LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Sejarah kota selalu bergerak bukan hanya oleh wali kota dan kebijakannya, tetapi juga oleh mereka yang menjaga agar kekuasaan tidak berjalan sendirian. Dalam struktur itu, DPRD sering kali luput dari perhatian—kecuali ketika terjadi kegaduhan. Tahun ini, Makassar belajar satu hal penting: legislatif bukan sekadar stempel, melainkan penyangga keseimbangan.
Di titik itulah nama Supratman, Ketua DPRD Kota Makassar, menemukan momentumnya.
Sepanjang tahun, kebijakan taktis dan teknis Wali Kota Makassar datang silih berganti.
Ada yang disambut baik, ada pula yang membuat warga bertanya-tanya. Pemilihan RT/RW, misalnya, yang sejatinya urusan paling dekat dengan kehidupan warga, justru berpotensi menjadi arena friksi sosial jika tidak dikelola dengan hati-hati. Di sinilah DPRD diuji: ikut gaduh atau menjadi penenang.
Supratman memilih jalan yang jarang diambil politisi lokal: tidak reaktif, tidak pula permisif.
DPRD di bawah kepemimpinannya tidak serta-merta menabrak kebijakan wali kota, tetapi juga tidak membiarkannya berjalan tanpa koreksi. Ini bukan sikap abu-abu, melainkan kesadaran bahwa stabilitas sosial lebih penting daripada kemenangan politik jangka pendek.
Polemik pengadaan seragam sekolah gratis menjadi contoh lain. Program populis yang niatnya baik ini sempat tersandung persoalan teknis, transparansi, dan kesiapan pelaksanaannya. Di banyak daerah, polemik semacam ini biasanya berakhir dengan dua hal: saling lempar tuding atau drama pansus yang berisik tapi minim solusi. Makassar tidak sepenuhnya jatuh ke sana.
DPRD memilih mengamankan kebijakan itu dari kehancuran total, sembari tetap mendorong evaluasi. Logikanya sederhana: kebijakan publik yang menyentuh rakyat kecil tidak boleh gagal hanya karena ego elite. Ini pendekatan yang lebih dewasa—dan jarang.
Menurut Syamsul Bahri Majjaga, Ketua KNPI Kota Makassar, sikap ini mencerminkan gestur kepemimpinan legislatif yang memahami denyut kota.
“Mengoreksi tanpa mempermalukan, mengawasi tanpa memicu konflik,” kira-kira begitu intinya. Dalam politik lokal yang mudah panas, pendekatan semacam ini bukan kelemahan, melainkan kecerdasan. Rabu (31/12/2025)
Ujian terbesar datang ketika Kantor DPRD Kota Makassar dibakar. Peristiwa ini bukan sekadar kerusakan fisik, tetapi simbol runtuhnya kepercayaan dan kemarahan publik. Dalam sejarah parlemen daerah, momen seperti ini sering menjadi titik balik: apakah pimpinan akan larut dalam narasi korban atau bangkit sebagai penjahit kembali ruang demokrasi.
Supratman Memilih Opsi Kedua
Alih-alih menabuh genderang konfrontasi, ia membuka komunikasi. Dengan pemerintah kota, aparat keamanan, tokoh masyarakat, hingga elemen pemuda. Gedung boleh terbakar, tapi demokrasi tidak boleh ikut hangus. Ini gestur yang jarang ditulis dalam berita, tapi penting dicatat dalam sejarah kota.
Jika ditarik lebih jauh, gaya kepemimpinan Supratman mencerminkan tradisi lama parlemen yang sering dilupakan: menjadi penyangga, bukan panggung utama. Dalam sejarah kota-kota besar, legislatif yang kuat bukan yang paling keras berteriak, tetapi yang mampu menjaga ritme kekuasaan agar tidak timpang.
Makassar di akhir tahun ini masih menyimpan banyak pekerjaan rumah. Namun satu hal patut dicatat: DPRD tidak absen dari tanggung jawab sejarahnya. Di bawah Supratman, legislatif kota memilih jalan sunyi—jalan menjaga.
Dan dalam politik, sering kali, yang paling menentukan masa depan justru bukan mereka yang paling terlihat, tetapi mereka yang memastikan kota tidak jatuh ke jurang saat semua orang sibuk bertepuk tangan. (LN)

























