LEGIONNEWS.COM – Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan Abdul Wahid, mengatakan hukuman mati sebaiknya ditiadakan.
Namun disisi lainnya Jampidum Kejaksaan Agung (Kejagung), Asep Nana Mulyana menyampaikan penerapan hukuman mati masih diperlukan di Indonesia.
Perbedaan padangan itu disampaikan di acara Seminar Nasional Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Positif, dan Hukum Internasional di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2025).
Agamawan dari Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bicara mengenai penerapan hukuman mati.
Wawan mulanya menyampaikan pentingnya pemaknaan secara kontekstual ketika membaca dasar hukuman mati dalam Islam.
Menurutnya, ulama fikih telah menyampaikan hukum bisa berubah bergantung pada situasi dan waktu.
“Demikian halnya juga pembacaan terhadap hadits Nabi yang seringkali pembacaannya itu adalah menggunakan pemaknaan yang tekstual tidak memperhatikan konteks, tidak memperhatikan perubahan situasi,” tutur Wawan.
“Padahal sejak dahulu, para ulama fikih sudah mengingatkan kepada kita, bahwa hukum itu bisa berubah, bisa beragam, karena ada situasi yang berubah, ada waktu yang berubah, ada tempat yang berubah, ada tradisi yang tidak sama, ada motivasi yang tidak sama,” ucapnya menambahkan.
Wawan juga menyampaikan makna dalam surat Al-Qur’an yang menyebutkan mengenai hukuman mati, yakni surat Al-Baqarah ayat 178, dalam ayat itu, menurut Wawan, kata ‘kutiba’ yang berarti diwajibkan, tidak memiliki bobot kewajiban yang sama dalam ibadah seperti salat dan zakat.
“Tapi ayat itu sering kali tidak dibaca lanjutannya, seringkali tidak dilihat bahwa ayat itu, ketika dibaca walaupun mengatakan ‘kutiba’, diwajibkan, tapi kewajibannya tidak sama dengan kewajiban salat, tidak sama dengan kewajiban haji, tidak sama dengan kewajiban zakat. Sehingga kalau dimudahkan cara menjelaskannya adalah ‘boleh ditinggalkan, boleh tidak dilakukan,” jelasnya
Wawan juga menyampaikan perkembangan penerapan hukuman mati di dunia internasional. Dia mengatakan mulai banyak negara yang meninggalkan hukuman mati. Dia mencontohkan penerapan hukuman mati tidak memiliki kaitan dengan kemajuan suatu negara.
“Apalagi kalau kita tahu bahwa tata krama internasional mengatakan, itu satu situasi yang ya istilah yang tadi digunakan moratorium ya, sudah umumnya ditinggalkan, bahkan bahwa hukuman mati itu tidak ada hubungannya dengan kemajuan suatu negara,” ujar dia.
“Negara-negara Afrika yang tertinggal, yang miskin itu, tidak ada hukuman mati di Afrika, bahkan satu negara yang semula berlakukan hukuman mati sekarang ditinggalkan,” katanya.
Karena itu, Wawan menilai penerapan hukuman mati sebaiknya ditinggalkan atau bahkan ditiadakan.
“Oleh karenanya, saat ini saya berpendapat, berijtihad, ya sebaiknya hukuman mati ditinggalkan, ditiadakan,” katanya.
Jampidum Hukuman Masih Diperlukan di Indonesia
Beda hal dengan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Asep Nana Mulyana menyampaikan penerapan hukuman mati masih diperlukan.
Asep mengatakan pihaknya lebih banyak menerapkan tuntutan hukuman mati kepada pelaku pidana narkotika.
Asep awalnya menjelaskan bagaimana modus peredaran narkotika yang semakin canggih dan melibatkan masyarakat.
“Memang betul, kebanyakan di kami itu narkotika, kenapa kami tuntut mati? Itu luar biasa, kemarin BNN itu datang ke kami, itu modusnya sudah tambah canggih, jadi kalau konvensional biasanya kan diselipkan di truk di segala macam, jadi sekarang, tangki bensin itu dipotong dua, dibelah dua, kemudian masukin barang-barang haram itu ke sebagian tangki itu, kalau dilacak pakai anjing pelacak tidak akan kecium, karena bau bensinnya, bau bahan bakar,” katanya.
Menurut Asep, peredaran narkotika juga melibatkan masyarakat kecil. Dia mencontohkan bagaimana nelayan di Jawa Barat diminta menjadi kurir narkoba hanya dengan upah Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.
“Saya waktu di Jawa Barat Itu hampir berapa ton yang tadi menggunakan penduduk, tanda kutip nelayan tradisional untuk memanfaatkan. Jadi dia (pengedar) sewa di situ, ngontrak di situ, bergaul dengan masyarakat lokal, dikasih nelayan itu Rp 1-2 juta rupiah saja, ngambil ke sana kemudian di kapal besar, kapal yang itu ngambil seolah itu barang bawa ke darat,” ucapnya.
“Jadi begitu posisi Kejaksaan, jadi kami melihat itu melihat bagaimana aspek mudaratnya itu sangat lebih besar daripada manfaatnya itu, impact benefitnya itu, kemudian cost benefitnya, itu sangat-sangat luar biasa, jadi memang kebanyakan betul, kami itu tuntut mati itu, apalagi sudah namanya bandar, itu sudah nggak ada ampun itu,” tegasnya.
Asep juga menyinggung mengenai penerapan KUHP baru yang akan berlaku mulai tahun 2026. Dia mengatakan, dalam KUHP baru terdapat perubahan paradigma dalam penegakan hukum, dari retributif menuju restoratif. Dia mengatakan perubahan paradigma itu adalah hal yang baik.
“Kemudian juga kita juga sudah punya KUHP baru, yang insyaallah akan berlaku tanggal 2 Januari 2026, di mana di dalam KUHP nasional, memang KUHP ini banyak sekali merubah apa namanya, yang dikit-dikit penjara dikit-dikit penjara, jadi kalau kemudian saat ini kita merasakan dampak negatifnya, karena kita semuanya, termasuk saya, mungkin sebagian teman-teman hakim, penyelidik, semua, penjara sebagai instrumen utama,” katanya.
“Nah sekarang digeser ke arah bagaimana kemudian dari retributif ke restoratif dan rehabilitatif,” ujarnya.
Menurut Asep, dengan perubahan paradigma itu maka tidak semua kasus hukum harus berlanjut ke persidangan.
“Kami pun menyesuaikan, terutama dalam hal-hal yang kaitan yang bisa kita restorasikan, kita bisa koreksi bareng-bareng, kita kemudian bisa rehabilitasi bareng-bareng, maka tidak semua perkara itu sampai ke temen-temen hakim,” katanya. (*)