LEGIONNEWS.COM – LUWU TIMUR, Sejumlah elemen masyarakat di Kecamatan Malili, khususnya di Desa Harapan, menyoroti rendahnya tarif sewa lahan kompensasi yang diberlakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Timur kepada PT Indonesia Huali Industry Park (IHIP).
Diketahui, pada Rabu (24/9/2025) lalu, Pemkab Luwu Timur bersama PT IHIP menandatangani perjanjian kerja sama terkait pemanfaatan tanah hak pengelolaan untuk pembangunan kawasan industri terintegrasi di Desa Harapan, Kecamatan Malili.
Dalam perjanjian tersebut, Pemkab Luwu Timur sebagai pemegang hak pengelolaan menyerahkan lahan seluas 394,5 hektare kepada PT IHIP dengan tarif sewa sebesar Rp4,45 miliar untuk jangka waktu lima tahun. Artinya, biaya sewa lahan per tahun hanya sekitar Rp889 juta, atau setara Rp2,2 juta per hektare per tahun — bahkan jika dihitung per meter, nilainya hanya sekitar Rp226 per tahun.
Perbandingan mencolok terlihat dari tarif sewa lahan warga kepada salah satu operator telekomunikasi di wilayah yang sama. Diketahui, lahan seluas 25×25 meter disewa seharga Rp80 juta untuk masa 20 tahun, atau sekitar Rp4 juta per tahun — setara Rp6.400 per meter per tahun.
“Kalau dibandingkan, jelas sangat jomplang. Kami warga Luwu Timur, khususnya di Desa Harapan, merasa heran dan mensinyalir ada keganjilan dalam proses MoU antara Pemkab Lutim dan PT IHIP,” ujar Zakkir Mallakani, elemen pemuda Lampia, Kamis (10/9/2025).
Warga lainnya, Ibrahim, juga meminta Pemkab Luwu Timur bersikap transparan dalam menjelaskan dasar penetapan tarif sewa tersebut.
“Harus ada penjelasan rigid dari pemerintah daerah kepada masyarakat, mulai dari proses keberadaan lahan kompensasi, penyerahan dari Vale ke Pemda, hingga penetapan tarif sewa kepada PT IHIP,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Direktur The Sawerigading Institute, Asri Tadda, mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengambil keputusan strategis terkait lahan kawasan industri.
Ia menilai, pengalaman di banyak daerah menunjukkan bahwa konflik sosial sering kali bermula dari persoalan status lahan.
“Kawasan industri itu bukan hal yang sederhana. Jadi harus clear sejak awal direncanakan, karena ini menyangkut hajat hidup dan masa depan daerah selama puluhan bahkan ratusan tahun mendatang, bukan cuma lima atau sepuluh tahun saja,” kata Asri, Kamis (9/10) di Makassar.
Asri juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dari DPRD Luwu Timur. Menurutnya, lembaga legislatif seharusnya berani mengambil langkah antisipatif untuk memastikan kebijakan daerah berjalan transparan dan berpihak pada kepentingan publik.
“Harusnya kawan-kawan DPRD Lutim berani membuka persoalan lahan kawasan industri ini ke publik agar jelas dan transparan. Itu memang tugas legislatif, termasuk memanggil Bupati untuk menjelaskan perihal MoU penyewaan lahan yang harganya jauh di bawah standar,” tambah Asri yang juga Wakil Ketua Kerukunan Keluarga Luwu Timur (KKLT).
Diungkapkannya, berdasarkan data yang dia dapatkan, satu line smelter nikel berpotensi menghasilkan profil antara 1,5 hingga 2 triliun per tahun.
“Nah, dengan potensi keuntungan seperi itu, agak miris melihat lahan di Lutim disewakan Pemkab dengan harga teramat murah. Jangan sampai ada kongkalikong pihak-pihak tertentu di dalam urusan ini,” ungkap Asri.
Diketahui, perjanjian kerja sama antara Pemkab Luwu Timur dan PT IHIP ditandatangani langsung oleh Bupati Luwu Timur Irwan Bachri Syam dan Direktur Utama PT IHIP Nicke Widyawati pada Rabu (24/9/2025) lalu di Jakarta. (*)