SOROTAN||Legion-news.com Permintaan untuk mengibarkan bendera putih ini awalnya disuarakan oleh Koran Tempo melalui artikel berjudul ‘Saatnya Jokowi Kibarkan Bendera Merah Putih’.
Dituliskan bahwa perkembangan pandemi saat ini benar-benar genting di mana rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta dan sejumlah kota besar lain sejatinya sudah kolaps.
Menyusul laporan bahwa Fasilitas Kesehatan (Faskes) Indonesia mulai ambruk, muncul pula desakan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengibarkan bendera putih.
Akibatnya, pasien Covid-19 yang kritis di Jakarta dan sekitarnya semakin sulit masuk rumah sakit karena ruang isolasi dan ICU khusus selalu penuh.
“Presiden Jokowi sudah saatnya mengibarkan bendera putih, meminta tolong kepada negara sahabat yang lebih berdaya,” tulis Tempo pada Senin, 5 Juli 2021.
Pendapat Tempo ini kemudian didukung oleh mantan pimpinan Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto.
“Terima kasih atas pernyataan jujur dari Tempo. Semoga Berani Kibarkan Bendera Putih untuk kepentingan kemaslahatan karena menurut KPK yang Ori, Berani Jujur Hebat,” katanya melalui akun Twitter KataBewe.
Lain hal dengan Rocky Gerung, Ia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini semakin hilang kepercayaan kepada pemerintahan Joko Widodo dalam segi apapun.
Terutama diakibatkan oleh berbagai persoalan dan sikap pemerintah saat ini, apalagi dalam penanganan pandemi Covid-19, ucap Rocky dalam acara diskusi Proklamasi Democracy Forum (PDF) ke-15 yang digelar oleh Balitbang DPP Partai Demokrat, Minggu malam kemarin (4/7).
Dalam diskusivbertajuk “Menimbang Ruang Kebebasan Berpendapat Kalangan Akademik Saat Ini.”
Lanjut Rocky Gerrung, Terkait penanganan Covid-19, kata Rocky, pemerintah seharusnya mengefektifkan informasi supaya penyebab Covid-19 bisa dicegah, bukan dengan cara menutupi informasi.
“Jadi, betul itu kalau ditanyakan ada enggak pemerintah yang jatuh karena kritik terhadap Covid? Ada, nanti dua Minggu lagi itu, akan (terjadi). Kan memang kalau kita analisis, enggak usah analisis dalam analis dangkal aja lah, kalau analisis dalam pemerintah enggak paham,” ucap dia.
“Jadi di sisi dangkal-dangkal saja sesuai dengan otaknya yang dangkal-dangkal itu kan,” papar Rocky.
Ia pun mengaku sempat mengikuti podcast oleh seorang epidemiologis bernama Dokter Dicky yang diwawancarai oleh wartawan asing. Dalam podcast tersebut, Dokter Dicky menyampaikan bahwa tidak ada satupun kebijakan yang dibasiskan pada temuan akademis.
“Dan bahkan dicurigai bahwa dengan kalkulasi statistik sederhana, angka Covid Indonesia itu 5-10 kali yang dilaporkan. Dan itu yang terjadi sampai hari ini. Ada 63 orang meninggal di rumah sakit Solo atau Semarang itu, 63 orang meninggal karena apa? Karena Covid? Bukan. Karena enggak ada oksigen. Apa enggak tolol pemerintah,” tegas Rocky.
Lanjut Rocky, padahal oksigen harusnya bisa diproduksi oleh pabrik semen yang masih bikin semen untuk bikin jalan tol.
“Kan dalam keadaan darurat, seluruh industri itu harus bisa diatur oleh pemerintah pusat. Di mana-mana di luar negeri begitu, kalau darurat, industri panci itu bisa diubah jadi industri tabung oksigen itu. Industri semen bisa diubah jadi industri produksi oksigen. Kan itu mesti ada,” sambung Rocky.
Apalagi pemerintah, menurutnya, tidak punya kemampuan untuk bikin ekstrapolasi dengan kasus.
Hal itu terbukti dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Manives), Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyatakan tidak pernah berpikir akan terjadi eskalasi penyebaran Covid-19.
“Jadi dari awal ini rezim yang memang hanya ingin dapat pujian dan enggak mau dapat kritik. Kalau dikritik langsung dia omelin. Nah ini soalnya. Jadi kalau kita ucapkan secara cepat-cepat hari ini, seluruh aktivitas yang dilakukan oleh Leon cs itu harus kita anggap sebagai akumulasi dari kemarahan masyarakat,” demikian Rocky. (Red)