Kupang (NTT) || Legion News- Penggunaan tanah adat Pubabu-Besipae untuk investasi Kelor oleh Gubernur NTT masih menuai polemic sampai saat ini. Lahan seluas 37.800.000 M2 dalam sertifikat hak pakai terbit tahun 1986 di desa Mio, kecamatan Amnuban Selatan, kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur dianggap Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae cacat dan bermasalah.
Hal itu tertuang dalam surat Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae Nomor 02/THPB/IX/2020 tanggal 23 September 2020 yang ditujukan kepada Gubernur NTT, yang copian suratnya diterima media ini pada Rabu, (23/09).
Surat yang ditandatangani Ketua Tim Hukum Akhmad Bumi, SH ini menjelaskan “berdasar Surat Kuasa tanggal 31 Agustus 2020, untuk dan atas nama masyarakat adat Pubabu-Besipae yang tergabung dalam Lembaga Adat ITA PKK, dengan ini menyampaikan kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur terkait rencana kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur bersama rombongan pada Jum’at, 25 September 2020.
Bahwa jika benar Gubernur Nusa Tenggara Timur dan rombongan melakukan kunjungan ke Pubabu-Besipae pada Jumat, 25 September 2020 terkait penggunaan lahan / tanah adat Pubabu-Besipae untuk investasi Kelor dll, maka dengan ini kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut;
Menyusul surat kami terdahulu tanggal 6 September 2020 meminta penjelasan Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur terkait penerbitan Sertifikat Hak Pakai Nomor 00001 tanggal 29 Januari 1986 dengan Surat Ukur Nomor 00001/Mio/1983 yang diduplikat pada tanggal 19 Maret 2013, berikut kami jelaskan sebagai berikut;
Dalam Sertifikat Hak Pakai tertulis letak obyek tanah berada di desa Mio, kecamatan Amnuban Tengah, sedangkan kecamatan Amnuban Tengah berada di Niki-Niki, bukan dilokasi obyek tanah adat Pubabu-Besipae.
Dalam Sertifikat Hak Pakai tertulis letak obyek tanah hanya berada di desa Mio, tidak mencakup desa Linamnutu, Pollo, Eno Neten dll. Sedangkan lahan yang digarap dalam proyek investasi kelor bukan hanya terdapat didesa Mio, tapi termasuk desa-desa lain termasuk 29 rumah warga yang dibongkar yang letak lokasinya berada didesa Linamnutu (tidak berada dalam bidang tanah dalam Sertifikat Hak Pakai). Peta bidang (data fisik) yang terdapat dalam Sertifikat Hak Pakai tidak sesuai dengan data yuridis yang tertulis dalam Sertifikat Hak Pakai.
Dalam Sertifikat Hak Pakai tertulis pendaftaran tanah tanggal 01 Maret 2013 dengan Nomor 88/7.53.02.300/III/2013, sedangkan Sertifikat Hak Pakai diterbitkan pada tanggal 29 Januari 1986 (baca warkah Nomor; 566/1986). Dalam Sertifikat Hak Pakai tidak dicantumkan asal hak berupa konversi atau pemberian hak atau pemecahan/pemisahan/penggabungan bidang, dll.
Bahwa berdasar hal tersebut pada poin 1 (satu) diatas, sampai hari ini Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur belum memberi penjelasan sesuai permintaan Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae terkait penerbitan Sertifikat Hak Pakai berikut kesalahan data fisik dan data yuirids dalam Sertifikat Hak Pakai tersebut.
Bahwa merujuk surat KOMNAS HAM Nomor 873/K/PMT/IV/2011 tanggal 06 April 2011, yang isinya; Menjaga agar situasi aman dan kondusif di dalam masyarakat dan menghindari adanya intimidasi sampai adanya solusi penyelesaian masalah tersebut. Menjaga agar kawasan hutan tetap lestari. Menghentikan untuk sementara kegiatan Dinas Peternakan Prov.NTT dan Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan di lahan bermasalah sampai ada penyelesaian. Bahwa komnas HAM akan menindaklanjuti pengaduan ini dengan melakukan pemantauan ke lokasi dan atau melakukan upaya mediasi para pihak.
Bahwa menyusul surat KOMNAS HAM nomor 2.720/K/PMT/XI/2012 tanggal 09 November 2012, yang isinya; Mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Prov. NTT yang berakhir pada tahun 2000 kepada masyarakat untuk dikelola demi menghidupi keluarganya. Mengevaluasi UPTD Prov. NTT dan Program Dinas Peternakan yang melibatkan masyarakat, dimana pada kenyataannya program tersebut tidak mengembangkan masyarakat tetapi justru membebani masyarakat.
Bahwa berikut Rekomendasi KOMNAS HAM Nomor; 1.055/R-PMT/IX/2020 tanggal 3 September 2020 kepada Gubernur NTT bahwa adanya kontinuitas kegiatan pertanian, perkebunan dan peternakan dilokasi hak pakai setelah terdapat kejelasan status terkait konflik lahan Pubabu-Besipae (vide huruf j).
Bahwa berdasar hal-hal yang diuraikan diatas, maka dengan ini kami sampaikan kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur agar; Menolak penggunaan / penguasaan tanah adat Pubabu-Besipae sampai adanya penyelesaian konflik lahan / tanah atau sampai adanya kejelasan status hak atas tanah sesuai Surat dan Rekomendasi KOMNAS HAM RI.
Memberikan penjelasan terkait penerbitan Sertifikat Hak Pakai yang terbit diatas tanah adat Pubabu-Besipae, sertifikat hak pakai mana didalamnya terdapat kesalahan / kekeliruan data fisik dan yuiridis sebagaimana dijelaskan diatas.
Mengembalikan tanah adat tersebut kepada masyarakat adat Pubabu-Besipae, selanjutnya melakukan pendataan dan pemetaan ulang dengan mengedepankan opsi-opsi yang disepakati secara musyawara mufakat bersama masyarakat adat Pubabu-Besipae.
Menjaga situasi yang kondusif, memenuhi dan menjaga kelangsungan hidup masyarakat adat Pubabu – Besipae dengan mengedepankan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia”, jelas Bumi dalam surat tersebut. Surat kepada Gubernur NTT dengan tembusan kepada Ketua KOMNAS HAM RI, Ketua DPRD NTT, Kapolda NTT, Bupati TTS, Ketua DPRD TTS.
Nikodemus Manao salah seorang tokoh adat Pubabu-Besipae saat dikonfirmasi media ini pada Selasa, (22/09) menjelaskan “kami masyarakat Pubabu-Besipae menolak rencana Gubernur untuk datang dan bermalam dilokasi Pubabu-Besipae pada hari Jumat, (25/09) kalau belum ada penyelesaian status tanah di Besipae, karena sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM bahwa Dinas Peternakan Pemerintah Propinsi NTT hentikan aktivitas sementara sampai ada penyelesaian status tanah Pubabu-Besipae. Olehnya kami menolak”, jelas Niko.
Pemprov NTT telah melakukan penanaman lentoro teramba dan kelor di kawasan Ranch Besipae. Pasca pembersihan lahan, dengan memberdayakan masyarakat sekitar Pemprov NTT mulai melakukan penanaman lentoro teramba dan kelor.
“Saat ini kita mulai melakukan penanaman lentoro teramba dan kelor dengan memberdayakan masyarakat setempat. Sedangkan luas lahan yang sudah dibersihkan mencapai 500 hektar hingga saat ini,” ungkap Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Properti NTT, Sony Libing seperti dikutip Pos Kupang, Sabtu (15/8).
Kata dia, setiap harinya, sedikitnya 300 warga dari empat desa yaitu, Desa Polo, Linamnutu, Oe’ekam dan Mio yang dipekerjakan untuk melakukan pembersihan lahan dan penanaman lentoro teramba dan kelor. Mereka mendapat upah Rp 50 ribu/hari.
“Kita berdayakan masyarakat sekitar dalam melakukan pembersihan dan penanaman anakan lentoro teramba dan kelor. Kita berharap upah yang diberikan bisa membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga,” ujarnya.(Supriyadi\*)