LEGION NEWS.COM, ENREKANG – Aliansi Masyarakat Massenrempulu (AMPU), melakukan aksi unjuk rasa di jalan poros Maiwa, Enrekang-Tator, Rabu, 02 Pebruari 2022 mulai pukul 9.00 WITA. Masyarakat korban penggusuran yang tergabung dalam AMPU, dan beberapa aktivis, menolak penggusuran lahan, dan rumah di kecamatan Maiwa, Batu Mila, Karrang, kecamatan Cendana yang meruoakan perbatasan kabupaten Pinrang-Enrekang.
Mereka menuntut pencabutan surat rekomendasi pembaruan HGU di atas lahan eks HGU BMT. Menurut Rahmawati Karim, dalam orasinya, bupati Enrekang harus segera mencabut surat rekomendasi pembaruan kepada PTPN XIV, karena melabrak PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang perpanjangan dan pembaruan HGU. “Tidak ada aturan yang mengatur jika HGU sudah lama selesai, yakni tahun 2003 lalu, kemudian tiba-tiba ada surat rekomendasi di tahun 2020. Ada apa dengan ini ?,” tegas Rahmawati dengan nada lantang.
Srikandi dari Enrekang ini melanjutkan, tidak mentolerir tindakan penggusuran baik lahan maupun rumah warga di eks HGU BMT. Sementara Andi Zulfikar yang puluhan tahun mendampingi petani dan korban penggusuran di Batu Mila mengatakan, sangat menyesalkan tindakan PTPN XIV yang melakukan penggusuran di eks HGU BMT. “Saya menyesalkan tindakan PTPN XIV yang secara sepihak menggusur lahan warga di Batu Mila, Maiwa,” tandas Andi Zul (red), panggilan akrab Andi Zulfikar.
Senada dengan Rahmawati Karim, Andi Zul, kecaman juga muncul dari Lembaga Swadaya Masyarakat Pemantau Keuangan Negara (PKN). Rilis melalui ketua PKN Bababanti, dan sekretarisnya Muhtar, mengecam keras penggusuran rumah dan lahan di Maiwa dan sekitarnya di atas eks HGU BMT.
PKN menilai tindakan penggusuran merupakan petaka bagi warga Enrekang, khususnya bagi warga Maiwa. “Seharusnya bupati Enrekang melakukan sosialisasi terkait terbitnya surat rekomendasi, dan harus melalui persetujuan anggota DPRD Enrekang,” ucap Bababanti. Sementara Muhtar, menilai, PTPN XIV tidak manusiawi, ia menambahkan, semua yang lahannya digusur orang tua yang sudah berumur, mereka datang di sana bukan keinginan sendiri, tapi karena mendapat hak kelola lahan transmigran dari mantan bupati Enrekang, almarhum Iqbal Mustafa.
“Jadi, siapa yang menyerobot sebenarnya,” tanya Muhtar dengan nada tinggi.
Nasib wong cilik memang selalu di ujung tanduk, serba salah, dan tidak ada kenyamanan, dan ketenangan dalam mencari nafkah, kini ratusan korban bingung hendak kemana berlindung dan mencari keadilan. Sementara, direktur utama PILHI, Syamsir Anchi via phone mengatakan, “percuma mengadu ke DPRD Enrekang, toh tidak akan menghasilkan apa-apa,” ucap Anchi. Menurut aktivis 98 ini, apa pun yang terjadi tetap memback up perjuangan kawan-kawan aktivis dan korban penggusuran di Enrekang. (*)