Oleh : Asratillah
LEGION-NEWS.COM – Sampai hari ini kita yakin, bahwa tak ada sistem politik yang sempurna. Namun di antara pilihan yang semuanya tak sempurna, kita menjatuhkan pilihan kepada demokrasi.
Bagi kita demokrasi memungkinkan elit untuk dibatasi keserakahannya, dan rakyat kecil tak selalu dirundung nestapa. Namun demokrasi tetap memiliki perangkap-perangkapnya sendiri.
Tahun 2004 seorang Profesor politik dari Universitas Warwick, Colin Crouch menulis buku yang berjudul “Postdemocracy” Buku tersebut berbicara mengenai resesi demokrasi yang melanda negara-negara yang terkena sapuan gelombang ketiga demokrasi. Dan resesi tersebut diakibatkan oleh perangkap demokrasi yang sering kita namai proseduralisme.
Semua negara yang mendaku sebagai negara demokratis berlomba-lomba memperadakan lembaga-lembaga yang menjadi operator suksesi kekuasaan secara berkala, media massa diberikan kebebasan untuk meliput dan memberitakan, dan untuk konteks Indonesia hampir semua jenjang kekuasaan dikompetisikan.
Namun keputusan-keputusan strategis yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak, masih dikendalikan oleh segelintir elit politik bersama para rekan-rekan oligarknya. Collin Crouch menyebutnya dengan istilah “neo-aristocratic system”.
Dalam situasi demikian, maka substansi dari demokrasi cenderung terabaikan. Demokrasi tereduksi menjadi sekedar upaya untuk meraup suara sebanyaknya, gegap gempita kampanye yang memakan banyak biaya, dan derap langkah rakyat untuk berbondong-bondong ke bilik suara.
Tapi setelah itu, demokrasi kembali lengang, janji untuk menentaskan pengangguran dan kemiskinan tak lagi terdengar, perumahan kumuh tak kunjung dibenahi, persoalan sosial dan kriminal tak juga mereda, padahal hal-hal tersebut jauh lebih substansial dibanding seremoni pemilihan yang dilakukan secara berkala.
Jika kita meminjam istilah dari Mancur Olson dalam “Politic and Prosperity” (2000), para bandit politik menjelang pemilihan akan berbondong menjadi kandidat dan berlagak sebagai negarawan, tapi begitu kemenangan ditetapkan maka sebagian kandidat kembali berubah dan berulah sebagai bandit politik.
Proseduralisme hanya menghargai seremoni, dan ini berarti citra diri para politisi jauh lebih penting dibanding kapasitas dan integritas.
Agar para politisi bisa menjadi pemenang dalam setiap tahapan seleksi dan eleksi politik, maka mempermak citra diri adalah keniscayaan. Citra diri dengan mudah dapat dipasarkan, tetapi tidak demikian dengan kapasitas dan integritas.
Dan hal ini seakan-akan gayung bersambut dengan kelahiran sebuah masyarakat yang oleh Yasraf Amir Piliang sebut dalam bukunya yang berjudul “Transpolitika” (2005), sebagai “masyarakat tontonan” (spectacle society), sebuah masyarakat yang kecanduan untuk terus menonton dan ditonton melalui layar, dan citra diri hampir menjadi segala-galanya.
Lalu bagaimana citra diri diukur? Publik sering menyebut kata “Survei” untuk melakukannya.
Hampir semua lembaga yang melakukan “Survei” mengaku bahwa yang dilakukannya adalah sebuah aktivitas ilmiah, alias riset lebih tepatnya.
Survei sudah menjadi perbendaharaan kata yang tak asing di telinga publik, bahkan jelang pilpres 2019 publik sudah akrab dengan publikasi hasil survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu.
Cuman yang menjadi pertanyaan dalam benak saya, dalam jumlah publikasi survei yang melimpah tersebut, apa keuntungan yang bisa didapatkan oleh public dalam hal ini calon pemilih?..
Apakah publikasi-publikasi tersebut, menambah kemampuan calon pemilih, dalam memilih dan menilai kandidatnya secara rasional?..
Karena politik demokrasi menuntut rasionalitas yang memadai.
Yang saya maksud “Rasional” di sini adalah, kemampuan calon pemilih menjatuhkan pilihan kepada salah satu kandidat berdasarkan informasi yang memadai tentang riwayat kandidat dalam politik, mengenai keahlian yang dimiliki kandidat, soal penguasaan kandidat akan persoalan-persoalan publik, atau soal rancangan kebijakan kandidat jika terpilih nanti. Dan untuk pertanyaan tadi, jawabannya tidak.
Publikasi survei hanya memberikan informasi ke publik tentang tingkat keterkenalan (popularitas), kesukaan (aksepbilitas) dan keterpilihan (elektibiltas) kandidat tersebut.
Yah kita bisa mengatakan, bahwa publikasi survei dilakukan sekedar untuk berkabar, tentang posisi kemungkinan menang dari setiap kandidat, seperti publikasi posisi sementara pembalap dalam arena MotoGP.
Bukannya publikasi survei tak penting sama sekali, tetapi keberlimpahan dan keberuntuanan publikasi survei, bisa membuat publik lalai bahkan acuh dari informasi-informasi politik lain yang jauh lebih penting dan lebih bisa membuat mereka menjadi pemilih rasional.
Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa survei preferensi pemilih sebagian besar adalah pesanan dari kandidat tertentu, dan ini adalah hal yang lumrah.
Survei preferensi pemilih akan menjadi problematik jika dia dipublikasi secara berlebih, dan tidak lagi menjadi sarana mapping medan pertarungan politik bagi kandidat dalam mendesain strategi komunikasi politik, tetapi turut menjadi konten kampanye politik.
Dan saya yakin hampir semua lembaga konsultan politik sangat paham kondisi psikologis pemilih, yang cenderung memilih kandidat yang kelihatannya dipilih oleh paling banyak orang.
Bahkan kalau kita meminjam teori analisis wacana kritis Van Dijk (2008), publikasi survei politik yang melimpah dan beruntun bisa menjadi semacam wacana yang hegemonik dan berupaya mengontrol pikiran para pemilih.
Mengarahkan publik pada isu-isu politik yang sensasional belaka (semisal kejutan publikasi hasil survei), saya pikir akan menjauhkan kita dalam percakapan politik yang lebih berkualitas.
Secara psikologis, kemungkinan besar pemilih akan tertuju perhatiannya pada kandidat yang tingkat persentasi keterpilihannya berada pada posisi pertama dan kedua.
Tapi yang jadi pertanyaan, apakah kandidat dengan elektibilitas tertinggi (versi survei) secara otomatis memiliki janji program politik yang jauh lebih berkualitas dan lebih penting untuk diulas dan menjadi perhatian publik, dibanding kandidat dengan elektibilitas yang rendah? “Jawabanya Tidak.”
Mengukur kualitas pribadi kandidat dan janji politik berdasarkan popularitas, aksepbilitas dan elektibiltas, bisa menjadi sesuatu yang menyesatkan.
Dan pertanyaan paling akhir, bisakah hasil survei memberikan petunjuk kepada publik, mana di antara kandidat yang merupakan bandit politik dan mana yang tidak?…
Sekali lagi jawabannya tidak. Akhir kata, kita semua punya tanggungjawab masing-masing dalam mendewasakan demokrasi kita, termasuk para lembaga konsultan politik.