LEGIONNEWS.COM – Kepala Pengadilan Negeri PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik pada Dirdik Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung).
Arif Nuryanta bersama hakim ketua Djuyamto serta hakim anggota Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtaro. Mereka diduga menerima suap dalam perkara korupsi persetujuan ekspor (PE) minyak mentah kelapa sawit (CPO) periode 2021-2022. Keempat hakim tersebut diduga menerima uang suap sebesar Rp60 miliar dari para bos minyak goreng.
Arif Nuryanta sebelumnya sempat menjadi perhatian publik saat memutus lepas dua terdakwa penembak Laskar FPI atau dikenal sebagai peristiwa KM 50 saat ditangani PN Jaksel.
Keputusan Arif Nuryanta dinilai kontroversial melepaskan terdakwa pembunuhan anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) pada 2022.
Pada saat itu, Arif Nuryanta ketua majelis hakim pada PN Jakarta Selatan. Dia berpendapat seluruh unsur dalam dakwaan primer jaksa terbukti, tetapi perbuatan itu merupakan upaya membela diri.
Dengan demikian, kedua polisi yang terlibat penembakan terhadap Laskar FPI tidak dapat dihukum, sehingga dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
- BACA JUGA:
Sempat datang Dinihari di Kejagung, Kini Djuyamto Hakim Ketua Kasus CPO Dijemput Penyidik
Dua terdakwa kasus itu, Briptu Fikri Ramadhan dan terdakwa Ipda Yusmin Ohorella sedianya terbukti melakukan penghilangan nyawa terhadap enam pengawal pimpinan FPI Rizieq Shihab.
Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam putusan persidangan unlawfull killing tersebut, Jumat (18/3/2022), melepaskan dua anggota Resmob Polda Metro Jaya itu dari tuntutan pidana.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primer jaksa penuntut umum,” begitu kata Arif Nuryanta yang kala itu bertindak sebagai ketua majelis hakim saat membacakan putusan pertama di PN Jaksel.
Hakim dalam putusannya mengatakan, pembunuhan yang dilakukan oleh Briptu Fikri dan Ipda Yusmin adalah dalam rangka pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampai batas.
- BACA JUGA:
KONI Makassar Gelar Musorkot Luar Biasa, Calon Ketua Harus Kantongi 30 persen Dukungan Cabor
Perbuatan yang dilakukan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin, menurut majelis pengadil dalam putusannya menyatakan, dapat dimaafkan. Menurut hakim, Briptu Fikri dan Ipda Yusmin tak dapat dipidana dan harus dilepaskan dari tuntutan.
Ada tujuh bunyi putusan dalam sidang. Selain menyatakan perbuatan terdakwa Fikri dan Yusmin terbukti sebagai pidana, tapi hakim memutuskan untuk melepaskan keduanya dengan alasan pemaaf dan tindakan yang dibenarkan.
“Menyatakan perbuatan terdakwa Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan jaksa penuntut umum adalah dalam rangka pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas,” kata hakim Arif, dalam putusan yang kedua.
Oleh karena itu, dalam putusan ketiga, majelis hakim menyatakan, keduanya tak dapat dijatuhi pidana.
“Menyatakan bahwa kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena ada alasan pembenar dan pemaaf,” ujar hakim Arif saat itu.
- BACA JUGA:
Presiden Prabowo Jadi Pembicara di ADF 2025
Sementara, penangkapan Arif semalam terkait dengan perkara korupsi penerimaan suap dan gratifikasi dalam putusan terhadap terdakwa korporasi kasus korupsi pemberian izin ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO).
Ia disebut Kejagung menerima uang total Rp 60 miliar terkait putusan lepas terhadap tiga perusahaan CPO, Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Selain MAN, pada hari yang sama, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) juga menangkap WG yang merupakan seorang panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Serta turut menangkap MS dan AR yang merupakan advokat.
- BACA JUGA:
Bertemu Ketua Mahkamah Agung, Bamsoet Dukung MA Wujudkan Badan Peradilan Indonesia yang Agung
Terkait persidangan kasus pembunuhan laskar FPI di KM 50, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (25/3/2024) sempat melakukan pemeriksaan terhadap dua Hakim Agung asal Mahkamah Agung (MA), yaitu Desnayeti dan Yohanes Priyana.
Keduanya berstatus saksi dalam penyidikan perkara dugaan penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pengurusan perkara di MA dengan tersangka Gazalba Saleh.
- BACA JUGA:
Presiden Prabowo Dadakan ke Akmil Mesir
“Bertempat di gedung arsip MA RI, Tim Penyidik telah selesai memeriksa saksi-saksi (Desnayeti dan Yohanes Priyana),” kata juru bicara KPK kala itu, Ali Fikri.
Secara khusus, KPK menggali keterangan dari Desnayeti dan Yohanes Priyana soal pengambilan putusan kasus KM 50. Desnayeti dan Yohanes bersama Gazalba merupakan hakim agung MA yang menyidangkan kasus KM 50 di tingkat kasasi yang diputus pada akhir 2022.
“Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain kaitan adanya musyawarah dalam proses pengambilan putusan dalam perkara KM 50 dengan salah satu komposisi Majelis Hakimnya saat itu adalah Tersangka GS,” ujar Ali.
Walau demikian, ia belum membeberkan lebih detail mengenai hubungan kasus KM 50 dengan kasus korupsi yang melibatkan Gazalba. MA tercatat menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap putusan bebas dua terdakwa kasus KM 50. (*)