Tata Ruang Versus Tata Uang, Indeks Layak Huni Kota Makassar periode Tahun 2014-2017 Paling Semrawut

Penulis Dr. Safri, ST. MT. Ahli tata ruang

MAKASSAR||Legion News – Apa yang disampaikan oleh calon walikota dan wakil walikota Makassar penataan ruang ruang kota Makassar sebagian masih sebatas pada retorika atau pernyataan yang normatif saja.

Akar masalah amburadulnya kota Makassar

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar pada waktu itu disusun berorientasi pada bisnis semata sehingga terbentuk segmen ruang di Kota Makassar yang tidak demokrasi, tidak berkeadilan, dan tidak berkelanjutan.

Advertisement

Ruang-ruang yang merupakan daerah tangkapan air dijadikan sebagai Kawasan terbangunan, penyediaan RTH public 20% sebagai parameter kota berkelanjutan hanya terpenuhi di bawah 10%. Dan yang paling berbahaya karena ruang wilayah Kota Makassar didesain tidak pada prinsip-prinsip demokratisasi ruang sehingga tercipta disparitas antara wilayah.

Sampai saat ini Kota Makassar belum memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang berkekuatan hukum yang dapat dirujuk/diacuh sebagai instrument operasional dalam pengendalian pemanfaatan ruang termasuk perizinan sebagaimana diamanahkan dalam UU 26 Tahun 2007 yang dipertegas dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bahwa RDTR menjadi rujukan utama dalam menentukan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.

Tanpa dokumen RDTR sebagai acuan perizinan kesesuaian pemanfaatan ruang, sangat memungkinkan terjadinya transaksi ‘Tata Uang’ dalam proses pemberian izin pemanfaatan ruang di Kota Makassar.

Belum adanya ‘Regulasi’ penataan ruang yang lebih rinci (RDTR) mengatur perizinan di Kota Makassar, menjadi salah satu factor utama menyebabkan Indeks Layak Huni Kota Makassar menempati peringkat terakhir dari 26 Kota di 19 provinsi yang di survei oleh Ikatan Ahli.

Perencanaan Indonesia (IAP) Tahun 2017. Dalam hal ini, Indeks Layak Huni Kota Makassar periode Tahun 2014-2017 menunjukkan Makassar justru semakin semrawut.

IAP yang merupakan Asosiasi Profesi Bidang Penataan Ruang Wilayah dan Kota melakukan survey indeks layak huni di 26 Kota dan 19 provinsi dengan 7 kriteria standar, mencakup: sanitasi, air bersih, jaringan listrik, perumahan layak, kecukupan pangan, dan fasilitas sosial dan fasilitas umum, (taman, transportasi publik, dan fasilitas kesehatan, serta ketersediaan ruang public).

Konsep Lorong wisata dengan mengembangkan Kaki lima, merupakan konsep yang tidak realistic. Lorong di Makassar diidentikan dengan jaringan jalan yang dibangunan tidak sesuai dengan jaringan jalan yang seharusnya terutama dari kondisi lebar jalan dan jaringan dainasenya.

Kalau yang tidak standar dibebankan lagi dengan fungsi-fungsi lain seperti; wisata PKL, Apatemen Lorong dan lainnya yang akhirnya menggunakan bahu atau badan jalan untuk melakukan aktifitas, akan semakin mengurangi fungsi utama lorong dalam memberikan akses bagi penghuni lorong terutama terkait dengan upaya mitigasi dan evakuasi bencana dan keperluan sosial lainnya.

Kepada calon Walikota dan Wakil Walikota agar menata Ruang Kota Makassar secara demokrasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) agar terwujud Kota Makassar yang aman, nyaman, produktif, berkeadilan, dan berkelanjutan dalam bingkai keragaman budaya. (Ln)

Advertisement