029.

“Kalau harus mengubah, kira-kira kapan yang paling masuk akal?” tanya Saldi lagi.

Adapun hakim konstitusi Arief Hidayat membuat simulasi proporsional terbuka vs proporsional tertutup terhadap kebijakan politik affirmative action terhadap keterwakilan perempuan.

Dengan proporsional tertutup, maka parpol bisa menentukan caleg jadi perempuan menjadi nomor urut 1, 2, dan seterusnya sesuai dengan kebijakan 30 persen perempuan. Dengan sistem tertutup itu, maka syarat 30 persen perempuan di DPR bisa terwujud.

Namun karena menggunakan sistem proporsional terbuka, yaitu yang menjadi anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak, tujuan 30 persen bisa tidak terwujud. Sebab, yang menjadi anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak, bukan berdasarkan keterpilihan perempuan.

“Dalam sistem terbuka, (kuota perempuan di DPR, red) menjadi terjun bebas karena dipilih langsung oleh rakyat,” ungkap Arief Hidayat.

Arief Hidayat juga memberikan contoh kasus sengketa caleg. Di mana ada antarcaleg bertikai hingga MK. Padahal mereka satu parpol, satu ideologi, satu dapil dan satu program. Tapi karena sistem pemilihan terbuka, mereka harus bertikai memperebutkan suara terbanyak konstituen.

“Apakah ini sesuai dengan sistem yang harus dibangun berdasar ideologi Pancasila yang mengajarkan gotong royong dan persatuan?” tanya Arief Hidayat.

Mendapat pertanyaan tersebut, ahli Dr Charles Simabura menyatakan ke depan lebih setuju mix system. Namun butuh waktu yang tepat untuk mengubahnya.

“Sebenarnya Indonesia itu mix system. Mungkin kita perlu tidak berada dalam kutub terlalu ke kiri atau ke kanan. Tidak terlalu terbuka atau tertutup,” jawab Charles Simabura atas pertanyaan hakim konstitusi.

Selain itu, Charles Simabura menjawab perlu diperkuat peran Mahkamah Partai. Hal itu menjawab banyaknya pertikaian antarcaleg hingga ke MK.

“Saya setuju diselesaikan di mahkamah partai,” ujar Charles Simabura yang juga pengajar Universitas Andalas (Unand) Padang yang meraih gelar Doktor dari UI pada 2022 lalu dengan judul disertasi ‘Wewenang Menteri Membentuk Peraturan Menteri dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia Pasca-Perubahan UUD 1945 Kurun Waktu 2004-2019’.

Sedangkan ahli Prof Firman Noor menyebut pemberlakuan sistem campuran bisa saja dilakukan tetapi butuh proses panjang.

“Ini perlu pemikiran yang sangat mendalam dan komprehensif untuk bisa sama-sama mengubah menuju ke sana. Itu saya kira membutuhkan waktu tidak sebentar, energi yang luar biasa dan butuh pendidikan politik yang luar biasa,” ujar Prof Firman Noor menjawab.

Adapun soal proporsional terbuka yang membuat kebijakan affirmative action menjadi terpinggirkan, ahli Prof Firman Noor menilai hal itu menjadi tugas bersama untuk memperbaiki sistem proporsional terbuka.

“PR kita menginspirasi pemilih, sehingga memilih yang lebih baik. Memang itu butuh waktu, bukan tidak mungkin dilakukan edukasi politik kepada masyarakat,” ungkap Firman Noor.

Sebagaimana diketahui, judicial review sistem pemilu proporsional terbuka digugat oleh:

  1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
  2. Yuwono Pintadi
  3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
  4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
  5. Riyanto (warga Pekalongan)
  6. Nono Marijono (warga Depok)

Pemohon beralasan, parpol mempunyai fungsi merekrut calon anggota legislatif yang memenuhi syarat dan berkualitas. Oleh sebab itu, parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.

“Menyatakan frase ‘proporsional’ Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘sistem proporsional tertutup’,” urai pemohon.

Sistem proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol. Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Parpol.

“Dengan demikian, ada jaminan kepada pemilih calon yang dipilih parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat,” beber pemohon. (*)

Advertisement