LEGION-NEWS, Jakarta – Wacana amandemen UUD 1945 menjadi isu yang santer dibicarakan. Terlebih, dikaitkan dengan perpanjangan masa jabatan presiden. Wakil rakyat diminta memiliki kepekaan moral dan sensitivitas sosial tentang wacana tersebut.
“Bergulirnya wacana perubahan UUD 1945 kali ini memiliki situasi kebatinan yang berbeda dengan kehendak perubahan UUD 1945 saat terjadinya reformasi 1997-1998,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam diskusi secara daring di Jakarta, Kamis (2/9).
Saat era reformasi, rakyat menjadi aktor utama yang menghendaki adanya perubahan dengan beberapa tujuan. Seperti menciptakan negara dengan prinsip tata kelola yang baik serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Sementara itu, wacana perubahan UUD 1945 saat ini merupakan aspirasi yang disampaikan oleh sejumlah wakil rakyat yang sedang mengemban amanah. “Perlu dipahami dan meskipun wakil rakyat memiliki legitimasi mengusulkan dan melakukan perubahan UUD 1945 secara normatif, namun legitimasi moral tetap berada pada rakyat sebagai pemangku utama dalam prinsip negara demokrasi,” jelasnya.
Para wakil rakyat diminta memiliki kepekaan moral dan sensitivitas sosial mengenai wacana tersebut. “Tujuannya agar nilai, niat, dan upaya melakukan perubahan dapat dipahami oleh seluruh warga negara,” terang Anwar.
Wacana yang digulirkan adalah dilakukannya Amandemen UUD 1945 adalah untuk melahirkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau yang sekarang disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Di dalamnya termaktub mengenai kedudukan, pertanggungjawaban, serta amanah presiden dan wakil presiden terhadap MPR. “Apakah gagasan PPHN akan memunculkan kembali paham supremasi parlemen sebagaimana sistem terdahulu yang telah diubah,” tuturnya.
Perubahan konstitusi sekecil apa pun akan memiliki dampak yang sangat besar dan signifikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. “Karena itu, ketika berbicara tentang konstitusi dan perubahannya harus melingkupi cakrawala yang luas dan mendalam,” pungkas Anwar. (Usman/Net)