Oleh: Makmur Idrus
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Gubernur Sulawesi Selatan baru-baru ini meluncurkan kebijakan yang cukup mengundang perhatian: mewajibkan para kepala dinas dan Staf ASN (Muslim) di lingkup Pemprov Sulsel untuk menghafal Juz 30 (Juz ‘Amma) dari Al-Qur’an. Di tengah berbagai tantangan tata kelola birokrasi dan maraknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), langkah ini dianggap sebagai bentuk revolusi mental berbasis spiritualitas.
Pertanyaannya: apakah menghafal Juz 30 dalam kitab suci alquran mampu menjadi tameng ampuh terhadap praktik KKN?
Jawabannya bisa ya, bisa tidak—tergantung pada cara kebijakan ini diterapkan dan ditanamkan. Jika hafalan hanya bersifat simbolik, tanpa penghayatan nilai dan pengaruh pada perilaku birokrasi, maka ia hanya menjadi kegiatan seremonial, bukan substansial.
Namun jika pendekatan spiritual ini diarahkan untuk memperkuat etos kerja, integritas, dan kejujuran, maka ada harapan. Sebab ayat-ayat dalam Juz 30 sangat banyak memuat pesan keadilan, amanah, tanggung jawab, dan siksa bagi pendusta nilai-nilai ini semestinya menjadi roh dalam kerja birokrasi.
Kita tahu, praktik korupsi di Indonesia bukan semata soal lemahnya pengawasan, tapi juga rapuhnya moral dan budaya malu. Banyak pelaku KKN yang secara formal religius, tapi gagal membawa nilai agamanya ke dalam tindakan publik.
Maka, kebijakan ini hanya akan berdampak jika diiringi dengan,
Reformasi sistem rekrutmen dan promosi jabatan yang bersih dari nepotisme,
Penguatan pengawasan internal dan eksternal,
Pendidikan antikorupsi yang serius dan berkelanjutan,
Serta yang terpenting: keteladanan dari pucuk pimpinan.
Menghafal Juz 30 tidak salah. Tapi lebih penting lagi adalah mengamalkannya dalam anggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, dan etika birokrasi.
Spiritualitas tanpa integritas hanyalah kulit kosong. Jika ASN mampu menggabungkan keduanya, maka cita-cita melahirkan birokrasi yang bersih dan melayani akan lebih mudah tercapai. Sulsel bisa menjadi pelopor, asal tidak berhenti di hafalan.